Oleh: AGUS SARSITO
Chief Technical Adviser Forest Law Enforcement, Governance and Trade-Voluntary Partnership Agreement (FLEGT-VPA)-Multistakeholder Forestry Programme (MFP)

Diterapkannya secara penuh Sistem Veri­fikasi Legalitas Kayu (SVLK) mulai 1 Januari 2016 seperti irama lon­ceng kematian yang mengerikan.

Namun situasi yang berbeda 180 derajat dialami oleh banyak sebagian lagi. Pemberlakuan SVLK bukanlah sesuatu yang mesti ditakutkan. Bahkan perlu disambut positif.

Adanya jaminan usaha yang lebih kuat dan kemudahan untuk menembus pasar ekspor men­jadikan SVLK seperti minuman energi di tengah melambatnya perekomomian nasional.

Bagaimana situasi bertolak belakang itu terjadi. Jawabannya adalah soal kepatuhan terhadap hukum. Mereka yang ketar ketir dengan implementasi SVLK bo­leh jadi kurang tertib dalam men­jalankan usahanya selama ini.

Bukan hanya pada keabsahan bahan baku kayu yang mereka gunakan, tapi juga pada perizinan mendasar yang seharusnya mer­eka penuhi pada saat mulai men­jalankan bisnis. Sebut saja Izin Usaha Industri (IUI), Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Izin Gangguan (HO), Tanda Daftar Pe­rusahaan (TDP), atau bahkan No­mor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Buat mereka yang telah me­lengkapi semua perizinan terse­but, sejatinya tak ada alasan untuk khawatir terhadap SVLK. Sebab sistem tersebut bekerja hanya untuk memastikan pelaku usaha perkayuan memenuhi se­luruh perizinan yang memang dipersyaratkan.

SVLK pun bukanlah aturan perizinan baru. Ia hanya mengon­firmasi bahwa setiap usaha perka­yuan mulai dari hulu hingga hilir menaati hukum yang berlaku.

Adalah sebuah kewajiban bagi setiap warga negara untuk mema­tuhi hukum, tak ada pengecual­ian. Di mata hukum semua orang memiliki kedudukan yang sama.

Jadi SVLK adalah jaminan legalitas usaha dan bahan baku kayu yang dimanfaatkan. Plus, menawarkan kemudahan dan kelancaran akses untuk menem­bus pasar baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Komitmen Indonesia

SVLK penting untuk mem­perkuat upaya pemberantasan pembalakan dan perdagangan kayu ilegal. SVLK melengkapi upaya pemberantasan pembal­akan dan perdagangan kayu ile­gal melalui penegakan hukum.

Pemberantasan illegal logging dan illegal timber trade melalui penegakan hukum terbukti ber­hasil menurunkan kegiatan illegal logging secara signifikan.

Upaya tersebut diyakini akan lebih efektif dengan pengemban­gan sistem yang bisa mencegah kayu dan produk kayu keluar dari pelabuhan Indonesia tanpa dilengkapi dokumen legalitas.

Inisiatif pengembangan SVLK muncul pada pertemuan inter­nasional pertama terkait dengan penegakan hukum dalam ra ngka mengatasi illegal loging, yakni For­est Law Enforcement and Gover­nance (FLEG) di Bali tahun 2001.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Adanya hubungan antara supply dan demand kayu ilegal, maka penegakan hukum saja ti­dak memadai untuk memerangi illegal logging.

Kesepahaman pun mengeru­cut bahwa supply kayu ilegal ter­bentuk karena adanya perminta­an. Dengan demikian disepakati bahwa pemberantasan illegal log­ging perlu dibarengi dengan pem­berantasan illegal trade.

Dengan FLEG, penegakan hukum hanya dilakukan di neg­ara produsen dan dirasa kurang fair dan efektif. Maka muncullah inisiatif baru, yaitu Forest Law Enforcement, Governance, and Trade (FLEGT), dimana negara konsumen berpartisipasi aktif memerangi illegal logging.

Pengembangan SVLK didasari oleh komitmen Indonesia dalam pemberantasan illegal logging untuk melindungi kelestarian sumber daya hutan.

Pengembangan SVLK diawali dengan mendefinisikan legalitas, melalui proses konsultasi para pihak secara intensif dalam kurun waktu satu tahun. Setelah disepakatinya definisi legalitas tersebut, maka di­lanjutkan dengan penyusunan kri­teria dan indikator legalitas kayu.

SVLK di desain dengan dua skema, yakni Pengelolaan Hu­tan Produksi Lestari dan skema legalitas kayu. Pelaku usaha pe­manfaatan hutan negara diharus­kan memenuhi ketentuan yang mengatur tata cara PHPL.

