JAKARTA, TODAY — Masyarakat Indonesia ternyata belum siap menerima kenyataan bahÂwa harga Bahan Bakar Minyak (BBM) berubah setiap dua pekan sekali. Karena itu, PemerinÂtah masih terus mengkaji formula yang tepat untuk persoalan harga BBM.
“Idenya adalah bagaimana caranya maÂsyarakat itu tidak menderita karena terlalu sering ada perubahan harga dan budget tidak menderita karena bleeding dengan subsidi. Jadi kalau ditanya apakah pemerintah tetap konsisten dengan pencabutan subsidi. Kita akan konsisten tidak akan mundur,†kata MenÂteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said di Kantor ESDM, Jakarta, MinÂggu (31/5/2015)
Sempat bermunculan wacana bahwa penetapan harga BBM akan dilakukan setiap 3 atau 6 bulan sekali mengacu proyeksi harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah. Namun Sudirman mengaku persoalan ini masih dikaji secara konÂstan, sehingÂga belum menghasilkÂan keputusan. “Secara realistis saya harus terus katakan ini kan kebijakan baru. Jadi orang boleh kritik kok, apa namanya istilahnya, trial and error. Setiap kebijakan ada masa itu,†kata Sudirman.
Ide ini sudah disampaikan Sudirman kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Presiden pun meminta agar terus dikaji sampai menemukan pola yang tepat.
“Saya bilang ke presiden, ‘Pak kita lihat sampai november seperÂti apa polanya’. November ini artiÂnya sudah berjalan setahun dan kita lihat harga minyak ke depan seperti apa,†imbuhnya.
Meski demikian, Sudirman optimistis dalam kurun beberapa waktu ke depan, masyarakat akan terbiasa dengan harga yang naik turun. Terlihat dalam 5 bulan terakhir, sebenarnya demontrasi sudah cukup berkurang dibandÂingkan dengan beberapa waktu sebelumnya.
“Masyarakat akan makin terÂbiasa dengan proses yang naik tuÂrun tapi dengan syarat, jangan terÂlalu sering. Jadi saya optimistis di satu titik masyarakat akan terbiaÂsa, ya perokok saja (harga rokok) naik-turun tetap beli rokok. Nggak pernah demo tuh. Pulsa telepon juga gitu. Nggak ada demo,†tegas Sudirman.
Beberapa kajian yang tengah dilakukan Pemeritah terkait keÂbijakan harga BBM antara lain. Pertama, dengan memperpanjang frekuensi dari penetapan harga dan kedua adalah menyiapkan dana stabilitas.
“Jadi frekuensi akan dibikin lebih panjang dan kedua kita akan mempertimbangkan dana stabiliÂtas,†kata Sudirman Said.
Pertama soal frekuensi, sekaÂrang penetapan harga untuk Premium dan Solar dilakukan seÂtiap dua minggu sekali. Nantinya dimungkinkan berubah menjadi 3-6 bulan sekali. Hal ini dilakukan demi mengurangi kekagetan maÂsyarakat ketika harga BBM PreÂmium naik atau turun. “Jadi tidak lagi setiap dua minggu, tapi diÂperpanjang. Bisa 3 atau 6 bulan,†sebutnya.
Kedua, dana kompensasi. Sudirman memberi contoh, bila ada penurunan harga minyak dunia atau penguatan nilai tukar rupiah, maka harga BBM yang berlaku di masyarakat tidak ikut diturunkan. Karena ada selisih, maka akan disimpan sebagai dana kompensasi.
“Jadi jangan diturunkan hargÂanya tapi disimpan sebagai tabunÂgan. Ini dipakai untuk ketika harga melonjak tinggi lewati X plus Rp 1.500,†jelas Sudirman.
Formulasinya masih terus dikaji lebih lanjut. Sudirman mengaku juga bekerja sama dengan beberapa pihak. Seperti Kementerian Keuangan, KementÂerian BUMN dan Pertamina selaku BUMN terkait.
Sudirman menegaskan ini buÂkanlah mekanisme pasar. Namun upaya untuk mencari stabilitas harga dari pengaruh faktor eksterÂnal. Di samping juga memastikan tidak adanya kerugian negara dan dampak sosial di masyarakat.
“Kalau orang bicara serahÂkan ke pasar, itu salah. Ini kalau disimpan berdasarkan predikisi yang baik, itu tidak membebani anggaran negara. Saya tahu tidak menyenangkan semua orang, “ tegasnya.
Pertamax Naik Biasa
Pada bagian lain Sudirman Said mengomentari kenaikan harga Pertamax Sabtu lalu. MenuÂrut dia, kenaikan harga Pertamax adalah hak PT Pertamina (Persero) sebagai badan usaha. Apalagi jeÂnis BBM tersebut tidak disubsidi oleh pemerintah.
Di samping itu, Sudirman mengatakan konsumennya adalah masyarakat dengan kelas atas. SpeÂsifikasi minyak yang terkandung di dalamnya, yaitu ron 92 juga lebih tinggi dibandingkan premium.
“Kalau yang mengkonsumsi Pertamax siapa sih, kan orang-orang kaya. Kalau orang -orang kaya itu mengkonsumsi harga yang tidak seharusnya, kan kasiÂhan Pertamina, jadi biarkan menÂjadi positif,†terang Sudirman.
Sudirman mencatat bahkan konsumen Pertamax hanya 5% dari total konsumen BBM di dalam negeri. Cuma menurutnya banyak pihak yang salah tanggap dan terlalu mendramatisasi keadaan sekarang.
(Alfian M|dtc)