BAMBANG SUDARSONO
Pemerhati Hukum dan HAM
Pertanyaan
Adakah putusan hakim yang dapat dilaksanakan terlebih dulu sebelum memilki kekuatan hukum tetap ? Apa konsekuensi dari Putusan Hakim yang dapat dilaksanakan lebih dulu ? Apa dasar hukum dari Putusan tersebut ?
Jawaban
Pada umumnya putusan penÂgadilan baru dapat dilaksanakan (eksekusi) apabila telah memÂperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewisjde). Artinya para pihak yang bersengketa sudah dapat menerima putusan terseÂbut, dan tidak akan melakukan upaya hukum lain, baik itu bandÂing, kasasi maupun perlawanan (verzet), sehingga putusan terseÂbut tinggal dieksekusi. Namun, adakalanya putusan pengadilan dapat dilaksanakan terlebih daÂhulu meskipun putusan tersebut belum memperoleh kekuatan huÂkum tetap. Artinya pihak terguÂgat masih memungkinkan untuk melakukan upaya hukum banding, kasasi, maupun perlawanan oleh pihak yang berhak. Putusan semaÂcam inilah yang dinamakan putuÂsan serta merta atau Uitvoerbaar Bij Voorraad , sering disingkat UvB.
Dalam praktiknya putusan serta merta sering menimbulkan kesulitan manakala pihak terekÂsekusi ternyata menang di tingkat banding, sehingga akan menemui permasalahan untuk pemulihan seperti keadaan semula. Misalnya, rumah yang dieksekusi pada puÂtusan serta merta di pengadilan tingkat pertama ternyata dibatalÂkan oleh pengadilan yang lebih tinggi, padahal rumah tersebut suÂdah dirobohkan dan diganti dengan bangunan yang baru.
Karena berbagai kesulitan di atas, maka pada dasarnya putuÂsan serta merta tidak dapat dilakÂsanakan begitu saja, kecuali dalam keadaan khusus, dan hakim harus ekstra hati-hati dalam memberikan putusannya. Adapun yang menÂjadi payung hukum putusan serta merta adalah Pasal 180 ayat (1) HIR (Herzien Inlandsch Reglement), Pasal 191 ayat (1) RBG (Reglement Voor de Buitengewesten), Pasal 54 dan Pasal 57 Rv (Reglement Op De Rechtsvordering ), SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) No. 3 / 2000 tentang Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar bij voorraad) dan Provisionil, serta SEMA No. 4/2001 tentang Permasalahan Putusan Serta Merta dan Provisionil.
Demikian pula dalam perkara kepailitan, juga terbuka kesempaÂtan bagi hakim untuk memberikan putusan serta merta. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 8 ayat 7 UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang pada prinsipnya meruÂmuskan, bahwa putusan atas perÂmohonan pernyataan pailit dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan terseÂbut diajukan suatu upaya hukum.
Berdasarkan SEMA No.3/2000 syarat untuk dapat dikabulkannya putusan serta merta sebagai beriÂkut: gugatan harus didasarkan pada bukti surat yang otentik, gugatan utang piutang yang jumlahnya suÂdah pasti dan tidak dibantah oleh para pihak, gugatan tentang sewa menyewa tanah, rumah, gudang dll, dimana hubungan sewa menyewa telah habis atau penyewa melalaiÂkan kewajibannya, pokok gugatan tentang tuntutan harta gono-gini dan putusannya telah in-kracht, dikabulkannya gugatan provisionil (permohonan agar dilakukan tinÂdakan sementara sebelum putusan akhir), serta sengketa tentang bezÂitrecht (kedudukan seseorang yang menguasai suatu benda).
Terkait dengan berbagai syarat di atas, Mahkamah Agung (MA) memerintahkan kepada Para KetÂua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Agama serta Para HaÂkim Pengadilan Negeri dan Hakim Pengadilan Agama untuk memÂpertimbangkan, memperhatikan dan mentaati dengan sungguh-sungguh syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum mengabulkan tuntutan Putusan Serta Merta.
Sedangkan SEMA No.4/2001 menegaskan bahwa setiap kali akan melaksanakan putusan serta merta harus disertai pemberian jaminan yang nilainya sama denÂgan nilai barang/objek eksekusi sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain apabila ternyata dikemudikan hari diÂjatuhkan putusan yang membatalÂkan putusan Pengadilan Tingkat Pertama. Tanpa jaminan, tidak boleh ada pelaksanaan putusan serta merta. Apabila majelis akan mengabulkan permohonan putuÂsan serta merta harus memberitaÂhukan kepada Ketua Pengadilan.