TRADISI mudik Lebaran dalam masyarakat IndoneÂsia dari tahun ke tahun sangat mengesankan, menÂcengangkan, sekaligus sangat merepotkan terutama bagi pemerintah dan aparat keamanan. Setiap tahun menjelang Lebaran (Idul Fitri), orang dalam jumlah jutaan manusia seakan digerakkan oleh suatu kekuaÂtan luar biasa dari satu tempat metropolis yang diangÂgap sebagai tempat mencari nafkah ke suatu tempat kampung halaman lain yang disebut sebagai tempat asal-muasalnya.
Menjelang Lebaran, masyarakat Indonesia bergerÂak dalam jumlah yang sangat menakjubkan, sehingÂga budayawan terkemuka Indonesia, Umar Kayam (1993), pernah mengatakan bahwa mudik lebaran itu sebagai “menjalani suatu ritus yang tidak jelas apakah itu suatu keajaiban fenomena agama, fenomena sosÂial, atau fenomena budaya.†Fenomena mudik LebaÂran ini nyaris merupakan suatu “keajaiban†karena agaknya, tidak ada satu ritus lain pun di Indonesia yang dapat menandinginya dalam skala dinamika gerÂak massa manusia.
Ritus mudik Lebaran ini telah memindahkan massa manusia dalam jumlah jutaan orang dari suatu kota ke kota yang lain, atau dari suatu kota ke daerah pedesaan (migrasi kota desa) terutama di Jawa, Bali, dan SumaÂtera dalam waktu seminggu atau dua minggu secara ulang-alik. Dalam gerak perpindahan ulang-alik ini, jutaan manusia ambil bagian dalam ritus mudik lebaran tersebut. Tentu saja jumlah orang yang akan diangkut kendaraan (bus, kereta api, pesawat terbang, kapal laut) tidak sebanding, sehingga bepergian dalam rangÂka ritus mudik Lebaran ini merupakan suatu pergulatan atau perjuangan tersendiri.
Fenomena ini bahkan merupakan deviasi dari fenomena ritus mudik Lebaran yang dari tahun ke taÂhun selalu menunjukkan peningkatan luar biasa, baik dari aspek jumlah orang yang ambil bagian dalam ritus ini, persoalan tindak kriminal yang (mungkin) akan timÂbul, masalah penyebaran penduduk, sarana dan prasaÂrana angkutan jalan raya, hingga ke persoalan rumah tangga ekonomis.
Ritus mudik Lebaran yang telah menjadi seÂbuah fenomena bagi masyarakat Indonesia ini telah mengerahkan dana yang sangat besar. Orang-orang yang hidup dan bekerja di suatu kota besar akan meÂmindahkan atau menggerakkan sejumlah dana yang cukup signifikan ke suatu kota lain atau di pedesaan kampung halamannya. Tentu saja, mobilitas finansial ini juga merupakan fenomena tersendiri bagi geliat ekonomi dan roda pembangunan di daerah pedesaan atau kota lainnya.
Ritus ini telah mengumpulkan keluarga-keluarga inti yang berserakan di kota-kota besar di Jawa atau di luar Jawa, di Bali atau Sumatera, yang tidak sempat reriÂungan dengan keluarga besar mereka, sehingga ritus ini merupakan ritus untuk menegaskan kembali kesetiaan yang terhampar dan menyebar di mana-mana.