Untitled-3PAGI itu, 15 Desember 1961 di kota Yerusalem, persisnya di ruang pengadilan rakyat (Beth Ha’am) untuk penjahat perang, seorang perempuan yang tidak lagi muda namun berparas elok duduk di barisan kursi jurnalis dan mendengarkan dengan seksama hasil keputusan sidang kejahatan perang yang telah berlangsung sejak bulan April sebelumnya. Hannah Arendt nama perempuan itu. Tatapannya yang tajam terarah ke sosok terdakwa berusia paruh baya yang duduk tenang dalam kurungan kaca anti peluru.

Oleh: Ito Prajna-Nugroho
Penulis adalah Anggota Lingkar Studi Terapan Filsafat dan Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

Adolf Eichmann adalah nama terdakwa di kurungan kaca itu. Dengan kalem ia men­dengarkan hukuman gantung yang dijatuhkan atas dirinya. Selama Perang Dunia II ia dikenal kalangan petinggi Partai Nazi sebagai pakar perihal ‘solusi final untuk persoalan Yahudi’ (die Endlösung der Judenfrage). Kepakarannya dalam mem­bangun sistem dan merancang kamp konsentrasi Auschwitz-Birkenau membuatnya menjadi orang kepercayaan Hitler dan bertanggung jawab atas pemus­nahan sistematis orang-orang Ya­hudi (Holocaust) di masa perang. Dalam kurun kurang dari satu tahun saja (1944-1945) Eichmann, dalam pengakuannya sendiri yang santun dan disertai nada kebanggaan, telah memusnah­kan limaratus ribu orang Yahudi Hungaria secara tertib, higenis, dan sistematis. Dari 1942 hingga 1945 tidak kurang 2 juta orang ke­turunan Yahudi dibantai melalui kepakaran Eichmann.

Banalitas dan Normalitas Kejahatan

Pengakuan Adolf Eichmann yang penuh kebanggaan itu me­nimbulkan kegemparan dunia internasional serta mengun­dang berang dari khalayak pers dan para tokoh dunia. Sungguh tidak terpikirkan bahwa ses­eorang bisa merasa bangga atas kontribusinya dalam kejahatan kemanusiaan paling mengerikan di dunia modern abad ke-20. Tetapi, kegemparan yang lebih menggemparkan muncul secara tak disangka-sangka dari Hannah Arendt, seorang filsuf perem­puan yang ketika itu meliput sidang Adolf Eichmann untuk majalah The New Yorker. Arendt mengikuti setiap menit jalannya proses peradilan, dan mener­bitkan laporan khusus tentang Adolf Eichmann yang kemudian dibukukan berjudul Eichmann in Jerusalem – A Report on the Banality of Evil. Laporan untuk edisi khusus majalah The New Yorker tahun 1963 ini menjadi sumber kegemparan dan kontro­versi dunia internasional.

Dalam liputannya Hannah Arendt menyimpulkan bahwa segala kengerian yang kita bay­angkan tentang sosok pelaku ke­jahatan kemanusiaan terburuk itu sesungguhnya meleset sama sekali, dan hanya bentukan ima­jinasi kita sendiri yang dibangun melalui opini publik. Segala ke­jahatan, keburukan, horor, dan kekejian yang sebelumnya digam­barkan oleh media massa tentang sosok Adolf Eichmann adalah ke­palsuan imajinatif yang muncul dari imajinasi publik tentang apa itu ‘yang jahat’ (evil). Arendt me­nyebut bahwa sosok yang digam­barkan keji itu sesungguhnya adalah orang yang sangat santun, taat beragama (Eichmann adalah pengikut ajaran Calvin yang taat), taat hukum, berbakti kepada bangsa dan negara, punya ban­yak sahabat, dan pekerja keras. Singkatnya, tidak ada yang jahat dalam sosok Eichmann.

Tetapi persis di situlah terle­tak persoalannya. Kebanggaan yang diperlihatkan Eichman akan segala kengerian yang di­perbuatnya muncul bukan dari kebencian dan kegilaan, tetapi justru muncul dari rasa tang­gungjawabnya yang tanpa cela untuk memenuhi tugas dan ke­wajibannya. Dalam salah satu sesi sidang Eichmann bahkan dengan mantap mengutip filsuf Immanuel Kant, tokoh besar fil­safat moral, dengan mengatakan: “bertindaklah sedemikian rupa sehingga tindakanmu dapat di-universalisasikan sebagai prinsip moral umum, antara lain yaitu menunaikan kewajiban, ketaatan pada hukum, pimpinan, agama, dan norma masyarakat” (Hannah Arendt, 1963 [1994] : 136).

