Oleh: FAISAL BASRI
Pengamat Ekonomi
Setengah abad kemudian, kerajaan Sriwijaya menÂguasai perairan NusanÂtara dan sangat disegani di Selat Malaka dan Samudera Hindia.
Tidak sebatas melakukan perdagangan lintas samudera, kerajaan Sriwijaya juga melakukan perjanjian bilateral dengan keraÂjaan di Tiongkok untuk memajuÂkan perdagangan dan bekerja sama menumpas kawanan perompak di sepanjang jalur perdagangan.
Kejayaan Majapahit pada abad XII juga tidak terlepas dari ketangÂguhan armada laut dan dagangÂnya, sehingga mampu berkiprah dalam perdagangan luar negeri.
Kodrat negara kepulauan sejatinya memang terbuka. SeÂbagai negara kepulauan terbeÂsar di dunia—dengan hamparan pulau-pulau yang dipertautkan oleh lautan membentuk zamrud khatulistiwa—perdaganganlah yang menjadi motor penggerak kemakmuran.
Tanpa perdagangan, sebagian besar hasil bumi bakal teronggok membusuk dan berbagai kebutuÂhan yang belum mampu dihasilkÂan sendiri, bisa didatangkan dari luar negeri.
Sebagian besar negara ASEAN juga berkarakter terbuka sejak lama. Porsi ekspor dan impor dalam produk domestik bruto (PDB) rata-rata negara ASEAN relaÂtif sangat tinggi. Sejak awal 2000- an perdagangan di antara sesama negara ASEAN praktis sudah beÂbas, nyaris tanpa hambatan.
Tidak sebatas perdagangan. Mobilitas manusia antar negara ASEAN juga tanpa hambatan beÂrarti. Jutaan tenaga kerja Indonesia bekerja di Malaysia dan Singapura.
Maskapai penerbangan ASEAN sudah lama leluasa mendarat di berbagai kota di Indonesia. Bank-bank milik Malaysia dan Singapura dengan mudah dijumpai di berbÂagai kota. Bahkan, bank-bank asÂing di luar ASEAN sekalipun, memÂperoleh perlakuan yang sama.
Tenaga profesional seperti akuntan, penasihat keuangan, dan manajer pabrik dari negara luar dengan mudah ditemui di berbagai perusahaan nasional maupun multinasional.
Lantas, apa yang hendak diÂcapai dengan MEA? Jangan terÂpukau dengan kepanjangannya: Masyarakat Ekonomi ASEAN. MEA jauh api dari panggang denÂgan Uni Eropa. Dari namanya saja sudah mencerminkan perbedaan mendasar.
Uni Eropa sejak berdirinya suÂdah menerapkan berbagai instruÂmen untuk berintegrasi. Mereka punya mata uang tunggal, angÂgaran tersendiri, dan Parlemen Eropa. Semua negara anggota menganut demokrasi dan standar sosial yang tinggi.
MEA tidak pernah mengguÂnakan kata integrasi dengan keÂlengkapan instrumennya. ASEAN lebih menekankan pada integrasi dengan perekonomian global. Memang, pendirian ASEAN lebÂih sarat dengan muatan politik ketimbang ekonomi.
ASEAN berdiri ketika perang Vietnam sedang berkecamuk, muncul ketakutan penetrasi koÂmunisme di Asia Tenggara, serta Indonesia dan Malaysia baru saja selesai berkonfrontasi. Kala itu tidak satu pun negara ASEAN meÂmiliki hubungan diplomatik dengan Tiongkok.
Instrumen yang diandalkan adalah kerja sama. Kesepakatan hampir selalu diiringi oleh pengeÂculian atau exclusion list yang panÂjang. Dalam kerangka MEA, yang mengemuka bukanlah integrasi atau unifikasi, melainkan konekÂtivitas lewat physical connectivÂity, institutional connectivity, dan people-to-people connectivity.
