Untitled-12SALAH satu tantangan terbesar membangkitkan kembali kejayaan Bogor di masa kini dan mendatang, adalah membangun karakter manusia. Tantangannya relatif sama dengan tantangan yang dihadapu Prabu Siliwangi dan Prabu Surawise­sa. Kini, dengan post modernisme dan post industrial society, tentu lebih kompleks lagi.

Bang Sem Haesy

TERKAIT dengan pemberdayaan masyarakat (rakyat), pembinaan watak – mental dan spiritual – rakyat menjadi penting. Pemerintah (uma­ra) bersama-sama dengan cendeki­awan (ulama) mempunyai tugas dan tanggungjawab sangat besar.

Salah satu watak yang paling berat dihadapi adalah watak wi­rang. Yaitu, watak yang terbangun oleh kebiasaan dan pembiasaan tidak mau jujur, tidak mau benar, tidak mau layak, tidak mau terus terang, dan tidak mau kapok un­tuk tidak melakukan perbuatan

Di sisi lain yang termasuk den­gan watak Wirang, ini adalah ket­agihan berbuah buruk – termasuk berzinah, berjudi, mabuk, narkoba, dan sejenisnya. Ter­masuk ketagihan ‘membunuh’ – mematikan karir seseorang yang dianggap kompetitor.

BACA JUGA :  DPRD Kota Bogor Bahas LKPJ Terakhir Bima Arya

Dalam konteks itulah, pem­bangunan mesti diorientasikan pada pembangunan lingkun­gan sehat, lingkungan cerdas, dan lingkungan mampu secara ekonomi. Lingkungan yang sosial yang di dalamnya tum­buh berkembang harmonitas nilai kebaikan dan kebajikan, meski tak bisa sepenuhnya memberantas atau menihilkan semua keburukan. Tapi, inti­nya adalah, setiap pemimpin dalam menjalankan aksi kepe­mimpinannya, mempunyai tugas pokok: mendidik rakyat. Salah satu cara mendidik raky­at adalah memberi teladan ke­baikan dan kebajikan : satunya kata dengan perbuatan.

Watak wirang adalah watak yang menghambat kemajuan, karena bertentangan dengan asas atau prinsip tentang profe­sionalitas berbasis kompetensi di segala bidang. Selain itu, watak wirang juga bertentan­gan dengan anasir-anasir pe­rubahan, baik dalam konteks reformasi maupun transfor­masi. Secara psikososial, watak wirang dapat dikatakan sebagai penyakit masyarakat.

Watak wirang ini yang kelak akan mendorong terjadinya masyarakat korup, tidak disip­lin, dan limbung terhadap pe­rubahan yang bergerak sangat cepat. Terutama, karena dalam etos kehidupan masyarakat Sunda di Pakuan, berlaku prin­sip : Ngeduk cikur kedah miha­tur, nyokel jahe kedah micarek. Bersendi kepercayaan (trust) – tidak moleh maling, tidak bo­leh korupsi, mendapatkan hak dengan cara yang benar.

BACA JUGA :  Melahirkan di Kamar Kos, Siswi SMK di Kupang Sembunyikan Bayi Meninggal dalam Koper

Untuk itu, diperlukan perilaku hidup yang tepat dan benar, yaitu sacangreud pageuh pangkek (konsisten dan kon­sekuen menegakkan komitmen, janji). Terutama terhadap sump­ah (formal dan non formal) dalam mengemban amanah dan tanggungjawab. Misalnya, kalau berjanji akan memimpin selama lima tahun, maka konsisten tidak mengurangi sedikitpun janji tersebut, meskipun ada kesempatan untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi. Sikap semacam ini sangat diper­lukan untuk mencapai kejayaan yang diidamkan dan dicita-cita­kan secara kolektif.

Oleh sebab itu pula setiap insan sebagai pemimpin, ha­rus mempunyai integritas diri, kepribadian kokoh, dan bera­khlak mulia : Ulah lunca linci luncat mulang udar tina tali gadang, omat ulah lali tina pur­wadaksina.

============================================================
============================================================
============================================================