saefulDALAM teori difusi inovasi, Everett Rogers melalui bukunya yang berjudul Diffusion of Innovations, menyebutkan peranan opinion leader (pemimpin opini) memegang posisi sentral dalam mempengaruhi keberterimaan suatu hasil inovasi dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Hal ini terjadi karena pemimpin opini memiliki keteladanan yang dapat ditiru dan diikuti oleh kebanyakan pihak lain.

Oleh: SAEPUL BAHRI
Pengawas Madrasah Kementerian Agama Kab. Bogor

Dalam teori difusi ino­vasi, Everett Rogers melalui bukunya yang berjudul Diffusion of Innovations, menye­butkan peranan opinion leader (pemimpin opini) memegang po­sisi sentral dalam mempengaruhi keberterimaan suatu hasil ino­vasi dalam suatu kelompok ma­syarakat tertentu. Hal ini terjadi karena pemimpin opini memiliki keteladanan yang dapat ditiru dan diikuti oleh kebanyakan pi­hak lain. Tenaga pendidik sebagai opinion leader dalam lingkungan institusi pendidikan juga memiliki posisi sentral dalam membentuk karakter atau kepribadian peser­ta didik. Keteladanan dalam diri seorang pendidik berpengaruh pada lingkungan sekitarnya dan dapat memberi warna yang cukup besar pada masyarakat di lingkun­gan tempat tinggalnya. Bahkan, keteladanan itu akan mampu mengubah prilaku masyarakat di lingkunganya.

Sosok tenaga pendidik seperti guru, atau dosen dengan profesin­ya melekat di mana saja mereka berada, sehingga kata “guru” se­lalu dipergunakan sebagai identi­tas, baik ketika melakukan aktivi­tas yang berkaitan dengan dunia pendidikan, maupun kegiatan di luar ranah pendidikan. Sekalipun demikian, karakteristik dan indi­kator guru teladan itu masih men­jadi sangat dilematis mengingat belum adanya standar baku yang dapat dijadikan landasan dasar untuk membangun keteladanan itu sendiri. Salah satu karakteris­tik yang perlu dimiliki oleh guru sehingga dapat diteladani oleh muridnya adalah kerendahan hati.

Guru akan memiliki kebriba­dianyang diidolakan jika berani mengakui kesalahan (jika me­mang telah terjadi kesalahan) sebagai perwujudan kerendahan hati. Sering terjadi, seorang guru dengan dalil menjaga kewibawaan sering tidak berprilaku rendah hati di hadapan siswa padahal guru ti­dak menyadari bahwa setiap lang­kah, tutur kata, cara pandang, dan berbagai respon yang ditampilkan menjadi bahan penilaian dan pem­bicaraan bagi para siswa. Tentu saja keteladanan buruk menga­caukan pemahaman mereka, yang berujung pada pencitraan konsep diri menjadi kurang baik. Pada prinsipnya, terdapat korelasi posi­tif antara keteladanan guru dan kepribadian siswa, yang oleh John­son digambarkan sebagai “No mat­ter how brilliant your plan, it won’t work if you don’t set an example” (bagaimana pun briliannya peren­canaan anda, itu tidak akan ber­jalan jika tidak dibarengi dengan keteladanan). Dengan demikian, guru dipandang sebagai sumber keteladanan karena sikap dan perilaku guru mempunyai implika­si yang luar biasa terhadap siswa.

Lebih jauh Abdullah Nashih Ulwan dalam Dwiastuti memberi­kan resep untuk membentuk kete­ladanan guru dan orang tua dalam membentuk kepribadian anak. Keteladanan orang tua meliputi: kejujuran, amanah, iffah (men­jaga diri dariperbuatan yang tidak diridhoi), pemberian kasih sayang, perhatian, menyediakan sekolah yang cocok, dan memilihkan te­man bagi anaknya. Sebagai pen­didik, orang tuaharus menampil­kan sifat-sifat tersebut anak dapat memiliki pondasi nilai-nilai yang kokoh sebagai bekal untuk me­napaki kehidupan selanjutnya. Se­dangkan keteladanan yang perlu dicontohkan guru kepada siswan­ya mencakup ketakwaan, keikhla­san, keluasan ilmu, sopan-santun, dan tanggung jawab. Berdasarkan pandangan tersebut di atas, kete­ladanan tenaga pendidik yang ha­rus ditanamkan ke pada peserta didik mencakup integritas, profe­sionalitas, dan keikhlasan.

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

Integritas; dalam Kamus Lan­dak (2010) didefinisikan sebagai “wholeness, completeness, en­tirety, unified”. Keutuhan yang dimaksud adalah keutuhan dalam seluruh aspek hidup, khususnya antara perkataan dan perbuatan. Integritas berarti, “the condition of having no part taken away” atau “the character of uncorrupt­ed virtue”. Seringkali kita meng­gunakan kata integritas, etika, dan moralitas secara bergantian untuk menunjukkan maksud yang sama. Padahal secara sederhana, etika adalah standar tentang mana yang benar dan salah, baik dan ja­hat. Apa yang kita pikir benar dan baik, itulah etika kita. Sedangkan moralitas adalah tindakan aktual tentang hal yang benar dan salah, baik dan jahat. Jadi, kalau etika ada di level teoretik, maka morali­tas ada di level praktik.

