JAKARTA, TODAY — Seperti diperkirakan para analis pasar uang, dolar Amerika Serikat (USD) akan terus menguat. Kamis (6/8/2015) kemaÂrin, USD sudah berada di kisaran Rp 13.530.
Kondisi tersebut diperburuk dengan kondisi perekonomian Indonesia yang melamÂbat. Di kuartal II-2015, pertumbuhan ekonomi hanya 4,67% atau lebih rendah dari kuartal I-2015 sebesar 4,71%.
“Kita sudah turun ke pasar,†kata Direktur Kebijakan Makroprudensial BI Yati Kurniati dalam Infobank OutÂlook Midyear 2015, Gairah Baru BisÂnis Otomotif dan Properti Nasional, di Hotel Le Meridien, Jakarta, Kamis (6/8/2015). Namun intervensi BI ini tak berpengaruh.
Yati menjelaskan, BI selaku otoritas moneter sudah melakukan berbagai langkah dan kebijakan dengan mengÂgelontorkan cadangan devisa untuk bisa menekan volatilitas rupiah.
“BI sudah melakukan intervensi dan kebijakan intervensi untuk menÂjaga volatilitasnya. Kita tidak mau menggarami air laut jadi kita melihat apa yang menjadi penyebab nilai tukar, kapan kita masuk, kapan kita melepas cadangan devisa kita,†jelas dia.
Yati menyebutkan, perlambatan perekonomian saat ini terjadi tidak hanya di dalam negeri namun juga secara global. Untuk itu, pihaknya melakukan kebijakan-kebijakan untuk tetap memberikan optimisme di pasar keuangan.
“Kebijakan kami untuk menumÂbuhkan optimisme. Tugas kami menÂjaga supaya perlambatan tidak berÂlangsung terus dan berupaya optimis. Kalau semua pesimis, jadi makin terÂperosok,†katanya.
Tantangan perekonomian global, kata dia, tentu menekan perekonoÂmian Indonesia. Negara-negara tujuan ekspor Indonesia seperti China juga tengah melambat. Nilai ekspor IndoÂnesia anjlok. “Yang melambat negara-negara partner dagang utama yang menyebabkan perlambatan pertumÂbuhan ekspor, harga komoditas turun, di mana ekspor kita tergantung koÂmoditas, permasalahan semakin komÂpleks,†katanya.
Meski begitu, Yati meyakini, perÂekonomian Indonesia ke depan akan bisa pulih dengan dorongan pemerinÂtah melalui percepatan proyek-proyek infrastruktur. “Ekonomi Indonesia dalam jangka pendek akan membaik, jangka menengah akan meningkat dengan didukung oleh reformasi strukÂtural,†imbuhnya.
Tak Terbendung
Keperkasaan nilai tukar USD seoÂlah tak terbendung. Ada banyak faktor yang menyebabkan penguatan mata uang Paman Sam.
Menurut Sub Manager Group of Economy Risk and Financial System Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Dienda Siti Rufaedah, mata uang di negara maju masih bisa bertahan terÂhadap penguatan USD.
Berbeda dengan kinerja mata uang negara maju, mayoritas mata uang negara berkembang masih menunjukÂkan pelemahan terhadap USD, termaÂsuk juga rupiah.
“Rubel menjadi mata uang yang menunjukkan performa terburuk di bulan Juni 2015 dengan melemah sebeÂsar 5,59% dan ditutup pada level 55,27 per dolar AS,†katanya dalam Laporan Perekonomian dan Perbankan LPS buÂlan Juli, Kamis (6/8/2015).
Tekanan terhadap mata uang rubel didorong oleh anjloknya pasar saham di China menyusul jatuhnya harga minÂyak. China adalah salah satu konsumen komoditas terbesar dunia sehingga memicu kecemasan melemahnya perÂmintaan global.
Namun bank sentral Rusia meÂnyatakan akan secara aktif melakukan intervensi di pasar, untuk menyokong rubel dari penurunan harga minyak serta guncangan eksternal lainnya.
Di akhir 2015, mata uang rubel diÂproyeksikan mampu menguat sebesar 6,55% ke level 56,76 per USD.
Sementara meningkatnya perminÂtaan valas untuk pembayaran utang dan dividen di triwulan II-2015 memÂberikan tekanan terhadap mata uang rupiah. “Di sisi lain, keputusan Bank Indonesia untuk mempertahankan BI rate di level 7,5% dinilai mampu menÂjadi sentimen positif bagi pergerakan rupiah,†ujarnya.
(Alfian M)