Karakteristik ASEAN yang outward looking terlihat dari porÂsi perdagangan intra-ASEAN yang sangat rendah dan cenderung mandek. Pada 2004, perdaganÂgan intra-ASEAN hanya 24,3 persÂen dari keseluruhan perdagangan luar negerinya dan turun menjadi 24 persen pada 2014.
Bandingkan dengan perdaÂgangan intra-Uni Eropa yang mencapai hampir dua pertiga dari total perdagangan luar neÂgerinya pada 2013, dan NAFTA sekitar separuh dari total perdaÂgangan luar negeri Amerika, Kanada, dan Meksiko.
Mitra dagang utama mayoriÂtas negara ASEAN adalah TiongÂkok, Uni Eropa, Jepang, Amerika Serikat, Korea Selatan, Australia, India, Rusia, Kanada, dan SeÂlandia Baru.
Apakah dengan begitu MEA tidak membawa manfaat bagi negara-negara ASEAN? Tentu saja tidak. Dengan mengedepankan konektivitas, pasar ASEAN lebih terintegrasi. Pihak luar ASEAN memandang ASEAN sebagai satu pasar sehingga lebih memikat.
Betapa tidak, PDB berdasarÂkan paritas daya beli (GDP based on purchasing power parity) ASEÂAN pada 2014 senilai lebih dari 6 triliun dolar AS, terbesar keemÂpat setelah Tiongkok, Amerika Serikat, dan India. Jepang di uruÂtan kelima.
Pasar ASEAN yang relatif beÂsar ini menambah daya tarik bagi investor dari luar ASEAN dan juga investor dari dalam ASEAN. SekaÂlipun MEA terwujud, investasi asÂing langsung di ASEAN melonjak tajam dari 21 miliar dolar AS pada 2000 menjadi 112 miliar dolar AS pada 2014.
Pada periode yang sama, inÂvestasi asing langsung dari dalam ASEAN sendiri juga melonjak dari 0,8 miliar dolar AS menjadi 24,4 miliar dolar AS. Walaupun porsi penanaman modal asing langsung intra-ASEAN relatif renÂdah, namun peningkatannya cuÂkup menakjubkan, dari hanya 2,8 persen tahun 2000 menjadi 17,5 persen pada 2014.
Tantangan terbesar bagi IndoÂnesia adalah bagaimana menarik sebanyak mungkin penanaman modal asing langsung itu. Bukan hanya menjadikan Indonesia sebÂagai target pasar semata, melainÂkan memilih Indonesia sebagai production base untuk pasar reÂgional maupun global.
Sejauh ini Indonesia agak terÂcecer, Vietnam dan Malaysia lebÂih banyak dipilih oleh produsen kelas dunia. Belakangan Vietnam menjadi primadona baru. Boleh jadi Myanmar akan menyusul.
Indonesia tidak boleh terpaku pada konsep komoditi unggulan. Kelebihan dari ketiga negara yang disebutkan terdahulu adalah pada kemampuannya beradapÂtasi dengan sistem global supply chain. Ketiga negara itu memperÂsiapkan infrastruktur pendukung agar dilirik oleh produsen parts and components. Jadi, yang dijaÂdikan target adalah kegiatan ungÂgulan, bukan produk unggulan.
Di era MEA, ancaman utama bukanlah membanjirnya barang impor dari ASEAN, karena era ASEAN Free Trade Area (AFTA) sudah lama terwujud. Durian Bangkok telah lama membanjiri Indonesia. Produk minuman dari Malaysia sudah merajalela.
Sebaliknya, Indonesia meÂmiliki peluang memasarkan beÂragam buah-buahan dan sayur mayur. Kuncinya adalah pembeÂnahan pasca panen dan dukunÂgan logistik.
Jika hendak memperoleh maslahat (benefit) lebih besar, mau tak mau Indonesia harus memperkokoh industrialisasi agar porsi produk manufaktur dalam ekspor naik signifikan. Hanya dengan meningkatkan ekspor manufaktur, Indonesia dapat menikmati additional gains from trade dari peningkatan perdagangan intra-industri.
