SEL-sel jaringan sindikat Narkoba masih eksis di banyak penjara atau lembaga pemasyarakatan (LP). Rusuh di LP Bengkulu baru-baru ini menjadi bukti belum adanya kesungguh-sungguhan pemerintah membersihkan (LP) dari sel-sel sindikat narkoba (narkotika dan obat-obatan) terlarang. Kalau LP-nya belum bersih, manajemen LP pun otomatis masih tersusupi sindikat narkoba.

Oleh: Bambang Soesatyo
Ketua Komisi III DPR RI, Fraksi Partai Golkar

Dengan begitu, LP menjadi salah satu titik lemah dalam upaya bersama me­merangi penetrasi sindikat narkoba di negara ini. Sindikat narkoba sudah menyu­sup ke banyak ruang publik hing­ga ke pemukiman masyarakat. Kekuatan penetrasi sindikat nar­koba itu sudah berhasil memban­gun kecemasan permanen pada semua keluarga Indonesia. Pu­luhan juta orang tua setiap hari diselimuti khawatir putra-putri mereka terperangkap menjadi pengguna.

Ternyata, LP bagi terpidana narkoba pun gagal fungsi. LP nar­koba, kendati dalam penjagaan super ketat, masih saja gagal menjadi instrumen yang berfung­si mereduksi perdagangan dan peredaran narkoba. Sebaliknya, banyak sel LP justru berubah fungsi menjadi ‘kantor’ bagi se­jumlah terpidana kasus narkoba untuk mengelola dan mengen­dalikan bisnis barang haram itu. Masyarakat pun harus ber­hadapan dengan fakta keseharian tentang maraknya transaksi nar­koba, dari tempat hiburan hingga gang-gang sempit di pemukiman masyarakat.

Gejala gagal fungsi LP nar­koba sudah terlihat sejak lama. Namun, pemerintah belum ber­sungguh-sungguh memperbaiki efektivitas LP narkoba. Ada kesan bahwa mewujudkan efekti­vitas LP narkoba menjadi peker­jaan sangat berat, karena Kemen­terian Hukum dan HAM harus terlebih dahulu melaksanakan pembersihan internal. Beragam kasus narkoba yang terungkap di sejumlah LP mengindikasi­kan bahwa sejumlah oknum di Kementerian Hukum dan HAM sudah menjadi bagian dari sel-sel sindikat narkoba, khususnya sejumlah oknum yang ikut mengelola manajemen LP. Fakta tentang kecenderungan ini sudah lebih dari cukup.

Karena itu, Kementerian Hukum dan HAM perlu menja­lin kerja sama khusus dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk melaksanakan program pembersihan internal itu. Men­teri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly harus mengakui bahwa inisiatif kementeriannya melaku­kan pembersihan internal tidak menghasilkan apa-apa. Pemba­karan LP Bengkulu pada Jumat, 25 Maret 2016 yang menewaskan lima narapidana itu, setidaknya menjadi bukti terbaru tentang kegagalan Kemenkum HAM.

Ada beberapa indikasi yang membuktikan bahwa oknum Kemenkum HAM yang menge­lola LP tidak bersih, atau men­jadi bagian tak terpisah dari sel-sel sindikat narkoba. Sudah didapatkan banyak fakta bahwa sel-sel sindikat narkotika di ber­bagai LP di Indonesia bisa dan telah menggunakan teknologi komunikasi canggih untuk men­gatur atau mengendalikan pere­daran narkotika di dalam neg­eri. Misalnya, di LP Narkotika Nusakambangan,narapidana dapat menggunakan antena pen­guat jaringan. Aneh bukan, LP superketat tapi napi bisa meng­gunakan telepon seluler dengan penguat jaringan yang dipasang di luar sel.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Contoh kasus yang satu ini sangat gamblang menjelaskan betapa oknum pengelola LP su­dah menjadi bagian dari sel-sel sindikat narkoba. Pada Maret 2011, Kepala LP Narkotika Nu­sakambangan dan dua bawah­annya, Kepala Seksi Pembinaan danKepala Keamanan, ditangkap petugas BNN. Ketiganya terlibat perdagangan narkotika di dalam LP. Bahkan, Kepala LP Nusakam­bangan itu menampung uang ha­sil transaksi narkotika di rekening cucunya.

Menyusul kasus itu, sudah tak terbilang jumlah pengungkapan kasus jaringan perdagangan nar­kotik di LP. Jaringan itu melibat­kan narapidana dan petugas pen­jara. Bahkan, sudah terbukti juga di LP Nusakambangan ada bisnis narkotika jaringan lokal dan in­ternasional.