Sementara bagi hutan hak milik cukup berlaku skema le­galitas. Industri kayu primer dan sekunder juga cukup wajib memenuhi ketentuan legalitas.

Kepatuhan pelaku usaha dalam pemanfaatan hutan neg­ara, pemilik hutan hak, industri kayu primer dan sekunder perlu diverifikasi kebenarannya. Ke­benaran mematuhi ketentuan yang berlaku dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat legalitas dan atau sertifikat PHPL.

Sertifikat legalitas dan atau PHPL itu diberikan lembaga penerbit serti­fikat setelah dinyatakan memenuhi persyaratan oleh lembaga yang melakukan audit (verifikasi).

Lembaga penerbit sertifikasi sendiri baru bisa menjalankan perannya jika telah mendappat akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional. Ini memastikan lemba­ga penerbit verifikasi bekerja se­cara profesional dan sesuai den­gan standar yang berlaku secara internasional.

Dalam prosesnya, verifikasi legalitas kayu yang dilakukan oleh lembaga penerbit sertifikat juga diawasi langsung oleh ma­syarakat sipil sehingga mencegah kemungkinan sertifikat yang di­lansir ‘masuk angin’.

Dampak

Pastinya SVLK telah brdam­pak positif sejak mulai diterap­kan secara bertahap tahun 2013. Kepercayaan konsumen menjadi alasannya.

Apalagi, negara konsumen juga melakukan berbagai upaya untuk menutup masuknya kayu ilegal ke negara mereka sebagai bagian dari komitmen pemberan­tasan perdagangan kayu haram. Ini membuat pasar kayu resmi menjadi lebih lebar.

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

Sebagai gambaran, ekspor produk-produk yang masuk dalam kelompok A, yaitu produk yang paling awal diwajibkan SVLK, selalu naik. Jika pada ta­hun 2012, saat SVLK belum diim­plementasikan, nilainya sebesar 5,17 miliar dolar AS, maka pada tahun 2013 sat SVLK sudah diter­apkan nilainya naik 11,1% menjadi 5,74 miliar dolar AS. Tahun 2014 nilainya kembali naik 3,75% men­jadi 5,96 miliar dolar AS.

Kondisi sama juga terjadi pada produk mebel. Meski be­lum dikenai kewajiban, tapi banyak juga yang bersemangat dan mengejar SVLK. Dampak­nya positif, ekspor furnitur yang menggunakan SVLK pada setiap klaster naik signifikan.

Di Jepara misalnya, jika pada tahun 2013 ekspor produk mebel yang bersertifikat SVLK tercatat baru 14,4 juta dolar AS, maka pada tahun 2014 nilainya mencapai 32,7 juta dolar AS atau mening­kat 129,34%. Ini dipengaruhi oleh semakin tingginya permintaan produk dengan legalitas kayu dan antusiasnya eksportir mebel untuk menggunakan dokumen SVLK.

Dari sisi perbaikan tata kelola hutan, SVLK juga berdampak san­gat positif. Sebab seluruh usaha berbasis kayu harus tertib den­gan semua perizinan yang men­jadi kewajibannya. Patuh kepada hukum yang mewajibkannya.

Bagi mereka telah memiliki izin-izin tersebut secara leng­kap sebenarnya tak perlu pusing mengikuti proses verifikasi SVLK. Apalagi pemerintah menyediakan anggaran untuk biaya sertifikasi, bagi pelaku usaha skala rakyat.

Alokasi anggarannya tahun 2015 ini mencapai Rp33,2 miliar yang berasal dari APBN Kementeri­an Lingkungan Hidup dan Kehuta­nan dan Multistakeholder Forestry Progrramme III. Pemerintah juga sudah memberi kemudahan-ke­mudahan persyaratan bagi pelaku usaha kehutanan skala rakyat.

Namun keluhan harus diakui masih ada. Ini disebabkan pelaku usaha kehutanan skala rakyat ini kesulitan untuk memenuhi per­izinan mendasar secara lengkap.

Di sinilah peran pemerintah daerah sangat penting. Mengin­gat perizinan seperti SIUP, TDP atau izin HO adalah kewenangan pemerintah daerah.

Memastikan proses perizinan tersebut transparan, akuntabel dan bebas biaya tinggi tentu akan membuat pemberlakuan SVLK tak bakal menjadikannya bak lon­ceng kematin bagi usaha kehuta­nan skala rakyat, melainkan so­nata perbaikan tata kelola hutan yang indah. (*)

============================================================
============================================================
============================================================