Untitled-4SETELAH menjadi finalis di Gourmand World Cookbook Awards, buku “Rahasia Wine” karya Yohan Handoyo terbitan GPU berhasil menjadi The Best Wine Education Book in the World. Mengalahkan saingannya dari 10 negara, bahkan mengalahkan buku “How to Choose Wine” terbitan Dorling Kindersley, penerbit buku-buku referensi yang ternama di dunia itu. Buku tersebut dipamerkan di London Book Fair dan Frankfurt Book Fair di bulan Oktober 2008.

Oleh : Latifa Fitria
[email protected]

Seperti mimpi, bisa menga­lahkan terbitan Dorling Kindersley, How to Choose Wine – Vin­cent Gasnier, DK – UK, seorang somelier ter­kenal di dunia di tem­pat kedua,” katanya bangga.

Bagaimana tidak, ia baru pertama kali menulis buku. Semen­tara buku yang diterbit­kan Gramedia dan berba­hasa Indonesia itu bersaing ketat melawan 8.000 buku yang sama, dari 107 negara.

Tak bermaksud sombong. Han­ya tak pernah menyangka. Satu-satunya mimpi masa kecilnya hanyalah menjadi Batman. Yohan yang besar di Surabaya dan Bogor sama sekali tak pernah membayang­kan dirinya bakal berurusan dengan wine, sebuah minuman yang sejak jaman Romawi dikenal sebagai lambang minuman enak, pesta pora, dan kenikmatan.

Pengalaman pertama menenggak wine adalah sebuah peristiwa yang tidak men­genakkan, atau dengan kata lain, mema­lukan. Suatu ketika, ia membaca sebuah ulasan mengenai salah satu wine terbaik, berbintang lima, di sebuah harian Australia. Nama wine berbintang lima itu Jim Barry the Armash Shiraz. Kata-katanya yang berbun­ga-bunga membuat imajinasinya membuncah ingin mencoba. Apa daya, harganya yang sangat mahal sehingga harus ditebus dengan pengorbanan sebagai anak kuliahan: beker­ja keras dan menyisi­hkan tabungan.

BACA JUGA :  6 Manfaat Madu Hitam bagi Kesehatan Tubuh

Rasa percaya diri yang tidak didukung oleh pengetahuan yang memadai pada akhirnya akan menye­satkan. Untuk mem­buka botol wine, ia harus mengerahkan satu sumpit, satu tang, dua teman, satu serbet yang membuat gabus wine itu rusak, lalu ia menuangkannya di sebuah gelas kopi. Rasa wine itu sepat dan pahit sekali! “Saya sampai bertanya sebenarnya yang bodoh itu saya atau pengulas wine itu?,” katanya.

Keberuntungan kembali menghampiri ketika penerbit Gramedia memintanya un­tuk menulis buku. Oleh Yohan, hal ini diang­gap sebagai sebuah sinyal masa depan. Ia lalu menghubungi Sopexa dan selama dua tahun kemudian dia dikirim ke Perancis sela­ma dua tahun untuk belajar wine. Kemudian ia menuju ke Austria untuk belajar wine, un­dangan dari pemerintah setempat. Dan sejak itulah hidupnya terus berkutat dengan wine.

“Dulu aku hanya mengenal dua tam­bah dua sama dengan empat. Tapi kini, aku merasa hidupku penuh warna. Aku menik­mati wine, seperti aku menikmati hidupku kini. Mencoba menangkap sensasi yang di­tawarkan oleh kenikmatan rasa wine,” kata Yohan.

Lalu ia menambahkan pernyataan bahwa setiap wine memiliki story dan kenikmatan yang berbeda-beda. Seperti puisi, masing-masing memiliki sensasi yang berbeda-beda, yang dengan sangat baik diungkapkan den­gan kata-kata olehnya.

Belakangan ini, ia baru menyadari bahwa keberhasilannya dalam dunia wine tak jauh dari rumah dan lingkungannya sendiri. Ia yang selama ini berpikir sederhana dan logis -tentu yang diperoleh dari ilmu matematika, akutansi, statistik- akhirnya mampu menye­derhanakan pengetahuan wine yang rumit di dalam buku yang memenangkan penghar­gaan internasional itu.

BACA JUGA :  Kecelakaan di Pangleseran Sukabumi, Truk Angkut Kayu Gelondongan Terguling

Kelebihan lainnya, ia memberikan pema­haman dan cara pandang baru terhadap wine. Bila dulu kita harus menghapal white wine dengan daging merah dan sebaliknya, maka kini ia mengajarkan untuk memadu­kan wine dan makanan melalui rasa dasar yang masing-masing: asam, manis, sepat, berat, ringan, dsb. “Untunglah saya memiliki mami yang gemar memasak dan sangat tidak percaya diri,” ia membuka rahasia.

Ia sering bertugas menemani sang ibu memasak, termasuk menjadi komentator hasil olahan. Suatu ketika, ibunya memiliki pemikiran dahsyat -seperti dikatakan Yo­han, “Bagaimana anak-anak saya tahu bahwa makanan ini kurang bumbu, sementara rasa masing-masing bumbu saja mereka tak per­nah tahu?”

Demi tujuan itu, ia “dipaksa” untuk men­gunyah laos, mengunyah serai, merasakan kemiri mentah, merasakan bedanya dengan kemiri sangrai, merasakan kunir, merasakan kluwak, dan masih banyak lagi.

“Dulu buat saya ini siksaan, rasanya pen­gen nangis. Tapi kini, setelah masuk ke du­nia wine, inilah latar belakang yang sangat sangat bagus,” kata Yohan yang memuji-muji kluwak matang yang rasanya seperti dark chocolate atau black olive yang dipuree. ”It­ulah yang saya sebut sebagai bless in disguise sekarang.”

Dunia wine kini adalah profesionalitas­nya. Di luar itu, ia juga menikmatinya. “Tak hanya soal rasa asam, manis, buah, tapi ses­uatu yang lebih subtil. Inilah yang yang saya rasakan kini sebagai petualangan setiap wak­tu dan petualangan sensasi.” kata Yohan.

============================================================
============================================================
============================================================