JAKARTA, TODAY – Perayaan Valentine’s Day ternyata tak mampu mendongkrak bisnis ritel secara umum. Jauh dari prediksi para pengusaÂha, terutama kuliner.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Tutum Rahanta, mengatakan momen Hari Valentine yang jatuh setiap 14 Februari tak banyak mendongkrak bisÂnis ritel. Tutum juga mengatakan, penÂjualan ritel pada Hari Kasih Sayang atau Valentine biasanya hanya naik untuk beberapa jenis barang terÂtentu sehingga dampaknya tidak sebesar momen lain seperti perayÂaan keagamaan atau masa liburan sekolah.
Ia menambahkan, penjualan ritel barang-barang khas Valentine juga hanya terdapat di wilayah tertentu saja, sehingga dampak yang ditimbulkan bersifat terbatas. “Bisa dibilang, masyarakat hanya membeli barang-barang khusus Valentine dan makanan tertentu saja seperti cokelat. Selain itu, tidak semua golongan melakuÂkan hal tersebut, hanya beberapa jenis generasi remaja saja yang melakukannya. Namun, bukan berarti semua remaja merayakan Valentine,†jelas Tutum, Minggu (14/2/2016).
Lebih lanjut, Tutum menÂgatakan penjualan ritel Hari ValÂentine tahun ini terbantu karena jatuh tepat di hari Minggu. Kendati demikian, bukan berarti setiap taÂhunnya tidak ada pertumbuhan penjualan ritel tepat di Hari ValÂentine. “Secara historis, pasti ada peningkatan penjualan ritel seÂtiap tahunnya tepat saat Valentine terlepas itu jatuh di hari biasa atau akhir pekan. Tapi memang kami tak pernah memonitor pertumbuÂhan penjualannya,†tambahnya.
Lebih lanjut, ia juga tidak bisa memberi angka pertumbuhan penjualan ritel di hari Valentine taÂhun ini jika dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Namun, ia menyamakan momen hari ValenÂtine seperti akhir liburan sekolah, di mana masyarakat hanya memÂbeli barang-barang kebutuhan terÂtentu saja. “Saya ibaratkan ValenÂtine ini seperti saat-saat menjelang anak-anak masuk sekolah. PertumÂbuhan penjualan pasti ada, namun hanya untuk barang-barang terÂtentu seperti alat tulis atau buku-buku,†jelas Tutum.
Defisit Cokelat
Sementara itu, kondisi bisnis cokelat dunia juga mengalami senÂtimen negatif. Defisit suplai biji kaÂkao yang merupakan bahan utama pembuatan cokelat, menghantui banyak produsen cokelat di seluÂruh dunia.
Menurut laporan terbaru yang berjudul Destruction by Chocolate, dunia sedang menuju ambang baÂtas defisit cokelat. Dengan tingkat permintaan semakin tinggi, terutaÂma kalangan pembeli dari negara berkembang, membuat persedian cokelat semakin menipis.
Sayangnya, hal itu tidak diimÂbangi oleh oleh jumlah pasokan yang disebutkan semakin melamÂbat akibat metode pertanian yang buruk dan tidak pernah berubah dalam kurun waktu ratusan tahun.
Laporan tersebut menemukan fakta, konsumen yang tinggal di Barat mampu menghabiskan rata-rata 286 batang cokelat dalam setaÂhun. Angka tersebut semakin berÂtambah, jika menyebutkan tingkat konsumsi yang dihasilkan oleh konsumen di Belgia.
Padahal, untuk menghasilkan 286 batang cokelat, petani atau pihak produsen sedikitnya harus menanam 10 pohon kakao untuk membuat cokelat dan mentega – yang merupakan bahan utama dalam produksi cokelat.
Laporan tersebut juga menÂgungkapkan, sejak tahun 1990-an, lebih dari satu miliar orang dari Tiongkok, Indonesia, India, Brazil dan negara bekas Uni Soviet, telah memasuki pasar kakao dengan menanam pohon kakao di areal pertanian mereka.
Sayangnya, hal tersebut maÂsih belum mampu mendongkrak tingkat pasokan kakao, mengingat tingkat permintaan yang terus meÂningkat. Walhasil, hal itu membuat persedian cokelat dunia semakin menurun ari waktu ke waktu.
Doug Hawkins dari perusahaan riset Hardman Agribisnis menÂgatakan, produksi kakao dunia terus berada dalam tekanan, dikÂarenakan metode pertanian tidak berubah selama ratusan tahun.
“Tidak seperti tanaman poÂhon lain yang telah memperoleh manfaat dari perkembangan teknologi pertanian modern, lebÂih dari 90 persen tanaman kakao dunia yang dihasilkan oleh petÂani, ternyata tidak masih mengÂgunakan meteode pertanian yang sama,†katanya.
“Melihat semua indikator yang ada, kita bisa mengatakan bahwa defisit cokelat akan mencapai lebih dari 100.000 ton per tahun dalam kurun waktu beberapa tahun ke depan,†tandasnya.
(Yuska Apitya/CNN)