Oleh: AE Priyono
Pendiri Situs Civic-Islam
Sekularisme ternyata tiÂdak mampu menjadi atÂernatif bagi agama. JürÂgen Habermas lah yang memperkenalkan peÂmikiran bahwa sekularisme tradisÂional justru mengalami krisis, dan bertransformasi menjadi post-secularism. Di zaman pasca-sekuÂlarisme, agama masih menjadi sumber pembentuk norma moral. Dalam banyak kasus, ketika agama menjadi penantang sekuarisme politik – yaitu pemisahan agama dan negara – norma moral agama malah digunakan sebagai sumber legitimasi politik, juga justifikasi legal kebijakan-kebijakan sosial.
Tapi sejalan dengan itu ada keÂcenderungan negatif melanda agaÂma-agama terorganisasi. Karena eratnya hubungan antara agama dan politik, eksternalitas agama sering lebih menonjol ketimbang internalitasnya. Sejalan dengan itu aspek intrinsik agama, yaitu spiritualitas, menjadi tenggelam. Kecenderungan ini membuat agaÂma seperti terpisah dari spirituÂalisme. Sementara agama-agama formal makin mengalami penÂgetatan organisasi, spiritualisme berkembang begitu cair dan maÂkin melepaskan diri dari agama-agama terorganisasi itu.
Peragaman Spiritualitas
Gejala ini pernah menarik perhatian Jorge N. Ferrer dalam sebuah ulasannya yang dimuat juÂrnal online Kosmos. Menurutnya, praktek spiritual dewasa ini menÂgalami inovasi, proliferasi, dan peragaman yang luar biasa subur. Spiritualitas jenis ini disebutnya sebagai spiritualitas post-secular, spiritualitas pasca-sekularisme.
Spiritualitas pasca-sekularisme merupakan semacam reaksi natuÂral terhadap globalisasi agama dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Mengutip penelitian lain, Ferrer menunjukkan bahwa dalam abad globalisasi agama, dunia kini seÂdang melihat munculnya berbagai macam jenis agama baru. Jumlah agama-agama sekarang telah menÂcapai 9.900, dengan setidaknya dua agama baru lahir setiap hari.
Lebih lanjut, Ferrer juga menÂcatat bahwa pembludakan jumlah agama-agama di zaman globalisasi agama, kini telah menimbulkan ketidakpastian dan kebingungan. Karena agama-agama mengalami transnasionalisasi, kini juga seÂdang terjadi fenomena proselitÂisme global, munculnya identitas keagamaan ganda, sinkretisme yang makin intensif, dll.
Ferrer mengajukan serangÂkaian pertanyaan hipotetis. (1) Apakah pada akhirnya umat maÂnusia akan menyatu ke dalam seÂbuah kredo keagamaan tunggal? (2) Apakah perkembangannya justru akan menuju ke arah pluÂralisasi dalam berbagai bentuk ekspresi spiritual yang berbeda dan saling bertentangan satu sama lain? (3) Atau adakah jalan tengah yang mampu merekonsiliasikan kerinduan manusia akan kesatuan spiritual di satu pihak, dan pada saat yang sama menyediakan doÂrongan ke arah individuasi dan diferensiasi spiritual di pihak lain?
Empat Skenario ke Arah SpiriÂtualisme Global
Sampai di sini, Ferrer tidak melihat keterpisahan mutlak anÂtara agama dan spiritualisme. BahÂwa keduanya mengalami keteganÂgan, benar. Namun skenarionya bukanlah keterpisahan, tetapi kombinasi-kombinasi yang bervaÂriasi. Ferrer mengajukan empat skenario menyangkut kemungkiÂnan-kemungkinan kombinasi itu.
Skenario pertama mengÂgambarkan kemunculan sebuah agama global atau keyakinan tunggal untuk seluruh umat maÂnusia. Agama global akan munÂcul dari kemenangan salah satu tradisi spiritual atas tradisi spiriÂtual lainnya, atau berasal dari semacam sintesis berbagai tradisi keagamaan. Ada dua model dari kemungkinan munculnya agama global ini. Yang pertama diconÂtohkan seperti agama Budhisme Tibet ala Dalai Lama, yang meruÂpakan puncak ajaran Budhisme yang diterima semua aliran. Yang kedua menyerupai gerakan New Age yang merupakan perpaduan seluruh ajaran spiritual berbagai agama. Impian akan datangnya sebuah spiritualitas global sepÂerti dua contoh itu dimungkinkan karena inspirasinya sedang terus dikembangkan melalui berbagai upaya dialog antar-iman.
Skenario kedua bisa terjadi karena agama-agama saling menÂgalami transformasi. Transformasi itu memungkinkan tradisi spiritual masing-masing mempertahankÂan identitas asalnya, tetapi terus berkembang melalui serangkaian interaksi dan pertukaran tradisi dari berbagai agama yang berbeda. Tielhard de Chardin, spiritualis Katolik terkemuka, meyakini bahwa penyerbukan spiritual lintas-agama memungkinkan lahirnya serikat-serikat spiritual yang kreatif di kaÂlangan berbagai penganut agama.
Keragaman visi rohaniah itu bukan menghapus tetapi justru memperkaya setiap tradisi. SkenarÂio kedua ini meyakini pandangan Chardin itu, dan berdasarkan visi tersebut memproyeksikan munÂculnya bentuk sinkretisme inovatif yang baru, misalnya Yahudi-BudÂhisme, Islam-Hindu, Katolik-Tao, Tao-Islam, dsb. Ini juga yang diyaÂkini berbagai spirtualis lain seperti Arvind Sarma dari kalangan Neo- Hinduism yang meyakini bahwa “iluminasi timbal-balik†adalah sisi konstruktif sinkretisme agama.
Skenario ketiga berasal dari afirmasi bahwa kebajikan dari berÂbagai prinsip dan ajaran spiritual yang dikembangkan kelompok-kelompok spiritualis antar-agama bisa menyumbangkan lahirnya, apa yang disebut Hans Kung sebÂagai, etika global dan mistisisme universal. Kebajikan antar-spiriÂtualitas dikembangkan misalnya oleh teolog Kristen, Wayne TeasÂdale, atas dasar sembilan eleÂmen ajaran spiritual: (i) kapasitas moral; (ii) solidaritas terhadap sesama mahluk hidup; (iii) doktrin anti kekerasan; (iv) laku-spiritual; (v) kerendah-hatian; (vi) pengeÂtahuan tentang diri; (vii) hidup sederhana; (viii) pengabdian pada sesama berdasarkan kasih; dan (ix) kesetiaan pada misi profetik.
sumber; Satuharapan.com