Oleh: IB PUTERA MANUABA
Pengamat Sastra dan Budaya; Dosen Sastra Indonesia UNAIR
Istilah sastra etnik dalam berbagai tulisan, diskusi, dan seminar kerap disebut â€sastra daerah†dan â€sastra lokalâ€. Namun, penyebuÂtan â€sastra daerah†dan â€sastra lokal†terkesan lebih menekankÂan pada â€daerahâ€, â€tempatâ€, atau â€lokasi†sehingga cenderung luas. Implikasi dari penyebutan itu seperti mengoposisi â€sastra daerah†versus â€sastra kota†dan â€lokal†versus â€regionalâ€, â€nasiÂonalâ€, atau internasional†sehingÂga secara konotatif tak terbaca orientasi keutuhan nilai-nilai buÂdayanya.
Konsepsi â€sastra etnik†lebih menyiratkan arti sebagai sasÂtra yang secara utuh memuat nilai-nilai budaya etnik (ethnic of culture values). Ia mengandÂung keunikan yang dimiliki etnik serta tak semata-mata dilihat dari segi penggunaan bahasanya, tetaÂpi juga spirit nilai kontekstualitas dan universalitasnya. Ini perlu karena sebuah ketinggian nilai budaya akan membersitkan nilai universalitas yang dibutuhkan umat manusia.
Atas keyakinan sastra etnik lebih menginseminasi nilai uniÂversalitas yang bertolak dari kearÂifan budaya etnik inilah tulisan ini dihadirkan. Tulisan ini meneguhÂkan perlunya ada eksplorasi dan revitalisasi sastra etnik. Dengan peneguhan itu nantinya dapat menyumbang kearifan budaya etÂnik ke tengah masyarakat global. Benar apa yang pernah dikatakan Rendra, akan baik jika seni dikembangkan dengan memperÂtimbangkan tradisi dalam moderÂnitas menuju tradisi baru.
Berdasarkan konsep â€sastra etnik†itu, maka yang termasuk sastra etnik adalah sastra yang mengandung keutuhan nilai buÂdaya etnik. Sastra itu dapat hadir dalam berbagai bahasa sebagai wahananya. Di Indonesia, karya-karya sastra yang berbahasa etnik: pantun (di Sumatera); geÂguritan, pupuh, crita sambung, cerkak (di Jawa); satua (di Bali), dan seterusnya yang menyiratÂkan spirit utuh keetnikan dapat disebut sastra etnik. Selain beruÂpa sastra yang ditulis dalam bahaÂsa etnik, dapat juga berupa sastra lisan. Juga perlu diketahui beraÂgam etnik budaya lainnya di InÂdonesia, seperti Minang, Sunda, Batak, Dayak, Bali, Banjar, Bugis, Mandar, Toraja, Sasak, Papua, dan Melayu Nusantara. Etnik itu memiliki akar budaya etnik dengan sastra etniknya.
Diaspora
Sastra etnik dapat juga diÂsimak dalam sastra Indonesia modern karena telah berdiasÂpora melintasi bahasa asalnya. Diaspora sastra etnik selain dapat dikenali melalui diksi-diksi etniknya juga tema-tema yang menyemangati serta pesan dan amanatnya. Sastra etnik dapat dibaca di antaranya dalam novel Robohnya Surau Kami karya AA Navis yang mengungkap budaya Melayu; prosa-lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG yang mengungkap dunia batin orang Jawa; trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad ToÂhari yang mengungkap nilai-nilai budaya Jawa Banyumasan; kumpulan cerita pendek Sri Sumarah dan Bawuk, Para PriÂyayi, dan Jalan Menikung karya Umar Kayam yang mengungkap transformasi budaya Jawa wong cilik dan priayi; Canting karya ArÂswedo Atmowiloto; Durga Umayi karya YB Mangunwijaya; Tarian Bumi karya Oka Rusmini; drama Republik Bagong karya N RianÂtiarno; serta tentu masih banyak lainnya lagi. Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata juga termaÂsuk yang mengungkap nilai buÂdaya Belitong. Diakui atau tidak, karya Hirata mengglobal berkat terjemahannya dalam sejumlah bahasa asing dengan oplah yang besar.
Selain berdiaspora dalam sasÂtra Indonesia modern, sastra etÂnik berdiaspora juga pada seni-seÂni lainnya: seni tari, seni ukir, seni lukis, seni drama, sinetron, dan film. Sastra etnik dapat dihidupÂkan pada seni-seni itu sehingga nilai-nilai otentik budaya etnik dapat tersampaikan lewat seni-seni itu. Dalam kenyataan, nilai-nilai budaya sastra etnik kurang dieksplorasi secara publik dalam era global—yang ditandai dengan kekuatan informasi, komunikasi, dan teknologi (ICT). Cerita rakyat (folklore) berupa dongeng, legÂenda, dan mite yang bertebaran pun kurang dieksplorasi ke dalam media seni yang bersifat publik sehingga nilai-nilai budaya etnik kurang dikenali, dipahami, dan dihayati publik.
