bambangsKETENTUAN hukum acara perdata kita, yang terdapat dalam Het Herzienne Indonesische Reglement/HIR (Staatblaad No. 44 / 1941), hanya mengenal tiga macam sumpah, yakni sumpah suppletoir (pasal 155 ayat 1), atau sumpah yang diperintahkan oleh hakim untuk melengkapi bukti dalam perkara perdata.

BAMBANG SUDARSONO
Pemerhati Hukum dan HAM

Sumpah aestimatoir (Pasal 155 ayat 2) adalah sumpah untuk menaf­sirkan, sumpah yang di­perintahkan oleh hakim kepada penggugat untuk menaf­sirkan besarnya ganti kerugian. Serta sumpah decissoir (pasal 156 HIR) merupakan sumpah pemu­tus yang dimintakan pihak lawan dalam sengketa perdata, karena tidak adanya alat bukti lain yang bisa diajukan dalam pemerik­saan di persidangan. Berdasarkan ketentuan di atas tidak dikenal secara tegas adanya sumpah po­cong. Demikian pula dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP, yang mengatur tentang alat bukti (Pasal 184 ayat 1), juga tidak dikenal bukti sump­ah pocong.

Sumpah pocong sebagai produk dan praktik pranata adat biasanya dilaksanakan dengan cara tidur membujur ke utara menghadap kiblat di dalam masjid dan mengenakan kain kafan, serta dipocong seperti mayat. Sumpah pocong diyakini membawa kon­sekuensi, apabila keterangan atau janjinya tidak benar, yang ber­sumpah akan mendapat hukuman atau laknat dari Tuhan. Sumpah ini dilaksanakan karena beberapa pertimbangan, diantaranya kare­na sulit mendapatkan alat bukti lain, tidak banyak mengeluarkan biaya dan lebih cepat dalam me­nyelesaikan sengketa, serta meru­pakan alternatif penyelesaian sen­gketa adat yang turun temurun.

BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN

Persoalannya apakah sumpah pocong memiliki legalitas hukum, sebab secara normatif sumpah harus diucapkan di muka hakim dalam sidang pengadilan. Sedan­gkan bila sumpah pocong harus dilakukan di muka sidang pengadi­lan jelas akan menghilangkan nilai kesakralannya.

Untuk itu diperlukan tero­bosan hukum bagi keberadaan sumpah pocong, yakni melalui permohonan pemeriksaan setempat oleh hakim (plaatselijk onderzoek). Perihal dikabulkan tidaknya permohonan tersebut adalah wewenang judex factie (hakim sebagai fakta pengadilan tingkat pertama dan banding).

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

Teknisnya, para pihak yang berperkara memohon kepada ha­kim untuk melaksanakan sumpah pocong sebagai sumpah pemutus (decissoir) dan bersifat menen­tukan (litis decissoir). Dalam hal ini pihak yang memerintahkan kepada lawan untuk bersumpah disebut defferent dan pihak yang menerima sumpah adalah delaat. Setelah hakim menyetujui, sump­ah pocong tetap dilaksanakan di tempat yang semestinya (Masjid) dan hakim menyaksikan secara langsung prosesi tersebut. Selesai pelaksanaan sumpah, berikutnya hakim tinggal memberikan putu­san berdasarkan fakta pembuktian sumpah pocong dan keyakinan­nya. Bila putusan tersebut pada akhirnya dijadikan yurisprudensi atau putusan hakim yang mem­punyai kekuatan hukum tetap yang dijadikan sumber hukum dan mengikat para pihak yang bersen­gketa. Maka ini merupakan wujud kontribusi kearifan lokal dalam sistem hukum yang berlaku di negara kita.

Yayasan Bhakti Alumni Yustisia 081578358200

============================================================
============================================================
============================================================