Oleh: AHMAD BUCHORI
Mereka sepakat, agar daya saing AssoÂciation of SouthÂeast Asian Nations (ASEAN) meningÂkat sekaligus bisa menyaingi TionÂgkok dan India untuk menarik inÂvestasi.
Pembentukan pasar tunggal yang berlaku mulai Januari 2016 ini memungkinkan satu negara menÂjual barang dan jasa dengan muÂdah ke negara-negara yang sepakat dalam ASEAN Economic CommuÂnity (AEC) atau MEA sehingga komÂpetisi akan makin ketat.
MEA tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional, seperti dokter, pengaÂcara dan akuntan.
Selain itu, MEA juga membuka arus bebas investasi dan arus bebas modal di kawasan yang merupakÂan kekuatan ekonomi ketiga terbeÂsar setelah Jepang dan Tiongkok.
Bagi Presiden Joko Widodo ( Jokowi), memasuki era MEA itu artinya peningkatkan kemamÂpuan untuk berkompetisi mengÂhadapi persaingan, dan menjadi hal penting.
Presiden berharap masyarakat tidak takut terhadap persaingan.
Sebenarnya, Presiden Jokowi menilai, hampir semua kepala negara di ASEAN ketika bertemu dirinya justru mengkhawatirkan negara mereka kebanjiran produk dari Indonesia. Mereka beranggaÂpan, justru Indonesia yang diunÂtungkan dalam penerapan MEA.
ASEAN beranggotakan 10 negÂara, yakni Indonesia, Malaysia, FilÂipina, Singapura, Thailand, BruÂnei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja.
Untuk menyambut MEA, PresÂiden menyebutkan bahwa infraÂstruktur menjadi fokus pemerinÂtah dan telah disiapkan anggaran sebesar Rp313 triliun untuk pemÂbangunannya.
Sementara itu, ada beberapa catatan yang patut dicermati pada era MEA, antara lain berdasarkan laporan Indeks Kinerja Logistik 2014, Indonesia menempati poÂsisi 53 dengan nilai rata-rata 3,08, sementara negara tetangga, SinÂgapura berada di peringkat lima, Malaysia di posisi 25, Thailand di peringkat 35 dan Vietnam di perÂingkat 48.
Selain itu, laporan peringkat daya saing Indonesia 2015-2016 sebagaimana dikeluarkan Forum Ekonomi Dunia (FED) pada SepÂtember 2015 menyebutkan bahwa Indonesia pada laporan yang diÂlakukan terhadap 140 negara itu berada di posisi 37 dunia dengan nilai 4,52 atau turun tiga peringkat dibanding tahun lalu.
Singapura berada di posisi dua dengan nilai 5,68, Malaysia di posisi 18 dengan nilai 5,23, dan Thailand_di peringkat 32 dengan nilai 4,64.
Sementara itu, Filipina dan Vietnam masing-masing di posisi 47 dan 56 dengan nilai masing-masingn 4,39 dan 4,30.
Ada 113 indikator yang diÂgunakan FED untuk mengukur produktivitas suatu negara di antaÂranya adalah infrastruktur, inovasi dan lingkungan makro ekonomi. Siapkan diri
Indonesia sebenarnya telah menyiapkan diri dalam memaÂsuki era MEA. Meski masih ada sejumlah catatan perbaikan dari berbagai kalangan demi meraih kemenangan dalam persaingan.
Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar, RossaÂlis Rusman Adenan, menyoroti 12 sektor prioritas barang dan jasa dalam menghadapi MEA, empat di antaranya bergerak dalam biÂdang jasa. Dua di antara empat sektor jasa yang memainkan perÂan penting yakni logistik dan perÂhubungan udara.
Pemerintah yang dengan seÂmangat menjadikan negara sebÂagai poros maritim dunia, telah mencanangkan program Tol laut dalam rangka menekan biaya loÂgistik yang ini masih di kisaran 25 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Untuk mempercepat upaya menurunkan biaya logistik dan meningkatkan daya saing produk dengan mengurangi disparitas harga di wilayah Barat dan Timur, maka tiga dari enam trayek tol laut dimulai sejak 4 November 2015.
Berkaitan dengan industri penerbangan, Ketua Umum AsoÂsiasi Maskapai Penerbangan NasiÂonal (Inaca) M. Arif Wibowo meÂnilai, jika bea masuk komponen pesawat dibebaskan, maka akan menambah ruang untuk biaya opÂerasional, sehingga menciptakan layanan jasa penerbangan yang lebih kompetitif.
