JAKARTA, TODAY — Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, serangan teroris akhir pekan lalu di Kota Paris, Prancis, tidak akan berdampak signifikan pada hubunÂgan dagang Indonesia baik dengan Prancis maupun negara-negara Uni Eropa. “Paris kan hanya salah satu kota saja (di Uni Eropa),†kata KeÂpala BPS Suryamin di kantornya, JaÂkarta, Senin (16/11).
Suryamin mengakui ada koÂmoditas produksi Indonesia yang memang dibutuhkan setiap saat oleh negara-negara di Uni Eropa. Namun, ia meyakini penjualan komoditas tersebut ke negara-negara di Uni Eropa tidak akan terpengaruh serangan bom di Paris. “Kalau seperti minyak sawit untuk minyak goreÂng, minyak goreng kan kebutuhan setiap hari,†ujarnya.
Berdasarkan data BPS, porsi ekspor nonmigas Indonesia menuju Eropa sepanjang Januari-Oktober 2015 tercatat sebesar 11,17 persen dari total ekspor nonmigas UD 111,46 miliar. Tiga negara Uni Eropa tujuan ekspor terbesar adalah Belanda dengan nilai USD 2,84 miliar, Jerman denÂgan nilai USD 2,2 miliar, dan Italia dengan nilai USD 1,63 miliar.
Sementara, porsi impor nonÂmigas dari Uni Eropa sepanjang 10 bulan pertama tahun ini adalah 9,51 persen dari total impor nonÂmigas USD 96,89miliar. Tiga negÂara Uni Eropa asal impor terbesar adalah Jerman dengan nilai USD 2,89 miliar, Belanda dengan nilai USD 640 juta, dan Italia dengan nilai USD 1,14 miliar.
Capaian tersebut membuat neraca dagang non-migas IndoneÂsia dengan Uni Eropa sepanjang Januari-Oktober 2015 membukuÂkan surplus USD 3,13 miliar.
Pekik Perang di G20
Presiden RI Joko Widodo meÂnyatakan komitmen dan kesiaÂpan pemerintah Indonesia untuk bekerja sama dengan masyarakat global dalam menghadapi eksÂtremisme dan terorisme, serta untuk menumbuhkan toleransi, baik di dalam negeri dan di seluÂruh dunia.
Jokowi bicara soal keterkaitan antara ekstremisme dan derasÂnya aliran imigran, khususnya di Eropa, dalam Working Dinner Session Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Antalya, Turki. G20 meruÂpakan forum internasional bagi 20 negara dengan perekonomian besar di dunia.
Working Dinner Session KTT G20 memang mengangkat tema ‘Terrorism and Refugee Crisis.’ Di sana, Jokowi menyampaikan bahÂwa ekstremisme dan terorisme marak terjadi di berbagai tempat. “Ini merupakan tantangan yang perlu ditindaklanjuti dan disiÂkapi bersama melalui tindakan konkret,†ujar Jokowi seperti diÂkutip dari siaran pers Tim KomuÂnikasi Presiden.
Jokowi mengatakan, dampak negatif nyata dari konflik yang terus terjadi di berbagai kawasan di dunia adalah meningkatnya migrasi ireguler. Isu tersebut, menurut Jokowi, menjadi tantanÂgan cukup serius bagi Turki dan negara-negara Eropa.
Untuk menyelesaikan masalah itu, ujar Jokowi, perlu menuntasÂkan akar permasalahannya lebih dulu, antara lain dengan memasÂtikan pembangunan berimbang, menghentikan kekerasan dan penindasan, serta menghilangkan diskriminasi dan menegakkan deÂmokrasi.
Terkait upaya Indonesia menÂgatasi ekstremisme, Jokowi meÂnyatakan selama ini Indonesia menerapkan kombinasi pendekaÂtan hard approach yang mengedeÂpankan penegakan hukum dan keamanan, dengan soft approach yang menggunakan pendekatan kebudayaan dan agama.
Sebagai negara dengan penÂduduk muslim besar serta negaÂra demokrasi ketiga terbesar di dunia, tutur Jokowi, Indonesia adalah laboratorium yang menunÂjukkan bahwa Islam, demokrasi, dan kemajemukan bisa berjalan seiring.
Harmonisasi ini, klaim Jokowi, terlihat di mana kemajemukan dan toleransi merupakan keÂnyataan sehari-hari di Indonesia. Jokowi pun menegaskan, kerja sama internasional yang kuat unÂtuk mengatasi ekstremisme dan terorisme merupakan satu kehaÂrusan. “Diperlukan pendekatan terpadu yang mengharuskan negÂara-negara bersatu dan mengesaÂmpingkan perbedaan politik unÂtuk menghadapi ekstremisme dan terorisme,†tandas Jokowi.
(Yuska Apitya Aji)