DSCN1006MEMANFAATKAN sumberdaya alam secara tepat dan benar adalah keniscayaan dalam membangun suatu masyarakat, negara, dan bangsa. Pada transisi Pakuan dari Pajajaran ke masa berkuasanya Kerajaan Negeri Surasowan (Kesultanan Banten), hal ini juga yang menjadi titik temu, meskipun dari aspek religius melahirkan sinkretisma.

Bang Sem Haesy

SURASOWAN sendiri sendiri, sesungguhnya merupakan Kera­ton yang dibangun oleh Maulana Hasanuddin. Kraton ini sempat berubah menjadi benteng perta­hanan, kala tentara Portugis yang didatangkan dari Manila (Filipina) menyerbut Jayakarta dan Banten.

Dari namanya jelas, para penerus Kerajaan Negeri Surasowan merupakan kelanjutan dari kerajaan sebelumnya (Wahanten), dan tidak berpretensi me­nanggalkan tradisi masa lalu. Tradisi yang dirasa telah membuat wilayah itu makmur dan sejahtera, karena subur, banyak ikan, aneka makanan, dan merupakan kawasan perkebunan tamarin yang berkualitas. Wahanten menjadi andalan Pajajaran untuk ekspor tamarin dan cuka ke Afrika dan Eropa.

Kerajaan Negeri Surasowan Banten memberikan perlindungan kepada para wiku yang kemudian tinggal turun temurun (sampai kini) dan menjadi perkampungan orang asli di Kanekes. Selebihnya esensi ajaran Islam yang didak­wahkan oleh utusan Banten di Pakuan, seperti ungkap Husein Djajadiningrat adalah soal tauhid.

BACA JUGA :  Manfaat Jus Jambu untuk Kesehatan, Bisa Turunkan BB Juga? Simak Ini

Pintu masuk penyebaran Is­lam di Pakuan dan daerah Paja­jaran sekitarnya adalah pemaha­man tentang Batara Seda Niskala sebagai Sanghyang Tunggal, yang juga Batara Jagad diberikan aksen­tuasi sebagai Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rabbul Alamiin. Allah yang Maha Pencipta dan Pemelihara Alam Semesta. Inilah yang kemu­dian menegaskan korelasi antara triangle of life — hubungan manu­sia dengan Tuhan, insan sesama dan alam semesta, yang mewujud dalam Tri Tangtu – terkoneksi den­gan pemahaman asasi eksistensi Allah Yang Maha Absolut, Maha Distinc, dan Maha Unique seb­agaimana tersurat dan tersirat di dalam Surah Al Ikhlas (Qulhu).

Masuknya Islam ke kalangan masyarakat Pajajaran di Pakuan, tidak menimbulkan kegaduhan, dan berjalan sangat smooth. Istilah-istilah dan simbol-simbol keagamaan, kecuali yang sangat fundamental relatif tidak diubah, seperti : swarga, naraka, puasa, sembah hyang, netepan, pupu­jian, guguru, dan ngaji. Lagi pula, Pajajaran lama tidak meninggal­kan artefak berupa candi atau se­jenisnya. Pajajaran lebih banyak meninggalkan nilai-nilai kearifan dan budaya, sebagai ekspresi dan refleksi perkembangan peradaban yang dicapainya.

BACA JUGA :  Resep Membuat Cah Kangkung Saus Tiram yang Lebih Sedap Bikin Ketagihan

Dalam konteks Pakuan Paja­jaran, islam tidak disebarkan oleh pedagang, melainkan oleh kaum khashsash, para wiseman, orang-orang bijak yang sengaja mengem­ban tugas dari Maulana Yusuf. Karenanya, Islam di Pakuan lebih terasa sentuhan intelektualitasnya.

Selain tauhid, pendekatan yang dipakai juga akhlak, antara lain dengan menerapkan prinsip-prinsip dalam Siksakandang ing Karesian, yang menjadi pedoman hidup orang Sunda di masa Prabu Siliwangi dan Prabu Surawisesa. Antara lain dengan menerapkan Dasa Prasanta, sebagai parigeuing, pedoman aksi. Yaitu : Guna (keba­jikan dan kearifan), Ramah (be­stari), Hook (dengan kasih sayang dan empati), Pésok (memikat hati), Asih (kasih sayang), Karunya (berbelas kasih), Mupreruk (mem­bujuk), Ngulas (mengulas yang baru mengoreksi yang lama se­cara baik), Nyecep (membesarkan hati dengan human touch), Ngala angen, mengambil hati melalui silaturahmi untuk membangun harmoni.

============================================================
============================================================
============================================================