Oleh: AGUS MAULUDDIN
Alumni mahasiswa sosiologi FISIP UIN SGD Bandung, mahasiswa Magister Sosiologi Universitas Indonesia
Negara Indonesia yang nota bene berideologi Pancasila yang secara historis disebutÂkan bahwa ideologi Pancasila adalah gambaran dari karakÂteristik bangsa Indonesia.
Secara esensial, ideologi Pancasila ini beÂgitu kentara memiliki afiliasi dengan agama. Agama seakan-akan tidak bisa dikotomikan dengan negara, begitu juga sebaliknya.
Ideologi Pancasila sering kita artikan sebagai ideologi murni bangsa Indonesia. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumÂnya, jika dilihat secara historis pun bahwa para founding fathers telah merumuskan Pancasila hingga seperti saat ini adanya, tentu tidak semudah yang dibayangkan. Tentunya perlu pertimbangan yang matang, dan perenungan yang mendalam.
Para founding fathers dalam merumuskan Pancasila yang senyatanya memang berangÂkat dari penjabaran bangsa Indonesia sendiri.
Sekularisme begitu ramai diperbinÂcangkan, khususnya di dunia akademisi. Memang menjadi suatu topik yang menÂarik untuk dielaborasi.
Akan tetapi, ketika dipertanyakan secara tataran praktisnya, apakah sekuÂlarisme ini relevan jika diterapkan di InÂdonesia mengingat Indonesia berideologi Pancasila?
Indonesia adalah suatu negara yang menerapkan sistem demokrasi Pancasila di mana seperti yang dipaparkan sebelumnya, bahwa Indonesia begitu kentara dengan agama.
Walaupun memang terdapat 6 agama yang dileÂgitimasi di Indonesia, yang kesÂemuanya memang berbeda akan tetapi sama secara substantif, sama-sama mengajarkan ‘nilai kebenaran dan kebaikan’.
Berangkat dari sekularisme, secara simplifikasinya di Indonesia tidak relevan jika menerapkan paham sekuler atau menÂdikotomikan agama dengan negara.
Akan tetapi secara definitif sekularÂisme dalam histoÂris-nya, yakni keÂtika sekitar abad ke-18 terjadinya ‘sekularisasi’ di mana yang awalnya segala huÂkum sesuatu itu diserahkan sepenuhnya pada gereja, tidak diberi kesempatannya seseorang untuk mengembangkan pengeÂtahuannya.
Akan tetapi, di sana mulai adanya sekularisme, yang mana gereja tidak lagi menjadi sentral, akan tetapi dengan sekuÂlarisme itu seseorang bebas mengekspreÂsikan dirinya. Dalam artian di sini adanya zaman pencerahan (enlightening), kebangÂkitan bangsa Eropa di dunia.
Serara substantif timbul adanya sekuÂlarisme ini memang bagus. Jika kita meÂnyoroti historis Islam pun akan sama juga. Misalnya saja, ketika pada abad ‘kemunÂduran Islam’. Islam seakan-akan begitu terpuruk. Para tokoh Muslim memperbincangkan hal itu, kenapa Islam bisa terpuruk?
Para tokoh Muslim pun memberikan solusi dan alasannya kenapa Islam seakan-akan terpuruk pada era saat itu. Ternyata setelah dicermati, bahwa Islam selangkah tertinggal dari ‘Barat’.
Yang notabene Barat sudah maju dalam ilmu pengetahuannya. Nah, di sana para muslimin seakan-akan tercerahkan. Dan, memiliki gagasan unÂtuk menerapkan ‘sekularisme’, yang mana sekuÂlarisme di sini diÂjabarkan tidak secara ekstrim.
E k s t r i m dalam artian senyata-nyatanÂya memisahkan antara agama dan negara, agama hanya untuk di masÂjid saja, politik yang hanya ada di negara. Penulis rasa para musliÂmin saat itu tidak seperti demikian.
Nah, jika diafiliasikan denÂgan bangsa Indonesia yang mayÂoritas berpenduduk muslim, berideÂologi Pancasila, penulis rasa jika harus menerapÂkan sekularisme bisa dipanÂdang relevan, bisa tidak.
Tapi, penulis konÂvergensikan, jika sekuÂlarisasi diejawantahkanÂnya pada pemisahan antara agama dan negara yang secara ekstrim maka penulis rasa tidak setuju jika sekularisme diterapkan.
Akan tetapi, jika hanya sebatas ranah ‘kebebasan dalam berinovasi’ dalam arÂtian menciptakan suatu yang baru ataupun ‘meniru’ teknologi Barat dan menerapkan di Indonesia tanpa agama melarang, penuÂlis rasa setuju dengan hal tersebut.
Penulis menitik-beratkan, jika memang sesuatu yang baru itu dipandang bagus kenapa tidak untuk diimplementasikan di Negara Indonesia tercinta ini. ***
sumber: suarakarya.id