Membersihkan Birokrasi

Sel-sel sindikat Narkoba bah­kan nyaris berhasil menyusup ke kantor Presiden, saat Presiden RI dengan berani sempat menerbit­kan grasi untuk terpidana mati kasus narkoba, Meirika Franola (Ola), jelang akhir 2012. Ban­yak kalangan mempertanyakan bagaimana dokumen permoho­nan grasi Ola bisa sampai ke meja Presiden? Karena dihujani kece­man, grasi itu akhirnya dicabut. Ola adalah terpidana mati kasus narkoba, karena terbukti meny­elundupkan 3 kilogram kokain dan 3,5 kg heroin di Bandara Soekarno-Hatta pada 12 Januari 2000. Vonis hukuman mati Ola sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah) setelah Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali ka­susnya pada Februari 2003.

Pembakaran LP Bengkulu juga mengindikasikan hal yang sama. Manajemen LP ini pun ti­dak bersih dari sel-sel sindikat narkoba. Rusuh di LP ini beraw­al dari langkah Polda Bengkulu mengembangkan penyelidikan sebuah kasus narkoba. Hasil penyelidikan itu mendapatkan tersangka Pakcik BD sebagai pengendali dari Lapas Bentiring. Pengembangan penyelidikan se­lanjutnya membawa petugas ke LP Bengkulu untuk mengambil tersangka kasus narkoba, Edison Irawan alias Aseng. Sesaat setelah tahanan yang satu ini dibawa pergi, kerusuhan yang berujung pembakaran LP pun terjadi.

Pertanyaan berikutnya adalah kapan LP di Indonesia bisa ber­sih dari sel-sel sindikat narkoba? Kalau Menteri Hukum dan HAM tidak bisa menjawab pertanyaan ini, masalahnya terpaksa dibawa ke hadapan Presiden Joko Wido­do. Seperti diketahui, , jelang akh­ir Februari 2016, Presiden telah memerintahkan BNN, Polri, TNI, BIN serta kementerian/lembaga untuk memulai pertempuran atau peperangan terhadap narkoba. Pertempuran ini harus besar dan tegas, guna memberikan efek jera bagi pelaku, sekaligus me­lindungi generasi muda Indonesia dari dampak negatif narkoba.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Kasus pembakaran LP Beng­kulu hendaknya digarisbawahi oleh BNN, Badan Intelijen Na­sional (BIN) dan Polri serta Ke­menterian Hukum dan HAM. Harus ada aksi bersama yang konsisten dan sungguh-sungguh untuk membersihkan semua LP dari penyusupan sel-sel sindikat narkoba. Kalau LP tidak pernah bisa dibersihkan, kasus serupa LP Bengkulu bisa terjadi di LP lain­nya. Pembakaran LP itu menjadi bukti lain tentang keberanian sel-sel sindikat narkoba melancarkan perlawanan balik kepada petugas negara yang melakukan penyergapan.

Kalau sekarang para bandar narkoba yang berstatus terpidana mendapatkan akses dan kelel­uasaan untuk mengendalikan bisnisnya dari dalam LP, suatu saat nanti mereka akan minta kepada para sipir LP untuk bo­leh mempersenjatai diri di dalam LP. Nantinya, sindikat narkoba tidak hanya membakar LP tetapi berani melancarkan perlawanan bersenjata, seperti kasus peng­gerebekan bandar narkoba di Matraman, Jakarta Timur, dan di wilayah Johar Baru, Jakarta Pusat, belum lama ini.

Kalau LP dibiarkan menjadi titik lemah, perang melawan sindikat narkoba yang diinisiasi Presiden Joko Widodo bisa ga­gal total. Perang itu tidak akan bisa menghentikan penyelundu­pan, perdagangan dan peredaran narkoba di dalam negeri. Sebab, semua tersangka atau terpidana kasus narkoba yang berhasil dis­ergap dalam perang itu bukannya menjalani hukuman dalam arti yang sebenar-benarnya. Mereka justru mendapatkan perlakuan istimewa dari oknum sipir LP dan diberi akses untuk meneruskan dan mengendalikan bisnis haram itu dari dalam sel-sel LP.

Maka, Presiden Joko Widodo perlu meminta jaminan dari Men­teri Hukum dan HAM tentang program pembersihan internal guna mengeliminasi sel-sel sindi­kat narkoba dari kementerian itu. Oleh karena aksi pembersihan in­ternal itu tidak membuahkan ha­sil maksimal, Menteri Hukum dan HAM pun hendaknya memberi akses kepada BNN dan BIN untuk mendeteksi oknum-oknum pada kementerian hukum dan HAM, khususnya di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (PAS) Kemen­kum dan HAM.

Dari luar, tampak sangat jelas bahwa Ditjen Pemasyarakatan Ke­menkum HAM menjadi titik lemah dalam perang melawan sindikat narkoba. Mestinya, tidak ada lagi toleransi bagi oknum sipir LP yang berperilaku menyimpang. (*)

============================================================
============================================================
============================================================