ADA banyak yang bertanya tentang tragedi Mina. Mina memang selalu saja menelan korban. MuÂlai Terowongan Mu’aishim Mina pada tahun 1995 itu, kejadian di tempat lempar jumroh hampir setiap tahun dan saat ini kejadian di jalan menuju Jamarat. Secara dzahir perbaikan sarana setiap tahun semaÂkin bagus. Polisinya semakin banyak dan sistem permaktaban semakin ketat. MeliÂhat kenyataan ini, ada banyak pengamat yang langÂsung berÂkata “inilah takdir.â€
Beberapa jalan menuju JaÂmarat memang ada yang lancar walaupun padat. Namun tak bisa dipungkiÂri bahwa di beberapa ruas jalan padatnya sungguh meÂnyiksa, karena harus berebut oksigen untuk bernafas di tengah panas terik yang menguras keringat dan tenaga. Satu saat polisi menghentikan satu rombongan besar untuk berlanjut menuju Jamarat kareÂna pertimbangan keamanan tentunya. NaÂmun tak disangka, jamaah yang dari belakang terus mendesak dan terdesak. Sesak nafas dan kelelahan menyebabkan mereka roboh dan akhirnya meninggal. Rata-rata mereka adalah orang luar dengan tubuh tinggi besar.
Tidak di satu titik kejadian seperti ini. SeÂdikitnya di tiga titik, salah satunya di lantai dasar Jamarat. Ada beberapa jamaah Indonesia yang juga menjadi korban. Jelasnya masih menungÂgu data verifikasi. Di sini diperlukan kecerdasan managemen pelaksanaan jumroh oleh pihak maktab dan keamanan. Tak luput pula diperÂlukan kecerdasan pembimbing jamaah yang mengerti tentang posisi keselamatan jiwa sebÂagai bagian terpenting kemaslahatan.
Tidak sedikit pembimbing yang ngotot memilih waktu afdlal (utama) untuk melÂontar jumrah, waktu yang biasanya penuh sesak manusia terutama oleh oleh orang-orang non Asia. Tak salah memilih waktu ini ketika diyakini bahwa kondisi lapangan tak meragukan menjanjikan keamanan (safety). Namun, ketika ada sinyal membahayakan, maka gunakanlah salah satu nilai maqasid bernama “hifdz al-nafs†(menjaga jiwa) harÂus dijadikan konsiderasi utama. Pilihlah wakÂtu yang masih dibolehkan, walau tidak afdlal.Tentang waktu melontar jumrah, sesungÂguhnya pemerintah Saudi sudah mengatur dengan lunak. Ulama Saudi yang biasanya tekstual dan berkarakter keras dalam hukum Islam mulai melunak dengan kesediannya mempertimbangkan kemaslahatan sebagai konsiderasi utama. Waktu melontar jumrah dibagi-bagi agar tidak bertumpuk di tempat yang sama pada waktu yang sama. Namun sayangnya, para pembimbing tidak menghiÂraukannya dan tetap bergerak di waktu yang paling afdlal walau nyawa taruhannya.
Tahun ini tragedi Mina kembali terulang. Jumlah korban sementara sudah melewati anÂgka 717 yang meninggal dunia, 400 orang lebÂih yang luka-luka. Mayat dengan wajah kelelaÂhan bergelimpangan. Tubuh-tubuh kesakitan digotong bersama menuju rumah sakit. SungÂguh keadaan ini menjadi potret yang menyeÂdihkan; sesuatu yang sesungguhnya tak perlu terjadi andai saja semua mau tunduk pada aturan yang telah dibuat dan ajaran hukum Islam yang dipahami dengan benar dan bijak.
Pertanyaan yang menggema dan menÂjadi perbincangan banyak orang adalah “ini tanggung jawab siapa?†Dan “siapa yang harÂus mengganti kerugian yang terjadi?†PertanÂyaan tersebut adalah pertanyaan yang wajar, bukan untuk mencari kambing hitam melainÂkan untuk mengurai masalah dan memberiÂkan kejelasan pada publik tentang segala hal tetkait musibah ini. Menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita melihat sejarah masa lalu, yakni sejarah haji yang terjadi pada masa para sahabat. Ketika jumlah jamaah haji membludak dan tak lagi bisa ditampung fasilitas terbatas yang tidak seluas saat ini.
