Oleh: MT FELIX SITORUS
Bagaimanapun, yang diperlukan adalah pencegahan terulangÂnya kasus serupa, buÂkan perubahan cara penyelesaian. Untuk itu, pemerÂintahan Jokowi layak memperÂtimbangkan jalan resolusi konflik agraria.
Sebagaimana diketahui, Nenek Asyani akhirnya diputus bersalah majelis hakim PN Situbondo, Jatim (23/4/2015) atas tuduhan pencuÂrian 7 gelondong kayu jati milik PT Perhutani. Putusan itu memperÂpanjang deretan kasus kekalahan ‘si lemah’ terhadap ‘si kuat’.
Sekadar mengingatkan, taÂhun 2009 Nenek Minah diputus bersalah oleh majelis hakim PN Banyumas, Jateng atas tuduhan pencurian tiga buah kakao milik PT Rumpun Sari Antan (RSA).
Lalu, tahun 2010 Manisih beserta dua anak dan seorang keponakannya diputus bersalah oleh majelis hakim PN Batang, Jateng atas tuduhan pencurian buah randu milik PT Segayung.
Dari sudut pandang sosiologi agraria, penerapan UU No. 18/2013 tentang Pencegahan dan PemberÂantasan Perusakan Hutan dalam kasus Asyani dan KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan dalam kasus Minah dan Manisih, sesungguhnya tak relevan.
Alasannya, kasus-kasus ‘AsyÂani’ (sebutan untuk semua kasus sejenis) bukan murni pelanggaran hukum. Kasus-kasus itu adalah manifestasi perlawanan sosial kaum ‘lemah’ terhadap kekuatan-kekuatan sosial-ekonomi yang membatasi bahkan menutup ruang mata pencaharian bagi mereka.
Di permukaan gejala tersebut tampil sebagai konflik agraria. Tak lain karena konteks strukturalnya adalah ketimpangan penguasaan sumber-sumber agraria khususÂnya tanah.
Ketimpangan yang meminggirÂkan kaum lemah dari ruang mata pencaharian. Asyani dipinggirkan PT Perhutani, Minah dipinggirkan PT RSA, dan Manisih dipinggirkan PT Segayung.
Dalam konteks ‘keterpinggiÂran’ itu, secara sosiologis tindaÂkan ‘pencurian’ yang dilakukan Asyani, Minah, dan Manisih keÂmudian tidak bermakna krimiÂnalitas murni. Dalam kerangka ‘perlawanan sosial’, tindakan itu lebih berupa ‘pengambilan paksa’ atas sesuatu yang mestinya meruÂpakan haknya, andai negara hadir menjamin keadilan agraria.
Dalam kasus-kasus tersebut, negara tak hadir, sehingga entitas perusahaan menguasai sumber-sumber agraria berikut hasil-hasilÂnya secara masif, tanpa membagi manfaat yang selayaknya kepada warga sekitar.
Maka, tindakan ‘pencurian’ hasil tanah/bumi oleh warga miskin itu adalah pernyataan proÂtes, atau perlawanan terhadap ketakadilan agraria yang menekan hidupnya.
Oleh sebab itu, membawa peÂnyelesaian kasus-kasus itu ke ranah hukum (UU-P3H dan KUHP) selain tidak relevan, juga tidak efektif mencegah pengulangannya.
Kasus-kasus itu mestinya dibaÂwa ke ranah resolusi konflik agrarÂia, yaitu penataan-ulang struktur penguasaan sumber-sumber agrarÂia berikut hasil atau manfaatnya.
Dengan begitu, semua stakeÂholder agraria, termasuk merÂeka yang terpinggirkan, akan mendapatkan keadilan yang menÂjamin hak hidup berkelayakan.
Keadilan Agraria
Harus disadari, kasus AsyÂani meski kasusnya sudah agak lama namun tetap menarik dikaji. Bagaimanapun kasus itu hanyalah pucuk ‘gunung es’ konflik agraria di Indonesia.
Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat bahwa sepanjang 2004-2014 telah terjadi 1.391 kasus konflik agraria dengan pola seruÂpa. Kasus-kasus itu terjadi di sekÂtor perkebunan (536), infrastrukÂtur (515), dan kehutanan (140), pertambangan (90), pertanian (23), dan pesisir/kelautan (6).
Ke depan angka itu diperÂkirakan meningkat, mengingat belum adanya solusi efektif dari pemerintah untuk penyelesaian dan pencegahannya. Ini sangat berisiko karena masalah tersebut sudah ibarat ‘api dalam sekam’ yang sewaktu-waktu bisa saja menjadi ‘api revolusi sosial’.
Karena itu resolusi konflik agraria sangatlah urgen dan selayaknya menÂjadi prioritas pemerintahan Jokowi. Untuk itu, perlu ada komitmen dan keputusan politik yang tegas.
Lalu, secara lintas-institusi (Kementerian ATR, KementÂerian BUMN, Kemenhukham, Kemendagri, Kejagung RI, Polri), pemerintah dapat mengambil langkah resolutif berikut.
Pertama, menetapkan moratoÂrium terhadap seluruh persidangan konflik agraria yang sedang berÂlangsung, khususnya konflik antara rakyat dan pemerintah swasta.
Kedua, membentuk Badan Resolusi Konflik Agraria (BRKA) dengan fungsi resolusi konflik dan bertanggung jawab langsung keÂpada Presiden.
Ketiga, berdasar hasil pemetaÂan-ulang konflik agraria nasional secara partisipatif, BKRA menÂjalankan resolusi konflik di luar pengadilan. Dengan cara itu keÂadilan agraria bisa tercapai, dan kecenderungan ‘kriminalisasi’ warga yang menuntut hak-hak agrarianya dapat dihentikan.
Sangat jelas, tak ada alasan bagi pemerintahan Jokowi untuk menunda program resolusi konÂflik agraria nasional.
(Tak bijak meniru Presiden SBY yang menjanjikan rekonsiliasi agraria tahun 2004 tapi tak ada realisasinya hingga 2014). Ini pentÂing agar akumulasi kasus-kasus Asyani benar-benar terselesaikan dan tak terulang lagi. ***
Penulis: pernah menjadi staf pengajar di IPB, kini praktisi agribisÂnis dan peneliti sosial independen.
Sumber: suarakarya.id