Pelajaran penting yang diperoleh dari Ratu Sakti adalah prinsip dasar kepemimpinan yang harus bertegak di atas etika. Spirit melakukan recovery pembangunan, tidak bisa dilakukan dengan cara-cara otoriter. Semua harus berpijak pada aturan, sebagaimana telah diteladani oleh Prabu Siliwangi dan Prabu Surawisesa.
Oleh : Bang Sem Haesy
HAL lain? Proses pengambilan keputusan tidak bisa dilakukan hanya berdasarkan kewenanÂgan dan semangat melakukan percepatan pemulihan keadÂaan selepas krisis. Khasnya krisis ekonomi dan politik.
Carita Parahiyangan memÂberi catatan khas tentang Ratu Sakti: Aja tinut de sang kawuri pola sang nata. Maknanya, siapapun yang memimpin Bogor kemudian tidak boleh meniru perilaku raja yang satu ini. Esensi dari catatan ini adalah bagaimana seorang pemÂimpin harus teguh menjaga dan memelihara diri dari tahta, harta, dan wanita. Ketiganya membuat seseorang menjadi terlena.
Salah satu hal yang memÂbuat Ratu Sakti turun tahta adalah pengambil alihan atas harta wajib pajak, yang kemuÂdian diserahkannya kepada orang lain yang memberikan upeti kepadanya. Termasuk mengambil hutan perdikan, lalu diserahkan kepada orang lain untuk mengelolanya. Meskipun memberi pendaÂpatan bagi kerajaan, tetapi tindakan demikian telah meÂnyebabkan kawasan perdikan mengalami alih fungsi.
Kawasan perdikan sebagai kawasan keunggulan, tempat orang memusatkan perhatian pada proses pembelajaran tenÂtang ilmu pengetahuan agama, dihapuskan begitu saja. TeruÂtama, karena dianggap tidak memberi dampak langsung terhadap ekonomi.
Meskipun secara ekonomi keadaan Pajajaran membaik, tapi sikap otoriter Ratu Sakti telah menyebabkan terjadinya ketidak-adilan. Digambarkan dalam Carita Parahiyangan, sepeninggal Ratu Sakti (1551), yang diwariskannya kepada Prabu Nilakendra atau ToÂhaan Majaya adalah : wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pêpêlakan. Para petani menjadi serakah akan makanan, dan tidak merasa tenteram ketika menanam. Mereka was-was, hasil produkÂsi akan dirampas begitu saja. Terutama, karena beragam jenis pajak, seperti calagra, kapas timbang, dan pare dongÂdang diatur semau-maunya.
Bagi Nilakendra, warisan Ratu Sakti memang tak berbiÂlang nilainya. Ia pun sempat mengikuti kebiasaan Ratu DeÂwata dan Ratu Sakti: ngibuda sanghyang panji, mahayu na kadatwan, dibalay manelah taÂman mihapitkeun dora laranÂgan. Memerintahkan pegawai membuat bendera keramat (untuk menghormati Ratu Dewata), dan memperindah keraton (peninggalan Ratu Sakti) dengan membangun taÂman berbalay – memperluas infrastruktur yang diapit gerÂbang larangan.
Tak hanya itu. Nilakendra juga meneruskan dengan : miÂgawe bale bobot pitu welas jajar tinulis pinarada warnana cacaritaan. Mendirikan banÂgunan megah 17 baris yang diÂhiasi dengan emas, yang mengÂgambarkan bermacam-macam cerita (kedigjayaan) masa lamÂpau.
Kepemimpinan NilakenÂdra tidak lebih baik dari dua pemimpin sebelumnya. ReÂcovery ekonomi dan menÂingkatnya pendapatan tidak mendorongnya melakukan tindakan produktif. KesenanÂgan berpesta pora, membuat petani dipaksa mengolah nira untuk kepentingan yang berbeda dengan masa Prabu Surawisesa, karena kali ini diproduksi menjadi tuak untuk kepentingan pesta. Cai tiningÂkalan nidra wisaya ning bakÂsakilang : Air yang memabukÂkan menjadi pelengkap makan dan minum.
Secara sinis digambarkan, Nilakendra tak berminat memÂpelajari ilmu pengetahuan, kecuali pengetahuan tentang kuliner : tatan a gamagyan keÂwaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beunghar.