MEMANFAATKAN sumberdaya alam secara tepat dan benar adalah keniscayaan dalam membangun suatu masyarakat, negara, dan bangsa. Pada transisi Pakuan dari Pajajaran ke masa berkuasanya Kerajaan Negeri Surasowan (Kesultanan Banten), hal ini juga yang menjadi titik temu, meskipun dari aspek religius melahirkan sinkretisma.
Bang Sem Haesy
SURASOWAN sendiri sendiri, sesungguhnya merupakan KeraÂÂton yang dibangun oleh Maulana Hasanuddin. Kraton ini sempat berubah menjadi benteng pertaÂÂhanan, kala tentara Portugis yang didatangkan dari Manila (Filipina) menyerbut Jayakarta dan Banten.
Dari namanya jelas, para penerus Kerajaan Negeri Surasowan merupakan kelanjutan dari kerajaan sebelumnya (Wahanten), dan tidak berpretensi meÂÂnanggalkan tradisi masa lalu. Tradisi yang dirasa telah membuat wilayah itu makmur dan sejahtera, karena subur, banyak ikan, aneka makanan, dan merupakan kawasan perkebunan tamarin yang berkualitas. Wahanten menjadi andalan Pajajaran untuk ekspor tamarin dan cuka ke Afrika dan Eropa.
Kerajaan Negeri Surasowan Banten memberikan perlindungan kepada para wiku yang kemudian tinggal turun temurun (sampai kini) dan menjadi perkampungan orang asli di Kanekes. Selebihnya esensi ajaran Islam yang didakÂÂwahkan oleh utusan Banten di Pakuan, seperti ungkap Husein Djajadiningrat adalah soal tauhid.
Pintu masuk penyebaran IsÂÂlam di Pakuan dan daerah PajaÂÂjaran sekitarnya adalah pemahaÂÂman tentang Batara Seda Niskala sebagai Sanghyang Tunggal, yang juga Batara Jagad diberikan aksenÂÂtuasi sebagai Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rabbul Alamiin. Allah yang Maha Pencipta dan Pemelihara Alam Semesta. Inilah yang kemuÂÂdian menegaskan korelasi antara triangle of life — hubungan manuÂÂsia dengan Tuhan, insan sesama dan alam semesta, yang mewujud dalam Tri Tangtu – terkoneksi denÂÂgan pemahaman asasi eksistensi Allah Yang Maha Absolut, Maha Distinc, dan Maha Unique sebÂÂagaimana tersurat dan tersirat di dalam Surah Al Ikhlas (Qulhu).
Masuknya Islam ke kalangan masyarakat Pajajaran di Pakuan, tidak menimbulkan kegaduhan, dan berjalan sangat smooth. Istilah-istilah dan simbol-simbol keagamaan, kecuali yang sangat fundamental relatif tidak diubah, seperti : swarga, naraka, puasa, sembah hyang, netepan, pupuÂÂjian, guguru, dan ngaji. Lagi pula, Pajajaran lama tidak meninggalÂÂkan artefak berupa candi atau seÂÂjenisnya. Pajajaran lebih banyak meninggalkan nilai-nilai kearifan dan budaya, sebagai ekspresi dan refleksi perkembangan peradaban yang dicapainya.
Dalam konteks Pakuan PajaÂÂjaran, islam tidak disebarkan oleh pedagang, melainkan oleh kaum khashsash, para wiseman, orang-orang bijak yang sengaja mengemÂÂban tugas dari Maulana Yusuf. Karenanya, Islam di Pakuan lebih terasa sentuhan intelektualitasnya.
Selain tauhid, pendekatan yang dipakai juga akhlak, antara lain dengan menerapkan prinsip-prinsip dalam Siksakandang ing Karesian, yang menjadi pedoman hidup orang Sunda di masa Prabu Siliwangi dan Prabu Surawisesa. Antara lain dengan menerapkan Dasa Prasanta, sebagai parigeuing, pedoman aksi. Yaitu : Guna (kebaÂÂjikan dan kearifan), Ramah (beÂÂstari), Hook (dengan kasih sayang dan empati), Pésok (memikat hati), Asih (kasih sayang), Karunya (berbelas kasih), Mupreruk (memÂÂbujuk), Ngulas (mengulas yang baru mengoreksi yang lama seÂÂcara baik), Nyecep (membesarkan hati dengan human touch), Ngala angen, mengambil hati melalui silaturahmi untuk membangun harmoni.