JAUH berabad silam, sebelum terpikirkan gagasan tentang Masyarakat Ekonomi ASEAN, Prabu Surawisesa melalui Pakuan (Bogor) sudah melakukan aksi globalisasi, melalui diplomasi dagang internasional dengan Albuquerque yang berkuasa di Melaka. Keduanya bersepakat menjadi Sunda Kelapa dan Melaka sebagai pelabuhan utama untuk perdagangan rempah-rempah internasional.
Oleh : Bang Sem Haesy
DARI Pajajaran sendiri dilakukan ekspor Tamarin besar-besaran ke Eropa dan Afrika. Pajajaran menunjukkan muruah atau jatidirinya – yang kemudian bisa kita kenal sebagai nation dignity – dengan menunjukÂÂkan sikap sinatria pilih tandÂÂing. Para insan utama yang selalu siap berkompetisi.
Sikap itu relevan diterapkan kini, ketika proses globalisasi melalui Masyarakat Ekonomi Eropa (MEA) dimulai langkahnya. Pemerintah dan masyarakat (Kabupaten dan Kota Bogor) agaknya perlu mempunyai spirit ini. Spirit kompetisi kualitatif.
Kuncinya? Paheuyeuk-heuyeuk leungeun paantay-antay tangan, bekerjasama mewujudkan kemiÂÂtraan kuat secara ekuit dan ekual. Disertai dengan sikap obyektif dalam melihat realitas. Nu lain kudu dilainkeun, nu enya kudu diÂÂenyakeun. Dengan cara itu, soliditas dan solidaritas internal organisasi pemerintahan dan solidaritas denÂÂgan rakyat dapat terus terpelihara secara baik dalam menumbuh-hidupkan integritas diri: ka cai jadi saleuwi, kadarat jadi salogak.
Baik Sri Baduga Maharaja dan Prabu Surawisesa meninggalkan kepada sikap konsisten dan konÂÂsekuen dalam menerapkan prinsip-prinsip tata kelola kehidupan yang baik: sacangreud pageuh sagolek pangkek. Antara lain dengan memÂÂperkuat integritas diri melalui akalbudi personal sebagai ruh dari kesalehan sosial.
Sebagai manusia kita tak boleh bergerak sesuka hati, karena ada aturan-aturan yang tak tertuliskan, etika sosial. Dengan kesadaran itu, kita akan selalu ingat pada pangÂÂkal atau hakekat dasar diri sebagai pemimpin atas lingkungan alam dan sosial. Ulah lunca linci luncat mulang udar tina tali gadang, omat ulah lali tina purradaksina.
Karena itu, dimensi etika soÂÂsial semestinya menjadi pegangan hidup : andap asor pamakena. Dengan kemampuan mengelola etika pribadi yang kemudian dapat membentuk etika sosial, itu kita menerapkan prinsip-prinsip utama melayani rakyat.
Hal tersebut dapat tercermin melalui proses komunikasi (terÂÂmasuk komunikasi sosial maupun komunikasi politik) yang oleh para pujangga Sunda, digambarkan denÂÂgan kalimat aktif: Nyaur kudu diÂÂukur-ukur, nyabda kudu diunggang – unggang. Berkomunikasi secara efektif dan efisien, memberi stateÂÂmen dan penugasan mesti dengan pertimbangan masak.
Di dalam kalimat itu, berlaku prinsip-prinsip dasar komunikasi, yaiÂÂtu verifikasi dan konfirmasi. MengÂÂetahui dengan jelas siapa sumber informasi dan melakukan konfirmasi tentang isi materi informasinya.
Muaranya adalah bubuden teu ieu aing. Tidak arogan. Tidak pula jumawa. Sikap ini akan menunjukÂÂkan sikap rendah hati yang menunÂÂjukkan kualitas kepribadian seorang manusia.
Pola komunikasi dan sikap deÂÂmikian, sangat relevan kini, ketika kita sedang menjadi obyek bulan-buÂÂlanan dalam global proxy war. Hal itu tertampak pada dinamika pernyamÂÂpaian materi informasi yang nyaris tak terverifikasi dan terkonfirmasi dengan benar. Baik melalui media sosial maupun media mainstream.
Celakanya, informasi tersebut juga dilahirkan oleh berkembangnÂÂya jurnalisme tabrak lari (perlaku jurnalistik yang asal tembak berÂÂdasarkan presumsi negatif) dan juÂÂrnalisme mutilasi (jurnalisme yang senang memenggal-menggal inforÂÂmasi dan konfirmasi dari nara sumÂÂber, sehingga tidak utuh). Alhasil, dengan kerjasama kolektif antar anasir dalam masyarakat, kita bisa tegak lagi dengan jati diri sebagai masyarakat berbudaya.