MERAIH kesuksesan memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, setiap perjuangannyaharus dilalui sampai berdarah-darah. Selama memiliki tekad kuat di di dalam jiwa, semua hal terpahitselama perjuangan pasti terbayar dengan harga yang pantas.
Oleh : Latifa Fitria
[email protected]
Hal inilah yang membuat Tendean Rustandy merengkuh sukses. CEO perusahaan keramik PT Arwana Citramulia Tbk ini menuturkan, semasa kecil dan remaja tidak disukai orang karena sosÂoknya tidak menarik. Di bagian kepala penuh luka (korengan). Bahkan, ibu kandungnya sempat menegur.
“Ibu saya bilang, kamu jelek, mata kamu sipit, kepala kamu korengan. Kamu enggak disukai orang. Kemudian setelah itu saya terÂmotivasi, karena beliau bilang, kalau kamu mau disukai orang, kamu harus berubah dari segi pendidikan,†ujarnya.
Tendean pun bertekad untuk bekerja keras agar sukses di tengah keterbatasan ekonomi keluarga. “Saya lahir di Pontianak, bukan dari keluarga yang cukup. Ayah saya harus bekerja dan belum tentu bisa makan 3 kali sehari. Karena hidup kita di tepi sungai, makan ikan asin deh tiap hari. Tapi, tetap bisa sekolah,†ujarnya.
Begitu lulus dari Sekolah Dasar (SD), lanÂjut dia, perekonomian mulai memÂbaik. Pria keturunan etnis Tionghoa tersebut ikut teman ayahnya untuk melanjutkan sekolah menengah perÂtama di Singapura. “Tapi saya engÂgak bisa santai-santai. Ya, mentang-mentang ikut temannya Papa. Saya bangun pagi, saya bersihkan rumah teman Papa saya. Tapi, itu tidak disuÂruh, kesadaran sendiri. Karena saya sadar, saya harus kerja keras buat disukai orang,†terangnya.
Perjuangan Tendean tak sampai di sana, selesai sekolah menengah, sang ibu menyuruh dia untuk kuliah di luar negeri. Keinginan Tendean waktu itu adalah di Inggris. Namun, tidak bisa dilakuÂkan begitu saja. Karena mata uang di Inggris waktu itu sangat tinggi.
“Jadi saya kuliah di Colorado. Di kampus yang paling standar karena saya harus bekerÂja juga. Kemudian tahun pertama saya bekerÂja. Tahun kedua perekonomian keluarga jelek. Saya harus kerja keras lagi. Itulah saya harus mandiri. Hidup tidak boleh bersandar kepada siapa pun,†terangnya.
Sampai akhirnya pada 1987, dia lulus perguruan tinggi dan harus kembali ke IndoÂnesia. Namun, waktu itu dia ‘galau’ karena ingin bekerja di luar negeri. “Akhirnya saya pulang, karena Ibu saya bilang, kamu mesti pulang. Ibu saya juga menyadarkan saya, kalau saya tidak pulang, saya akan dinikmati Amerika. Terus kapan kamu dinikmati IndoÂnesia? Jadi, meskipun kita dididik di luar, kita harus tahu bahwa Tanah Air kita di sini. KaÂlau mau berhasil, buat berhasil dulu di dalam negeri, baru di luar,†pungkasnya.
(NET)