MEMPRIHATINKAN. Kata tersebut sangat tepat menggambarkan situasi sektor pertanian Indonesia. Negeri yang menyandang predikat negara agraris ini dari tahun ke tahun kian menggantungkan diri pada produk pangan impor.

Badan Pusat Statistik mencatat nilai impor produk pertanian melonjak drastis lima kali lipat selama lima tahun terakhir. Laju pertumbuhan impor tersebut jauh melampaui laju pertumbuhan penduduk selama satu dekade.

Dengan mempertimbangkan laju inflasi dan nilai tukar rupiah selama periode yang sama, pertumbuhan impor produk pertanian masih jauh meninggalkan laju pertumbuhan penduduk. Itu berarti kemampuan negeri kita dalam menghasilkan produk pertanian melemah sehingga harus ditutupi impor.

Penyebabnya sangat jelas terlihat. Lahan usaha tani menyusut sebanyak 5 juta hektare menjadi 26 juta hektare. Dalam tempo 10 tahun itu pula, Indonesia kehilangan 5,07 juta rumah tangga usaha petani.
Di sisi lain, teknologi pertanian yang diterapkan di Indonesia tidak banyak berkembang. Bawang merah impor merambah hingga ke sentra-sentra

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

Produksi di dalam negeri. Gula mentah impor menyeruak ke pasar domestik hingga mematikan usaha petani tebu.
Janji menambah lahan milik petani yang dilontarkan pemerintah tidak kunjung dipenuhi. Perbaikan tata niaga pertanian untuk memotong rantai pasokan produk petani pun terbengkalai. Rakyat lebih memilih menjadi pedagang yang bisa meraup untung berkali lipat ketimbang hidup miskin sebagai petani.

Bila hal itu terus dibiarkan, bukan tidak mungkin pertanian Indonesia akan bernasib seperti sektor minyak dan gas bumi. Indonesia berubah dari eksportir neto menjadi importir neto. Ini sungguh gambaran masa depan yang merisaukan, bahkan menyeramkan.

BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dengan tegas memberi mandat kepada pemerintah agar menetapkan kebijakan impor pangan yang tidak berdampak negatif terhadap usaha petani. Selain itu, Undang-Undang No 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani memberikan jaminan kesejahteraan kepada petani agar bisa tetap berproduksi. Tambahan 2 hektare lahan untuk petani guram yang telah berkecimpung di usaha tani selama lima tahun berturut-turut juga menjadi mandat. Kini, tinggal menunggu usaha keras pemerintahan Jokowi-JK menunaikan perintah undang-undang. Gerak cepat membenahi sektor yang menghasilkan pangan bagi anak negeri harus ditempuh. Hanya ada dua pilihan, yakni mandiri dan berdaulat di bidang pangan atau tunduk di bawah kendali negara-negara pemasok pangan.(*)

============================================================
============================================================
============================================================