Oleh: SUKARDI RINAKIT
Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
Pemahaman seperti itu menuntun seluruh bapak bangsa—meskiÂpun secara lahiriah berkeadaan compang-camping, kemilau pancaran roh itu hadir dalam setiap kerja poliÂtik mereka. Mereka sadar betul, berpolitik adalah untuk mencaÂpai ideal, yaitu berdiri khidmat di bawah tiang bendera untuk menÂegakkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta mewujudkan Keadilan SosÂial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ideal seperti itu kini meredup. Para elite yang sekarang ini meraÂsa terpanggil untuk memimpin kebanyakan hanya tampil keren, tetapi miskin roh. Hal itu bisa dilihat dari praktik politik yang berlaku. Korupsi, politik uang, konflik dalam pemilihan kepala daerah, perusakan tempat ibaÂdah, dan kekerasan atas nama agama, untuk menyebut beberaÂpa contoh, menjadi warna domiÂnan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di sisi lain, pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah tidak berjangka panÂjang. Semua serba responsif. MisÂalnya, tidak ada ketegasan dalam menghapus subsidi bahan bakar minyak (BBM). Padahal, jelas-jelas uang subsidi tersebut dapat dimanfaatkan untuk mewujudÂkan mimpi besar bangsa, seperti pembangunan infrastruktur, penÂdidikan, dan kesehatan masyaraÂkat. Pemerintah lebih suka tarik ulur dan memberikan kompensaÂsi â€balsem†ekonomi, yaitu banÂtuan langsung tunai untuk warga miskin. Dengan demikian, tidak tampak sama sekali visi masa depan bangsa yang secara saÂdar dipersiapkan demi tegaknya kewibawaan Republik Indonesia di depan bangsa-bangsa lain di dunia.
Hal yang sama juga bisa diliÂhat dari lambannya pemerintah mengambil keputusan mengeÂnai perpanjangan kontrak Blok Mahakam. Apabila produksi gas menurun, sedangkan blok itu menyuplai lebih dari 30 persen kebutuhan gas nasional dan memberikan andil 5 persen pada APBN, terlalu riskan untuk menÂgulur-ulur waktu. Hal itu berkaiÂtan dengan realitas ekonomi dan politik yang hampir selalu bergerÂak tidak linier. Krisis ekonomi dan keresahan politik acap kali datang tidak terduga. Ini dibukÂtikan dengan terjangan krisis fiÂnansial 1997, Reformasi 1998, dan krisis ekonomi 2008. Geraknya cepat dan ledakannya tiba-tiba. Dengan demikian, mengulur-ulur waktu dalam pengambilan kepuÂtusan, seperti dalam kasus Blok Mahakam dan penghapusan subÂsidi BBM, dalam jangka panjang sejatinya hanya akan menyengÂsarakan rakyat.
Ketidaktegasan kepemimpiÂnan nasional dalam memutuskan persoalan-persoalan strategis berdimensi jangka panjang terseÂbut menandakan, secara keseluÂruhan pemerintahan sebenarnya sedang menderita tirani urgensi. Seluruh keputusan bersifat daÂdakan dengan pertimbangan jangka pendek dan tanpa tindak lanjut prospektif. Pemberian bantuan langsung tunai, serta imÂpor daging sapi, bawang merah, dan komoditas lain merupakan kepingan-kepingan tirani urgensi tersebut. Sejauh ini, peta perÂsoalan masa depan tidak diprakiÂrakan, apalagi dipersiapkan denÂgan saksama, meminjam istilah Daoed Joesoef, sebagai sebuah kebudayaan strategi. Akibatnya, Indonesia selama ini seperti negara limbung (state manque). Tidak tahu benar arah yang akan dituju.
Secara hipotesis, praktik poliÂtik tirani urgensi tersebut meneÂbar karena para politisi tidak meÂmanggul dengan khidmat â€tanah air mental†yang menjadi roh negara bangsa. Apabila Republik Indonesia adalah â€tanah air forÂmal†dan â€riilâ€, Pancasila adalah tanah air mentalnya. Ia adalah roh, pedoman, dan ideal yang haÂrus ditegakkan. Tanpa pemahaÂman itu, siapa pun yang berkuasa di republik ini pasti terperosok pada tirani urgensi.
Sedikit Kata-kata
Beberapa keputusan strateÂgis, seperti penghapusan subsidi BBM, perluasan lahan pertanian dan irigasi, serta penyelesaian inÂtoleransi dan kekerasan berbau agama, harus segera dilakukan. Apabila langkah tersebut tidak diambil, praktik politik tirani urÂgensi dipastikan akan semakin akut. Ini berkaitan dengan soÂsok anggota dewan mendatang yang didominasi wajah lama. Kemungkinan besar, mereka hanya berhasrat menikmati keÂbun mawar kekuasaan daripada bekerja tulus untuk rakyat. AkiÂbatnya, pintu rehabilitasi masa depan juga sulit untuk dibuka. Padahal, rehabilitasi masa deÂpan hanya akan terjadi apabila perilaku politik penguasa berÂpedoman pada nilai-nilai â€tanah air mental†(Pancasila). Seperti seruan almarhum Franky SahiÂlatua, para elite itu harus tegak di bawah tiang bendera dan berÂsepakat: â€Pada tanah yang sama kita berdiri, pada air yang sama kita berjanji, pada darah yang sama jangan bertengkar, pada tulang yang sama usah berpisah, Indonesia, Indonesia.†(*)