Arif, yang juga Direktur Utama Garuda Indonesia (anggota Sky Team), secara umum maskapai nasional siap menghadapi MEA, baik dari segi bisnis, sumber daya manusia, operasional, finansial dan pelayanan, terlebih dalam momentum yang bersamaan denÂgan kebijakan keterbukaan penÂerbangan kawasan Asia Tenggara (ASEAN Open Sky).
Adapun Ketua Umum PerÂsatuan Insinyur Indonesia (PII) Bobby Gafur Umar mengatakan, setidak-tidaknya ada tiga sektor yang perlu dipacu secara sungÂguh-sungguh dalam menghadapi persaingan, yakni konstruksi, inÂfrastruktur dan manufaktur.
Selain itu, dikemukakannya, pada sisi regulasi yang harus diÂsederhanakan.
Berkaitan dengan koperasi serta usaha kecil dan menengah (UKM), Asisten Deputi Urusan Kebijakan Pendidikan Koperasi Kementerian Koperasi dan UKM Rully Nuryanto menegaskan bahÂwa pemerintah tidak akan memÂbiarkan pelaku KUKM sendirian menghadapi MEA.
Pihaknya akan terus mendampingi KUKM dengan berbagai program dan pelatihan misalnya dalam meningkatkan kualitas dan kompetensi pelaku UKM.
“Kami butuh dukungan maÂsyarakat, terutama KUKM sebagai penunjang kekuatan ekonomi InÂdonesia yang berarti bahwa KUKM adalah pahlawan perekonomian kita,†katanya.
Pengamat ekonomi dari AsoÂsiasi Kader Sosio Ekonomi StratÂegis (Akses) Suroto mengatakan, tetap diperlukan aturan khusus semacam undang-undang untuk UKM sebagai bentuk keberpiÂhakan pemerintah terhadap sekÂtor yang paling banyak menyerap tenaga kerja.
Tanpa adanya aturan itu, menurut dia, sama saja Indonesia menganut ekonomi pasar bebas yang tidak memberikan keberpiÂhakan apapun kepada rakyatnya.
Di sektor pariwisata, Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Didien Junaedy mengatakan, pemerintah bukan hanya perlu melakukan promosi secara besar-besaran, menyeÂdiakan produk yang diinginkan oleh wisatawan, tetapi juga meÂnyiapkan sumber daya manusia (SDM) pariwisata yang terampil, hingga menjamin tersedianya prasarana dan sarana.
Peran pemerintah dalam pemÂbangunan pariwisata tidak hanya membuat regulasi, memfasilitasi, tetapi juga mengintervensi jika diÂanggap sangat perlu.
Berkaitan dengan ketenagakÂerjaan, Kepala Seksi Organisasi Pekerja Kementerian KetenagakÂerjaan Fritz Simon mengatakan bahwa MEA harus dipandang sebÂagai peluang yang harus dihadapi. MEA sudah tidak bisa lagi.
Simon mengemukakan bahwa pemerintah, pengusaha, dan peÂkerja harus aktif meningkatkan perÂan dan fungsi masing-masing. KareÂna itu, diperlukan komunikasi dan dialog untuk saling memperkuat.
Sedangkan, Direktur Dewan Serikat Pekerja Karyawan Sektor Jasa ASEAN (ASETUC) Kun WardÂana Abyoto mengatakan, globalÂisasi dan MEA tidak bisa dihindari sehingga pekerja di Indonesia haÂrus mempersiapkan diri.
“Pekerja harus mengantisipasi dengan memiliki kompetensi yang bisa diserap oleh lapangan kerja. Kita tidak tahu dalam dua atau tiga tahun ke depan, kondisi pekerjaan kita maÂsih sama atau tidak,†katanya.
Selain pelaksanaan MEA, Kun menilai, perkembangan teknologi yang pesat juga harus dipertimÂbangkan pekerja agar tidak keÂhilangan pekerjaan karena komÂpetensi yang tidak meningkat.
Salah satu perkembangan teknologi yang terjadi adalah adÂanya kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan robotisasi di berbagai bidang pekerjaan yang bisa menggantikan peran pekerja manusia.
Siap tidak siap, era MEA sudah tiba. Hasil peningkatan efisiensi, daya saing, nilai tambah, dan juga produktivitas dari beragam kinerÂja perekonomian di berbagai daeÂrah di Tanah Air akan diuji mulai awal tahun ini. (*)
sumber : antaranews.com