eau_dubai_t3_lrt_fr

BOGOR, TODAY—Kepastian rencana pembangunan jaringan kereta ringan/light rail transit (LRT) di Tanah Baru akhirnya mendapat titik terang. Berdasarkan revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2015 tentang Percepatan Jaringan Kereta Ringan Light Rail Transit (LRT) Terintegrasi Wilayah Penyangga Ibu Kota, terminal LRT yang tadinya ke Baranangsiang akan dialihkan ke Tanah Baru.

“Sudah positif, itu juga salah satu cara mengurangi bangkitan di pusat kota. Perpres sudah direvisi menurut informasi yang didapatkan,” ujar Walikota Bogor, Bima Arya Sugiarto, di Balaikota Bogor, Minggu (25/9/2016).

Jadwal pembangunan sendiri, kata Bima Arya, sekarang ini sedang menunggu tahapan-tahapan dari Jakarta untuk sampai ke Bogor. “Kita juga belum tahu masuknya ke Kota Bogor kapan,” beber Bima.

Selain LRT, Pemkot juga sedang menjajaki pembangunan jaringan trem. Hal itu setelah ada tawaran dari Consortium CRRC Zhuzhuo Locomotive Co. Ltd. & PT. Megaguna Ganda Semesta yang ingin membangun jaringan trem di Kota Bogor.

Dalam presentasinya pihak CRRC Zhuzhuo Locomotive menawarkan jaringan trem mulai dari kawasan Kedung Halang hingga ke bundaran Sukasari dan dari Sukasari ke stasiun.

Menanggapi tawaran ini, Bima mengatakan yang perlu diperhatikan adalah desain yang harus sesuai dengan tata ruang di Kota Bogor. Terutama saat rute LRT jadi diarahkan ke Tanah Baru. Menurut Bima, perlu koneksi transportasi yang menghubungkan lokasi LRT ini ke Baranangsiang. “Ini kan ada kebutuhan-kebutuhan untuk membangun sistem yang terkoneksi dan terintegrasi,” ungkap Bima.

Sistem ini yang nantinya perlu dikaji, apakah untuk menkoneksikannya dengan trem, dengan bus biasa, atau dengan LRT juga.

BACA JUGA :  2 Kali Erupsi Jumat Pagi Ini, Gunung Semeru Letuskan 500 Meter di Atas Puncak

Sementara itu, Kementerian Perhubungan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengkaji skema pembayaran berkala (availability payment) untuk pembiayaan LRT Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, pembayaran berkala merupakan salah satu skema pembiayaan yang direkomendasikan oleh Bappenas. “Kami konsultasi dengan Bappenas, skemanya apa saja, saran dari Bappenas bagaimana untuk menggunakan ‘availability payment’,” katanya, kemarin.

Budi menjelaskan dengan menggunakan skema tersebut, pembiayaan lebih bisa diatur karena pembayaran dilakukan secara berangsur, tidak dalam sekali bayar. “Artinya, kalau memang pakai itu (pembayaran berkala), anggaran lebih bisa diatur, di awal-awal itu bisa ditangani oleh investor,” katanya.

Dengan kata lain, lanjut dia, bisa memberikan ruang kepada APBN untuk dialokasikan ke proyek-proyek yang lebih diprioritaskan, yaitu di wilayah Timur Indonesia. “APBN ini ‘kan harus dihemat-hemat, dengan ‘availability payment’, waktu pembayarannya lebih panjang, lebih bisa ‘bernapas’ karena itu kita masih punya ruang untuk (proyek-proyek) di Indonesia sentris atau daerah-daerah Timur,” katanya.

Dalam kesempatan sama, Sekretaris Jenderal Kemenhub Sugihardjo menjelaskan, untuk proyek-proyek investasi infrastruktur di kota-kota besar yang penyelenggaraannya sudah terukur secara ekonomi dan finansial, disarankan untuk mencari skema pendanaan alternatif, tidak seluruhnya dari APBN.

Dalam hal ini, lanjut dia, untuk investasi proyek LRT Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi memang didorong dari pihak swasta, baik itu swasta murni maupun pembayaran secara berkala.

“Kalau ‘availability payment’ ini prinsipnya menggeser pendanaan, karena ada dari investor, sehingga pemerintah tidak harus APBN-nya untuk pembangunan masa konstruksi, terapi setelah operasional,” katanya.

BACA JUGA :  Kebakaran Hanguskan Warung Nasi Padang di Bandung, Diduga Gara-gara Bakar Ayam

Sehingga, menurut Sugihardjo bisa meringankan beban anggaran, meskipun tetap ada porsi pemerintah dalam pembiayaan proyek tersebut. Namun, dia juga tidak menampik bahwa pemerintah mendorong pembiayaan murni swasta yaitu “business to business”.

“Kata kuncinya adalah kita harus menawarkan fasilitas infrastruktur yang menarik investor, entah itu daerah pariwisata atau yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi,” katanya.

Terkait potensi tarif yang tinggi apabila investasi yang dipilih murni swasta, dia mengatakan di situ pemerintah akan berperan untuk menyeimbangkan tarif agar terjangkau untuk masyarakat. “Kalau dalam domain publik, harus membela kepentingan publik, meskipun investasinya meminjam swasta,” katanya.

Sugihardjo menargetkan perumusan skema pembiayaan LRT Jabodebek akan selesai dalam dua bulan ke depan. Skema pembayaran secara berkala sudah tertera dalam Perpres Nomor 38 Tentang 2015 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Saat ini, Presiden Joko Widodo bersama kementerian terkait tengah membahas pembiayaan LRT Jabodebek dan kereta Bandara Soekarno-Hatta.

Sebelumnya, PT Adhi Karya menaikkan nilai investasi proyek transportasi massal LRT tahap pertama menjadi Rp34 triliun dari semula Rp17 triliun yang merujuk pada isi peraturan presiden (Perpres) terkait kereta panjang rel LRT tahap pertama bertambah menjadi 84 kilometer yang semula sekitar 40 kilometer.

Selain itu, baik Kemenhub serta Pemprov DKI sudah sepakat menggunakan rel lebar atau “standard gauge” (1.434 mm) dari rel sempit (1.067 mm) yang diperkirakan akan menyebabkan pembiayaan LRT membengkak, sehingga harus mencari alternatif pembiayaan.(Yuska Apitya Aji)

============================================================
============================================================
============================================================