Ibrahim Al-Nakha’i menceritakan bahwa di masa Sayyidina Umar, terjadilah desak-desakan karena ramainya jamaah di mathaf (tempat tawaf) sehingga menelan korban jiwa. Umar bin Khattab secara sigap bermusyÂawarah dengan masyarakat pada waktu itu untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab atas korban ini. Sayyidina Ali berkata bahwa diyat (denda) yang harus dibayarkan untuk korban adalah tanggung jawab semua umat muslimin atau ditanggung oleh Baitul Maal (Lembaga Keuangan Negara).
Yazid bin Madzkur menceritakan fakta sejarah yang terjadi di Kufah pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Terjadilah peristiwa membanjirnya jamaah di Masjid Jami’ Kufah. Jamaah berdesak-desakan dan akhirnya terjadilah peristiwa kematian beÂberapa jamaah karena peristwa itu. Banyak yang bertanya dan menuntut penyelesaian kasus ini. Khalifah Ali bin Abi thalib memÂbayar diyat untuk korban-kormab itu dengan menggunakan dana Baitul Mal.
Apa makna dari kisah sejarah di atas? PerÂtama, semua umat muslimin bertanggung jawab atas peristiwa keagamaan seperti ini. Tanggung jawab yang dimaksud adalah bahwa semua umat muslim harus berkontribusi bersama unÂtuk terlaksananya ibadah yang nyaman, aman, dan penuh kekhusyukan. Peraturan-peraturan yang berorientasi pada keselamatan dan kenyaÂmanan ibadah harus dibuat dan ditaati bersama.
Adanya aparat yang profesional di lapanÂgan sangatlah dibutuhkan. Seringkali didapati di musim haji ini bebeapa aparat dan petugas yang kelihatan kurang serius dalam melakÂsanaka tugas. Yang paling tampak dalam seÂtiap pelaksanaan haji adalah pelayanan imiÂgrasi di bandara yang bisa memakan waktu 7 jam di badara, waktu yang sangat melelahÂkan. Pengaturan lalu lintas menjadi satu hal lain yang banyak mendapatkan keluhan.
Ketaatan semua jamaah dan pengurus travel pada peraturan-peraturan yang telah dibuat sangat penting. Kendala utama untuk menjadi taat pada aturan yang ada adalah karena keyakinan yang tertanam dalam diri sekelompok orang bahwa cara dan waktu ibaÂdah yang benar adalah hanya cara dan waktu yang diyakininya. Cara dan waktu yang lain, walau ditentukan oleh otoritas haji pemerintah Aaudi, dianggap salah dan tidak perlu ditaati.
Dalam konteks waktu melontar jumrah misalnya, sesungguhnya pemerintah Saudi telah menentukan pembagian jam melontar untuk masing-masing maktab atau travel. BahÂkan, dalam pelaksanaannya, setiap kelompok yang akan melontar jumrah diantar oleh petuÂgas khusus. Sayangnya, aturan dan fasilitas ini seringkali tidak ditaati atas dasar bukan waktu yang paling utama. Jumlah jamaah yang berÂpikiran seperti ini banyak sekali, maka terjadiÂlah penumpukan jamaah dan terjadilah perisÂtiwa yang kita perbincangkan saat ini.
Kedua, negara bertanggung jawab unÂtuk membayar diyat (denda) atas hilangÂnya nyawa dalam kasus yang terjadi seperti dalam kisah sejarah tersebut di atas. Nyawa dalam Islam merupakan sesuatu yang sanÂgat dihormati dan dihargai. Urusan nyawa termasuk urusan besar yang dijadikan pesan akhir Rasulullah dalam khutbah Arafah di haji perpisahan beliau. Rasulullah bersabda: “Darahmu, hartamu dan kehormatanmu adalah haram (diperlakukan secara dzalim.â€
Kalimat tersebut oleh para pengamat muslim hak-hak asasi manusia (HAM) diangÂgap sebagai pondasi paling awal yang disamÂpaikan berkenaan dengan HAM, jauh sebeÂlum Perancis, Inggris dan Amerika berbicara teng HAM. Rasulullah menyampaikan hal ini 15 abad yang lalu, abad di mana Barat belum mendapatkan pencerahan apapun.
OLEH DR AHMAD IMAM MAWARDI, DARI MAKKAH. (*)