Oleh: HAMLI SYAIFULLAH
Peserta studi S-2 Keuangan Syariah STIE Ahmad Dahlan Jakarta
Emiten sebagai penÂgelola modal, dapat menginvestasikan dana yang diperoleh di pasar modal unÂtuk kegiatan bisnis yang bersifat jangka panjang, sehingga akan menguntungkan emiten.
Namun, tingkat literasi maÂsyarakat Indonesia terhadap pasar modal masih sangat rendah. Hal ini didasarkan pada survei literasi keuangan oleh OJK tahun 2013, hanya sekitar 21,84 persen masyaraÂkat Indonesia yang paham terhadap Lembaga Jasa Keuangan (LJK).
Dari data tersebut, tingkat literasi atas produk dan layanan yang diberikan pasar modal sanÂgat rendah, yaitu 4 persen denÂgan tingkat utilitas kurang dari 1 persen.
Di lain sisi, studi Bank Dunia (2012) menyebutkan bahwa maÂsyarakat kelas menengah IndoÂnesia pada tahun 2012 mencapai 56,5 persen dari total 237 juta penduduk saat itu.
Jika tahun 2003 jumlah maÂsyarakat yang masuk dalam katÂegori kelas menengah mencapai 81 juta jiwa, pada 2012 jumlahnya sudah berkembang menjadi 134 juta jiwa, atau tumbuh sebesar 65 persen hanya alam waktu sembiÂlan tahun.
Artinya, kecilnya literasi masyarakat yang berimplikasi pada kecilnya investor di pasar modal, masih bisa ditingkatkan secara perlahan-lahan. Karena peningkatan kelas menengah di Indonesia berkembang pesat dan merupakan kelas menengah yang konsumtif. Sehingga, akan menÂjadi pangsa pasar potensial untuk digiring agar mau berinvestasi di pasar modal.
Apakah seluruh kegiatan tranÂsaksi pasar modal dikategorikan sebagai bisnis halal, yang seluruh masyarakat muslim dapat mengÂinvestasikan dana di dalamnya; atau malah dikategorikan bisnis yang dilarang atau diharamkan? Dalam kaidah fiqih muamalah dinyatakan bahwa, prinsip dasar seluruh kegiatan muamalah diÂbolehkan sampai ada dalil yang mengharamkannya.
Artinya, segala bentuk tranÂsaksi dibolehkan, asalkan dalam transaksi tersebut, tidak menÂgandung hal-hal yang diharamÂkan seperti riba, gharar dan mayÂsir.
Jika dikorelasikan prinsip fiqih tersebut dengan praktik pasar modal, ternyata saat ini masih banyak aktivitas pasar modal di Indonesia yang bertentangan atau melanggar prinsip syariah, sebÂagaimana telah digariskan oleh fiqih, di antaranya: sekuritas yang diperdagangkan memproduksi baÂrang atau jasa yang haram, menÂjual sekuritas yang belum dimiliki, adanya manipulasi, dan lain sebÂagainya. (Muhammad Nafkir HR: 2009)
Menanggapi hal tersebut, pengelola pasar modal telah menyediakan pasar modal yang benar-benar halal, yaitu pasar modal syariah dengan produk saÂham syariah, obligasi syariah atau sukuk, dan reksa dana syariah. Semua produk yang diperdagangÂkan, merupakan instrumen yang halal sebagai sarana investasi maÂsyarakat muslim.
Selain itu, pada prinsipnya produk yang diperdagangkan dalam pasar modal syariah menÂgacu pada prinsip dan karakterisÂtik keuangan syariah. Salah satu prinsip dan karakteristik keuanÂgan syariah menurut FathurrahÂman Djamil (2013), asetnya harus mengandung kemaslahatan.
Sesuatu dipandang Islam bermasalah jika memenuhi dua unsur, yaitu kepatuhan syariat (halal) dan bermanfaat, serta membawa kebaikan (thayyibah) bagi semua aspek secara menyÂeluruh yang tidak menimbulkan mudharat dan merugikan salah satu aspek.
Artinya, modal yang didapatÂkan emiten di pasar modal syaÂriah, akan diivestasikan dalam kegiatan ekonomi yang halal, dan memberikan manfaat kepada maÂsyarakat umum, seperti untuk membangun bank dan lembaga keuangan mikro syariah, jalan raya, irigasi, perkebunan, dan lain sebagainya. Investasi jangka panjang ini, akan mampu meninÂgkatkan perekonomian dan kesÂejahteraan masyarakat.
Untuk mengembangkan pasar modal syariah di IndoneÂsia sangat sulit. Apalagi, ketika dikorelasikan dengan paradigma masyarakat yang berkembang, bahwa pasar modal syariah tetap haram untuk menjadi media inÂvestasi.
Tentu anggapan tersebut tiÂdaklah benar, karena DSN MUI telah memberikan rambu-rambu kehalalan bertransaksi di pasar modal syariah, baik bagi emiten maupun investor.
Sehingga kehalalan produk yang diperdagangkan di pasar modal syariah bisa terjaga, dan investor muslim bisa tenang berÂinvestasi di pasar modal syariah.
Dengan demikian, ada beÂberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengembangkan pasar modal syariah ke depan.
Pertama, edukasi tentang pasar modal syariah di perguÂruan tinggi, terutama perguruan tinggi yang membuka program studi ekonomi syariah. Karena, menurut survei literasi keuangan yang dilakukan OJK tahun 2013, 28 persen pelajar atau mahasiswa memiliki tingkat literasi yang baik dengan tingkat utilitas sebesar 44 persen.
Edukasi yang dilakukan bisa dengan membuka Galeri InvestaÂsi Bursa Efek Indonesia, ataupun dengan mengadakan Sekolah Pasar Modal Syariah (SPMS) di setiap kampus seluruh Indonesia.
Kedua, kajian mendalam tenÂtang pasar modal syariah. Kajian tentang pasar modal syariah harÂus melibatkan dan mensinergikan beberapa elemen pendukung, seperti akademisi di perguruan tinggi, DSN-MUI, dan OJK.
Kajian dapat berupa Focus Group Discussion (FGD), Forum riset ilmiah yang dibuka untuk kalangan umum, kajian fiqih konÂtemporer tentang pasar modal syariah, dan lain sebagainya.
Salah satu tujuan dari adanya kajian tersebut, untuk menemuÂkan model pengembangan dan edukasi pasar modal syariah di Indonesia.
Ketiga, menindak tegas pelaku 13 tindakan yang melangÂgar syariah sesuai dengan fatwa DSN-MUI No. 80, seperti hal-hal yang mengandung dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kezaliman, baik dari kalangan anggota bursa (AB) ataupun dari kalangan investor.
Hal tersebut untuk menjaga kredibilitas pasar modal syariah di kalangan masyarakat. Jika keÂtiga hal tersebut terealisasi denÂgan baik, Insya-Allah pasar modal syariah akan berkembang signifiÂkan. ***