Oleh: RONNY P. SASMITA
(Analis Ekonomi Politik Internasional Financeroll Indonesia)
Sampai September 2015, realisasi pendapatan dan hibah tercatat sebeÂsar Rp 989,9 triliun. Di sisi lain, belanja negara ternyata sudah mencapai Rp 1.248,9 triliun. Jadi walhasil, ada kekurangan anggaran atau defisit anggaran sekitar Rp 259,2 triliun.
Seperti biasa, pemerintah akan menutup defisit dengan utang. Tahun ini, target utang yang dipatok pemerintah adalah sebesar Rp 222,5 triliun.
Namun rumitnya, ternyata sampai September 2015, pemerÂintah sedang berada dalam posisi berutang (secara gross) senilai Rp 263,8 triliun atau setara 118% dari target utang tahun ini.
Sehingga telisik demi telisik, akhirnya pemerintah hanya meÂmiliki sisa anggaran arus kas (cash flow) sekitar Rp 4,6 trilliun. Nilai itu jauh di bawah kondisi normal yang rata-rata berada di angka Rp 20-an triliun.
Nah, kerontangnya keuangan pemerintah inilah yang kemudian mulai memicu kekhawatiran PresÂiden Joko Widodo ( Jokowi). BahÂkan beberapa hari lalu, presiden pun memanggil Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito.
Hal ini tentu sangat bisa dipaÂhami, karena masalah utama yang membuat anggaran pemerintah kering-kerontang adalah melesetÂnya penerimaan pajak.
Jika dilihat data terbaru Ditjen Pajak per 4 November 2015, ternyata penerimaan pajak hanya mencapai Rp 774,5 triliun atau 59,8% dari target. Angka ini jauh lebih rendah 0,23% dibandingkan dengan penerimaan perpajakan pada periode yang sama tahun lalu.
Usut punya usut, secara tekÂnis, setoran pajak mengalami penurunan karena melandainya penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebeÂsar 2,51%, saat ini baru tercatat sebesar Rp 312 triliun.
Selain itu, PPh migas juga tuÂrun 41,3% menjadi Rp 43,8 triliun. Berdasarkan data tersebut, satu-satunya penolong yang membuat penerimaan sektor perpajakan menjadi agak lumayan datang dari PPh non migas yang tumbuh 10,60% menjadi Rp 400,4 triliun.
Lalu bagaimana pemerintah akan menutupi belanja di akhir taÂhun? Berdasarkan dalih dari Dirjen Pajak, usaha yang akan dilakuÂkan untuk menutupi kekurangan penerimaan adalah dengan fokus mengejar penerimaan pajak hingÂga Rp 300 triliun dalam dua buÂlan terakhir supaya kekurangan penerimaan pajak (shortfall) tidak melebihi angka Rp 160 triliun.
Secara matematis, jumlah tersebut akan berasal dari peneriÂmaan bulan November sebesar Rp 80 triliun dan bulan Desember 2015 sebesar Rp 100 triliun.
Dan selebihnya senilai Rp 120 triliun akan dicongkel dari reinÂventing policy. Kira-kira demikiÂanlah pembelaan dari petinggi Dirjen Pajak.
Sejatinya, rendahnya poÂsisi cash flow pemerintah ini memang belum terlalu mengkhaÂwatirkan. Toh, saat ini faktanya belanja pemerintah memang relatif lambat sehingga masih meÂmiliki cukup uang untuk waktu-waktu mendatang.
Jikapun memang sudah dalam kondisi yang sangat emergency misalnya, sebenanrnya pemerintah masih memiliki opsi untuk mengaÂtasi kekeringan cash flow dengan menarik utang siaga, misalnya.
Meskipun demikian, solusi cepat semacam ini tentu bukan tanpa risiko. Sehingga, pemerintah harus tetap berhati-hati dan diharapkan tetap bisa berkeputusan secara prudent karena bunga utang yang sifatnya “kepepet†dan “dadakan†seringkali super mahal.
Pun tak berbeda dengan APBN 2016, pemerintah sudah mewanti-wanti akan menerbitkan surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 327,2 triliun. Jumlah ini terbilang lebih tinggi dibandingkan yang tercatat di dalam APBN PerubaÂhan 2015 yang cuma sebesar Rp 265 triliun.
Berdasarkan pernyataan menteri keuangan, pemerintah akan mencari waktu tepat untuk mencetak utang, bahkan sudah siap dengan strategi front loading.
Strategi Front loading atau mempercepat penerbitan SBN di awal tahun, merupakan strategi yang memang sudah diterapkan pemerintah sejak awal tahun ini.
Lihat saja, sejak awal tahun 2015, pemerintah gencar menerÂbitkan surat utang dengan deÂnominasi valuta asing, mulai dari global bond senilai $ 4 miliar, globÂal sukuk senilai $ 2 miliar, samurai bond sebesar $ 1 miliar, dan euro bond sebanyak 1,5 miliar.
Dari cara pemerintah menyikaÂpi ancaman kekeringan kocek tersebut terlihat bahwa sebenarnya pemerintah sangat sadar bahwa ancaman penurunan penerimaan negara memang sedang mengintai.
Persoalan utamanya tentu akiÂbat perlambatan ekonomi yang kian jelas sejak awal tahun, sehingÂga sumber-sumber pendapatan perpajakan utama juga mengalÂami perngerucutan pendapatan, mengalami perlambatan pertumÂbuhan, dan mengalami kemandeÂgan ekspansi usaha.
Jadi pendek kata, sangat wajar kiranya jika kemudian banyak piÂhak yang meragukan kemampuan pemerintah dalam mencapai berÂbagai target dan ketetapan-ketetaÂpan ekonomi makro yang telah disepakati dalam APBN 2016.
Pasalnya keraguan yang munÂcul berbanding lurus dengan rentÂetan kegagalan pemerintah dalam merealisasikan mimpi APBN 2015.
Belanja pemerintah yang cenÂdrung melambat membuat vitaliÂtas pertumbuhan ekonomi yang memang sudah loyo malah menÂjadi semakin loyo, ditambah pula dengan implikasi el nino dan keÂpungan asap yang memperburuk dinamika bisnis di daerah SumaÂtera, Kalimantan dan Irian.
sumber: Harianhaluan.com