Namun bagaimanapun, karena pasar Indonesia terbesar di ASEÂAN—dua kali lipat lebih besar dari Thailand yang di urutan kedua— potensi maslahat yang bisa digapai Indonesia relatif lebih kecil.
Dengan pertimbangan itu, InÂdonesia selayaknya mendorong ASEAN memperlebar jangkauan dengan menggandeng negara-negara yang pasarnya lebih besar. Dengan Tiongkok ASEAN telah mengikatkan lewat ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA).
Vietnam tampaknya tak bisa menunggu inisiatif ASEAN selanÂjutnya. Dengan kesadaran penuh, Vietnam lebih maju dua-tiga langÂkah. Vietnam bergabung dengan Trans-Pacific Partnership (TPP) yang dimotori Amerika Serikat dan telah menandatangani perÂjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa.
Indonesia baru menyatakan minat. Produk-produk Indonesia yang hendak masuk ke Amerika Serikat harus melewati jalan biÂasa sedangkan Vietnam menikÂmati jalan tol bebas hambatan.
Ironis kalau kita menatap kemÂbali ke sejarah panjang Nusantara. Untuk jasa keuangan, khususnya perbankan, Indonesia sangat terÂtinggal. Tiga bank terbesar dari segi aset diborong oleh Singapura. Tiga posisi berikutnya diduduki oleh bank-bank Malaysia.
Di posisi ke-7 sampai ke-10 diiÂsi oleh bank-bank Thailand. Bank Mandiri sebagai bank terbesar di Tanah Air menyusul di posisi ke- 11. BRI, BCA, dan BNI menguntil setelah Mandiri.
Supaya lebih bertaji, tidak ada pilihan lain bagi bank-bank nasional kecuali melakukan konÂsolidasi dengan bergabung. Jika misalnya Mandiri dan BNI berÂgabung, posisinya langsung naik ke urutan ke-7. Singapura, MalayÂsia, dan Thailand jauh hari sudah melakukan konsolidasi secara konsisten.
Bank ibarat jantung perekoÂnomian. Fungsinya menyedot dana dari masyarakat dan meÂmompakan kembali dana itu ke masyarakat dalam bentuk kredit.
Betapa lemah fungsi jantung dalam perekonomian Indonesia, tercermin dari besarnya kredit yang disalurkan sektor keuangan hanya 46 persen dari PDB, jauh lebih kecil dibandingkan Thailand sebesar 173 persen, Malaysia 143 persen, dan Vietnam 108 persen.
Kita hanya menang tipis terhÂadap Kamboja (40 persen). Tentu saja, kondisi di atas disebabkan oleh dana pihak ketiga yang juga masih relatif rendah.
Tak heran karena jumlah orang dewasa yang memiliki akses ke perbankan (financial inclusion index) juga sangat rendah yaitu hanya 36,1 persen. Bandingkan dengan 80,7 persen untuk MalayÂsia dan 78,1 persen untuk Thailand.
Tiada jalan mundur bagi InÂdonesia. Sejarah panjang bangsa ini membuktikan, hanya dengan menyerang (outward looking) rakyat Indonesia bisa lebih seÂjahtera. Jangan karena alasan tiÂdak siap, membuat kita semakin menutup diri.
Dengan lebih menutup diri dan defensif, risikonya adalah keterpurukan relatif lebih dalam. Kita akan semakin tercecer dalam kancah global.
Saatnya membangkitkan seÂmangat dan tekad baru, kembali ke jati diri sebagai bangsa mariÂtim dengan memperkokoh saÂrana dan prasarana perhubungan laut. Penguatan transportasi laut dengan kelengkapan sarana penÂdukungnya, menjadi modal dasar untuk memenuhi prasyarat mutÂlak untuk berjaya mengarungi inÂtegrasi regional dan global.
Prasyarat itu adalah menginÂtegrasikan perekonomian nasiÂonal. Bagaimana mungkin kita berhasil berintegrasi dengan perÂekonomian regional dan global, kalau perekonomian nasional sendiri belum terintegrasi. (*)