JAKARTA, TODAY — Defisit anggaran pada tahun ini diperkirakan meÂlebar dari yang sudah ditetapkan 2,1% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan BeÂlanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2016, deÂfisit anggaran dinaiÂkkan menjadi 2,5%.
“Akan terjadi pelebaran defisit dari 2,15% menuju kira-kira 2,5%,” ungkap Menteri Keuangan, Bambang BrodjoneÂgoro, di Istana Negara, Jakarta, Kamis (7/4/2016).
Pelebaran defisit tersebut setara dengan Rp 40 triliun. Ini akan ditutup oleh sisa anggaran lebih pada tahun seÂbelumnya, yang nilainya Rp 19 triliun. Sisanya adalah penambahan utang. “Utang barunya untuk menutupi deÂfisit sekitar Rp 21 triliun,” jelasnya.
Seperti diketahui dalam APBN 2016, dengan asumsi defisit 2,1%, maka Surat Berharga Negara yang diterbitkan adalah Rp 327,3 triliun. Bambang mengatakan, defisit yang melebar terjadi karena penerimaan negara diperkirakan tidak akan mencapai target. Khususnya yang bersumber dari sektor minyak dan gas bumi (migas). Penyebabnya, harga minyak dunia yang sekarang diasumsikan USD 30 per barel (seÂbelumnya USD 50 per barel).
Sedangkan dari sisi pajak, BamÂbang belum dapat mengungkapkan target sampai dengan akhir tahun. Akan tetapi sebelumnya diperkirakan realisasi penerimaan pajak non miÂgas hanya akan mencapai kisaran Rp 1.150 triliun. Makanya kemudian dibuÂtuhkan kebijakan pengampunan paÂjak atau tax amnesty. “Yang kita akan jaga adalah penerimaan di pajak non migas. Dan salah satunya yang paling penting adalah nanti penerapan dari tax amnesty,” papar Bambang.
Pemerintah juga akan memangÂkas anggaran belanja sejumlah KeÂmenterian dan Lembaga (K/L) denÂgan nilai total Rp50,6 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016. Anjloknya harga minyak dunia menÂjadi alasan pemerintah harus memÂperketat pengeluaran tahun ini.
Awalnya pemerintah percaya diri memasang harga minyak IndoÂnesia (ICP) di level USD50 per barel dalam APBN 2016. Namun pada kenyataannya, harga minyak dunia yang menjadi acuan pemerintah dalam menetapkan ICP terus meÂrosot. Hal itu membuat pemerintah melakukan penyesuaian ICP dalam Rancangan APBNP 2016 menjadi USD35 per barel, atau berkurang 30 persen yang tentu saja berdampak pada penerimaan negara dari inÂdustri minyak dan gas bumi (migas). Akibat turunnya asumsi ICP, MenÂkeu menyebut target penerimaan negara dari sektor migas tergerus Rp67,6 triliun. Terdiri dari pajak penghasilan migas berkurang Rp17 triliun, dan penerimaan negara buÂkan pajak (PNBP) migas direvisi tuÂrun sebesar Rp50,6 triliun.
Sebagai konsekuensi berkurangÂnya penerimaan negara dari sektor migas, K/L diminta untuk memangÂkas anggaran belanjanya tahun ini. “Rencananya belanja K/L itu turun dari Rp784 triliun menjadi Rp738 triliun atau turun sekitar Rp45,5 triliÂun. Nah di dalam penurunan Rp45,5 trilun untuk belanja K/L, ada pengÂhematan belanja K/L yaitu sebesar Rp50,6 triliun, tapi juga ada tambaÂhan belanja untuk keperluan yang mendesak Rp5,2 triliun,” ujarnya.
Paksa Berhemat
Bambang mengungkapkan, guna menggapai target penghematan sebeÂsar Rp50,6 triliun pemerintah akan menerapkan sejumlah skenario.
Pertama, pemerintah akan melakukan efisiensi belanja opÂerasional yang terdiri dari belanja perjalanan dinas; anggaran rapat; belanja jasa seperti pembayaran listrik, telepon, air, serta jasa lain, hingga pembangunan gedung baru. Dari efisiensi ini, diharapkan angÂgaran negara bisa dihemat sekitar Rp21,5 triliun untuk seluruh K/L.
“Kemudian sisanya kita harapÂkan dari efisiensi belanja lainnya, contoh belanja pemeliharaan mauÂpun pengadaan peralatan kantor; belanja iklan; belanja modal non infrastruktur contohnya gedung/kantor; serta kendaraan operasionÂal maupun kendaraan dinas dari keÂmenterian,” tuturnya.
Selain dua skenario tadi, pemerÂintah juga akan mengurangi belanja pos Bantuan Sosial atau Bansos. Dari upaya ini, pemerintah optimsÂtis bisa menghemat anggaran Rp29,1 triliun. “Upaya penghematan dari belanja bansos serta kegiatan prioriÂtas dan pendukung yang setelah diÂkaji ulang itu ternyata tidak mendeÂsak dan bisa ditunda. Tentunya kita juga berharap ada penghematan dari hasil lelang, terutama hasil leÂlang proyek infrastruktur, kemudian juga hasil optimalisasi mengurangi honorarium kegiatan serta menunÂda sebagian belanja yang diperkiÂrakan tidak akan bisa dieksekusi pada tahun ini,” kata Bambang.
Pada kesempatan berbeda, Menteri Perencanaan dan PembanÂgunan Nasional (Bappenas) Sofyan Djalil menegaskan, ke depan belanÂja pemerintah akan berfokus pada program-program prioritas khususÂnya di sektor pengerjaan proyek-proyek infrastruktur. “Program-program prioritas itu penambahan cukup signifikan anggarannya, tapi ada sekian banyak kementerian penurunan anggarannya karena mereka itu bukan terlalu prioritas. Jadi itu, karena sesuai dengan perÂintah presiden money follow proÂgram, jadi ada 60 sekian persen mengalami penurunan anggaran, dan ada 17 Kementerian/Lembaga mengalami peningkatan yang sigÂnifikan, terutama yang menjalankan program prioritas,” cetus Sofyan.
Devisa USD 107,5 Miliar
Sementara, hingga akhir Maret 2016, jumlah cadangan devisa InÂdonesia mencapai USD 107,5 miliar, naik dari posisi akhir Februari 2016 yang mencapai USD 104,5 miliar.
“Peningkatan tersebut dipengaÂruhi penerimaan cadangan devisa, terutama berasal dari hasil penerbiÂtan sukuk global pemerintah dan leÂlang Surat Berharga Bank Indonesia (SBBI) valas, yang jauh melampaui kebutuhan devisa antara lain unÂtuk pembayaran utang luar negeri pemerintah,” jelas Direktur EkseÂkutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI), Tirta Segara, dalam keterangannya, Kamis (7/4/2016).
Posisi cadangan devisa per akhir Maret 2016 tersebut cukup untuk membiayai 8 bulan impor atau 7,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta beÂrada di atas standar kecukupan inÂternasional sekitar 3 bulan impor. “Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal dan menjaga kesinambungan pertumÂbuhan ekonomi Indonesia ke deÂpan,” tandasnya.
(Yuska Apitya Aji)