NEGARA ini, dari tahun ke tahun, dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya, senantiasa kedodoran dalam menyerap anggaÂran. Padahal, penyerapan anggaran, terutama untuk belanja infrastruktur, menjadi variabel penentu pertumbuhan ekonomi. Penyerapan anggaran akan membuat proyek-proyek infraÂstruktur bergerak. Ketersediaan infrastruktur pada gilirannya akan menarik investor menaÂnamkan investasi mereka di Indonesia.
Baik proyek pembangunan infrastruktur maupun investasi bakal menyerap tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja akan meningkatkan daya beli dan konsumsi masyarakat. Kita tahu ekonomi di negeri ini sebagian besar ditopang konsumsi dalam negeri. Pemerintahan PresÂiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memprogramkan pertumbuhan ekonomi sebesar 7% pada 2019.
Kita semula optimistis angka pertumbuhan ekonomi setinggi itu bakal tercapai mengingat anggaran infrastruktur meningkat secara fanÂtastis sebagai hasil pengalihan subsidi bahan bakar minyak. Terus terang, di balik optimisme itu, kita mewanti-wanti apakah pemerintahan Jokowi-JK sanggup menyerap anggaran sebesar itu secara optimal.
Pemerintahan sebelumnya saja yang angÂgarannya jauh lebih kecil terseok-seok menyerÂapnya, apalagi pemerintahan Jokowi-JK yang anggarannya terbilang dahsyat. Ambil contoh Kementerian Pekerjaan Umum dan PerumaÂhan Rakyat. Sebelumnya, anggaran kementÂerian itu cuma Rp86 triliun lebih. Kini kementÂerian itu mendapat gerojokan anggaran hingga Rp118 triliun.
Namun, hingga Juni penyerapannya baru sekitar 13% dari target sekitar 21%. Secara kesÂeluruhan realisasi belanja modal pemerintah Januari hingga 15 Mei 2015 baru 3,7%. Sekadar perbandingan, pada periode yang sama tahun lalu realisasi belanja modal sebesar 16,7%. RuÂpa-rupa kendala ditunjuk pemerintah sebagai penghambat penyerapan infrastruktur.