Penulis sastra etnik yang mampu mentransformasi karyÂanya ke media seni publik dan modern amat sedikit selain akibat masih kecilnya minat produser mengangkat kisah-kisah sastra etnik. Kondisi ini terjadi karena media-media seni publik (teleÂvisi) masih tampak terhegemoni kekuatan pasar ketimbang idealÂisme. Padahal, publik menunggu karya-karya yang berasal dari kekayaan nilai budaya etnik. Tapi, sering kali kemampuan mengemas secara apik belum diÂmiliki penggiat-penggiat seni di media publik.
Dengan adanya sastra etnik dalam berbagai rupa tersebut, sastra etnik akan dapat hidup sepanjang pendukungnya masih ada. Satu hal yang sebaiknya diÂlakukan penulis (penutur) sastra etnik adalah melihat dinamika pembaca atau penikmatnya. Jika komunitas pendukungnya kebanÂyakan mengerti bahasa etniknya maka dapat dipakai bahasa etnik. Jika tidak, dapat juga mengguÂnakan bahasa yang dipakai oleh sebagian besar masyarakat penÂdukung.
Kondisi dunia global meÂmang berdampak pada keharuÂsan bidang apa pun untuk salÂing berkontestasi. Kontestasi ini dapat dilakukan dengan mengÂhadirkan produk-produk berkualÂitas yang berbeda dan unik yang diciptakan dari tingkat kompeÂtensi masing-masing. Kondisi global ini kalau dipahami dengan pemikiran Foucault, tentu ada kaitannya. Foucault menyatakan, terjadi hubungan timbal-balik antara kekuasaan (pouvoir) dan pengetahuan (savvoir). KekuaÂsaan terartikulasi ke dalam penÂgetahuan; dan sebaliknya, penÂgetahuan terartikulasi dalam kekuasaan. Kekuasaan tak hanya â€berelasi†dengan pengetahuan, tetapi kekuasaan â€terdiri atas†pengetahuan, sebagaimana juga halnya pengetahuan â€terdiri atas†kekuasaan. Ini terjadi pula pada seni—khususnya sastra etnik.
Ruang Kebudayaan
Sastra etnik tak lepas dari tanÂtangan persaingan yang makin ketat. Besar kemungkinan hal itu bukan karena tak diminati penÂdukung, melainkan karena kenisÂcayaan adanya tawaran-tawaran baru yang lebih praktis, canggih, dan juga lebih terjangkau sehingÂga minat pendukung menjadi terÂbelah. Apalagi dengan makin terÂbatasnya waktu, membuat orang makin membutuhkan kemasan seni atau sastra yang terjangkau waktu. Inilah yang menjadi akar terjadinya â€perebutan†ruang-ruang kebudayaan yang dulunya dimiliki sastra etnik. Mungkin bukan karena kualitas sastra etÂniknya, melainkan karena adanya perubahan kondisi pendukung yang cenderung heterogen.
Heterogenitas masyarakat membutuhkan heterogenitas budaya. Artinya, untuk merebut simpati publik, diperlukan keÂmasan budaya yang cocok denÂgan kondisi publik. Perlu ada eksplorasi dan revitalisasi sastra etnik. Apabila di masa lalu tata nilai cukup disajikan dalam perÂformance pada cara tradisional, kini tentu menuntut cara ala maÂsyarakat modern yang melek ICT. Perebutan media publik secara aktif-proaktif menjadi strategi yang dapat dilakukan dalam mempertahankan dan mengemÂbangkan sastra etnik.
Kondisi budaya global buÂkanlah pantangan, melainkan tantangan yang menyediakan ruang untuk saling berkontestasi secara kompetitif. Kondisi global mendambakan kualitas sehingga apa pun yang berkualitas akan dapat eksis. Acap kali kualitas itu amat ditentukan jika mampu meÂnampilkan sesuatu yang berbeda (liyan). Sastra etnik, dengan karaÂkteristiknya, sebenarnya berpoÂtensi diminati masyarakat global sepanjang mampu mengemas secara apik dan kondusif. Sastra etnik—sebagai bagian dari kebuÂdayaan—memiliki potensi kekayaan nilai-nilai budaya etnik yang perlu diseminasi dan dipromosiÂkan dalam rangka membangun harmoni sosial dan alam. Sastra etnik dapat dieksplorasi dan direÂvitalisasi secara dinamis sehingga perlu melakukan diaspora buÂdaya dalam wahana bahasa yang dipakai publik.
Sastra etnik akan eksis jika bersinergi dengan pihak yang memiliki kemajuan ICT sehingga sastra etnik dapat dikemas sesuai kondisi perkembangan kualitas publik. Untuk mengeksplorasi dan merevitalisasi sastra etnik, seniman komunitas sastra etnik perlu bekerja sama dengan penÂgelola media publik yang mampu menginseminasikan dan memproÂmosikan sastra etnik ke area lintas etnik dan budaya bangsa. (*)