Integritas sendiri adalah inte­grasi antara etika dan moralitas. Semakin terintegrasi, semakin tinggi level integritas yang ada. . Dengan demikian, integritas dapat menghasilkan sifat kete­ladanan sepertikejujuran, etika, dan moral. Kejujuran adalah in­vestasi sosial yang harus dimil­iki dan ditulari oleh guru untuk menimbulkan kepercayaan dari murid dan orang tua, masyarakat, dan para stakeholder. Kejujuran adalah mengakui, berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran. Dalam praktek dan penerapan­nya, secarahukum tingkat keju­juran seseorang biasanya dinilai dari ketepatan pengakuan atau apa yang dibicarakan seseorang dengan kebenaran dan kenyataan yang terjadi. Bila berpatokan pada arti kata yang baku dan harafiah maka jika seseorang berkata ti­dak sesuai dengan kebenaran dan kenyataan atau tidak mengakui suatu hal sesuai yangsebenarnya, orang tersebut sudah dapat di­anggap atau dinilai tidak jujur, menipu, mungkir, berbohong, munafik atau lainnya. Oleh kare­na itu, kejujuran harus menjadi senjata yang paling ampuh bagi guru dalam menjalankan tugas prefesinya sehingga nilai-nilai kejujuran itu dapat ditanamkan dalam diri siswa atau peserta di­dik. Moral dan etika pada hakekat­nya merupakan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang menurut keya­kinan seseorang atau masyarakat dapat diterima dan dilaksanakan secara benar dan layak. Dengan demikian prinsip dan nilai-nilai tersebut berkaitan dengan sikap yang benar dan yang salah yang mereka yakini. Etika sendiri se­bagai bagian dari falsafah meru­pakan sistem dari prinsip-prinsip moral termasuk aturan-aturan un­tuk melaksanakannya. (Suryoku­sumo, 2010).

Jadi, integritas yang ditunjuk­kan oleh guru dalam menjalankan tugas berdasarkan profesi kegu­ruannya berupa adalahkejujuran, kepatuhan, etika, dan moral seha­rusnya mengakar dalam pribadi gurusehingga dapat menjadi idola bagi siswanya.

BACA JUGA :  JELANG LAGA MALAM INI, TIMNAS VS AUSTRALIA

Profesionalitas; Profesionali­tas berasal dari kata profesi yang artinya satu bidang pekerjaan yangingin atau akan ditekuni oleh seseorang. Pengertian profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan ke­ahlian, kemahiran, atau kecaka­pan, yang memenuhi standar, mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi (UU No.14/2005).

Berbicara mengenai profe­sional, pemikiran orang tertuju pada dua hal. Pertama, orang yang menyandang suatu profesi. Orang yang profesional biasanya melakukan pekerjaan sesuai den­gan keahliannya dan mengabdi­kan diri pada pengguna jasa den­gan disertai rasa tanggungjawab atas kemampuan profesionalnya itu. Kedua, kinerja seseorang dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya.

Profesi adalah suatu jenis pe­kerjaan yang berkaitan dengan bidang (keahlian, keterampilan, teknik) tertentu, semakin ahli, maka semakin profesional pe­kerjaannya. Sedangkan yang di­maksud dengan profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilak­sanakan berdasarkan prinsip se­bagai berikut: (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan ide­alisme, (2) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pen­didikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia, (3) memiliki kualifikasi akademik dan latar be­lakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas, (4) memiliki kom­petensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas, (5) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan, (6) mem­peroleh penghasilan yang ditentu­kan sesuai dengan prestasi kerja, (7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan be­lajar sepanjang hayat, (8) memi­liki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas kepro­fesionalan, dan (9) memiliki organ­isasi profesi yang mempunyai ke­wenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas kepro­fesionalan guru. Prinsip-prinsip tersebut tercermin dalam setiap cara berpikir, bertindak dan ber­prilaku baik dalam menjalankan aktivitas pembelajaran di sekolah maupun setelah berada di lingkun­gan keluarga dan masyarakat.

Profesionalisme adalah kema­hiran yang dimiliki oleh seorang yang profesional. Dengan kata lain, profesionalisme dipandang sebagai suatu keahlian yang me­lekat pada diri seseorang dalam melakukan segala bentuk peker­jaan secara profesional. Lebih jauh profesionalisme merupakan proses pemberian pekerjaan yang menjadi profesi untuk mencapai status profesional.

Profesionalisasi adalah proses atau perjalanan waktu yang mem­buat seseorang atau kelompok orang menjadi profesional. Se­dangkan, profesionalitas meru­pakan sikap para anggota profesi yang benar-benar menguasai pro­fesi yang dimilikinya. Dalam per­spektif teori yang berhubungan dengan praktek-praktek pendi­dikan, konsep professionalism (profesionalisme), professionality (profesionalitas, and professional development (pengembangan professional) sering menjadi ka­jian menarik untuk didiskusikan.

Pengembangan professional juga dipandang sebagai kegiatan yang berorientasi pada tujuan untuk memperbaiki pembelaja­ran. Pengembangan profession­al sering digunakan secara si­nonimik dengan pengembangan staf dan pengembangan guru yang merujuk pada segala upaya yang dilakukan untuk memper­baiki pembelajaran yang dilaku­kan dalam suatu lembaga pendi­dikan. (*)

============================================================
============================================================
============================================================