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Bagi Hannah Arendt, kepolo­san, kenormalan, dan kejujuran sosok Eichmann justru merupak­an cerminan diri masing-masing kita, yang sibuk dengan kesehar­ian, dan seringkali bertindak melakukan segala sesuatu seb­agaimana sudah seharusnya, dan sebagaimana orang-orang lain melakukannya. “Kebenaran yang sungguh menyedihkan, meng­gelisahkan, dan sulit dipahami adalah kejahatan yang muncul justru dari rasa kewajiban dan suara hati seseorang yang sama sekali tidak berbeda dari masing-masing kita” (Hannah Arendt, 1963 [1994] : 146), demikian Han­nah Arendt menyebutnya.

Kejahatan kemanusiaan yang sungguh tidak manusiawi itu ternyata muncul dari orang-orang yang sangat manusiawi, dan sehari-harinya tidak berbeda dari kita orang normal pada um­umnya. Maka Arendt menyim­pulkan bahwa kejahatan terha­dap kemanusiaan sesungguhnya tidak muncul dari kegilaan dan abnormalitas, melainkan justru dimungkinkan oleh normalitas dunia sehari-hari yang banal (dangkal) dan serba otomatis. Pernyataan ini segera menggem­parkan dunia dan secara fron­tal berseberangan dengan arus umum opini media ketika itu.

Kita tentu boleh-boleh saja tidak sependapat dengan Han­nah Arendt. Namun Arendt telah memperlihatkan suatu realitas yang sungguh nyata dan meng­gelisahkan, yaitu: kejahatan yang mengerikan seringkali muncul bukan dari sesuatu yang abnor­mal dan satanik, tetapi justru muncul dari banal/dangkalnya hidup keseharian. Inilah yang oleh Hannah Arendt disebut se­bagai banalitas kejahatan (the banality of evil), dan kini menjadi acuan penting bagi teori-teori sosial-politik.

Kita terhenyak ketika ses­eorang mengeluarkan pistol, mulai menembaki kerumunan orang lalu meledakkan pos polisi di perempatan Sarinah Thamrin. Kita juga terkejut dan heboh ke­tika menyadari bahwa banyak orang tiba-tiba secara sukarela melenyapkan diri untuk ber­gabung dengan kelompok teror di Suriah, atau bergabung den­gan aliran-aliran yang didakwa sesat. Kita semakin terkejut ke­tika tetangga kita yang selama ini baik ternyata anggota kelompok teror, pembunuh, pemerkosa anak-anak, bandar narkoba, atau koruptor.

Tetapi ada sesuatu yang menggelisahkan dari kehebohan tersebut. Segala keterkejutan itu datang dan pergi begitu saja bagai­kan pertunjukan film di bioskop, dan khalayak pun menanggapin­ya seolah-olah semua teror kema­nusiaan itu adalah sensasi untuk kesenangan diri. Maka muncullah berbagai trending-topic di media-media sosial mengenai berbagai hal trendy yang sebetulnya tidak ada kaitan sama sekali dengan substansi peristiwa yang terjadi. Mungkin saja kita terkejut bukan terutama karena jahatnya keja­hatan itu, tetapi karena kecema­san (dan kehebohan) kita akan diri kita sendiri.

Artinya, kita mungkin saja sebenarnya tidak terlalu peduli dengan peristiwa-peristiwa teror kemanusiaan itu, tetapi lebih peduli dengan keberlangsun­gan (juga kesenangan) diri kita sendiri yang menjadikan peristi­wa-peristiwa teror kemanusiaan hadir sebagai “penyegar” dalam rutinitas keseharian yang banal dan membosankan. Mungkin hal yang sama juga menjadi motivasi yang menggerakkan para pelaku kejahatan terhadap kemanu­siaan: menyelematkan diri dari kejemuan normalitas keseharian.

Jika memang demikian halnya maka segala kehebohan, keterke­jutan, bahkan kepedulian kita adalah kepedulian yang sesat. Seperti yang ditekankan oleh Hannah Arendt, kejahatan me­nyimpan potensi yang semakin mengecoh, mengerikan dan ber­bahaya ketika dibalut oleh nor­malnya keseharian dan terbung­kus oleh mulianya norma-norma moral.

Myopia Diri

Pada Januari 2002, sebuah tim investigasi surat kabar The Boston Globe, tim kecil yang bernama Spotlight, menerbit­kan di halaman utama Boston Globe suatu berita yang mencen­gangkan berjudul The Catholic Church Allowed Abuse by Priests for Years. Isinya: sejak awal ta­hun 1980 hingga akhir 1990 para imam (pastur) Gereja Katolik di beberapa paroki kota Boston telah melakukan pemerkosaan dan penistaan terhadap sedikit­nya 130 anak-anak di bawah umur, termasuk para bocah laki-laki yang masih berusia 5 tahun.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Yang lebih mencengangkan, semua peristiwa kebejatan itu sesungguhnya telah sejak lama diketahui dan dibiarkan begitu saja oleh otoritas Gereja Katolik, termasuk Uskup Agung (ketika itu Kardinal Bernard F. Law, yang kini pensiun dan diberi tempat pensiun yang mewah di Italia) dan Bapa Suci Paus (ketika itu di masa Paus Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus XVI). Pembiaran dari pihak otoritas Gereja dan upaya untuk menutupi kebejatan para imamnya inilah yang ke­mudian menjadi skandal paling menggemparkan dalam sejarah Gereja Katolik di Abad ke-21.

Namun, apa yang mengge­lisahkan bukanlah skandal itu sendiri, melainkan sikap para umat di hampir seluruh paroki Gereja Katolik Amerika Serikat, yang tidak bisa menerima ke­benaran skandal tersebut, dan berlaku seolah-olah semuanya baik-baik saja. Sikap ‘normal’ dan ‘bermoral’ ini pula yang telah me­mungkinkan terjadinya kejahatan keji dan bejat selama kurun 20 ta­hun lebih terhadap anak-anak di bawah umur.

Umat sepertinya lebih me­milih membela keselamatan iman dan normalitas keseharian mereka daripada bersikap tepat di hadapan kejahatan terhadap anak-anak. Seperti telah digaung­kan Hannah Arendt, kejahatan memang seringkali hadir dalam wajahnya yang sangat sehari-hari, normal dan banal.

Emmanuel Levinas, filsuf kontemporer Prancis yang bersa­haja, mengatakan bahwa kita ter­lalu sering melihat kemanusiaan kita dalam perspektif ‘Aku’ (Em­manuel Levinas, Entre Nous, 1991 [1998] : 56, 59-60). Maka sejarah kemanusiaan, termasuk juga se­jarah KeTuhanan dan agama-aga­ma, tidak lain dari sebuah bentuk ke-Aku-an yang narsistik dan ego­istik. Kita terlalu terpaku pada interioritas diri dan menafikkan alteritas (keberlainan) orang lain dalam segala eksterioritasnya.

Filsafat, teologi, ilmu-ilmu, termasuk politik, menjadi suatu egology, rangkaian keterpusatan pada ‘Aku’ yang melupakan liyan dan cenderung keras (berbuat kekerasan) terhadap perbedaan serta keberlainan. Maka tidak mengherankan bahwa sejarah kemanusiaan selalu dibarengi oleh sejarah kekerasan dan keja­hatan kemanusiaan, sebab kita tidak pernah mampu melam­paui ke-aku-an kita, demikian dikatakan Emmanuel Levinas dalam wawancaranya dengan Phillippe Nemo pada 1981.

Myopia diri memang selalu berujung pada egoisme dan nar­sisme. Pertanyaannya kemudian, sejauh mana kita menyadari myopia diri itu dan mulai ber­paling keluar dari kenyamanan diri dan normalitas keseharian kita. Sebab, jangan-jangan segala kepedulian dan keprihatinan yang kita tunjukkan terhadap berbagai peristiwa teror kema­nusiaan yang mendera negeri ini ternyata adalah kepedulian sesat yang tidak lebih dari ekspresi mentalitas kawanan dan nar­sisme diri kita masing-masing.

Jika memang demikian hal­nya, maka kadar toleransi dan kepedulian sosial negeri ini seb­etulnya sedang berada di tahap gawat. Tetapi tentu pada akh­irnya kita akan kembali sibuk dengan keseharian dan diri kita sendiri. Lagipula, buat apa re­pot mendengarkan para filsuf yang njlimet dan serba aneh itu, tokh mereka bisa saja keliru. Bu­kankah demikian?

============================================================
============================================================
============================================================