BOGOR, TODAY — Penyelidikan kasus mark up (penggelembungan) anggaran pembelian lahan relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Jambu Dua, TaÂnah Sareal, Kota Bogor, tinggal menunggu fase persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Bandung.
Pengembangan perkara yang dilakukan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat, hingÂga kini tak kunjung berkemÂbang. Meski satu-persatu peÂjabat Pemkot Bogor dan DPRD Kota Bogor diperiksa rutin selama dua pekan terakhir ini, namun, belum ada kejelasan tentang siapa dalang dalam kasus ini. Kejaksaan pun mulai angkat tangan.
Di tengah mendinginnya kasus ini, kemarin sejumlah warga Bogor yang mengatasÂnamakan Tim Advokasi BoÂgor Bersih (TABB) mendatangi Pengadilan Negeri (PN) Bogor. Mereka (Citizen Law Suit) menggugat Walikota BoÂgor, Bima Arya Sugiarto dan seluruh anggota DPRD Kota Bogor, untuk segera mengembalikan anggaran sisa pembeÂlian lahan Jambu Dua.
Koordinator penggugat, Dwi Arywendo mengatakan, 12 orang yang melakukan guÂgatan ini sebagai bentuk untuk mewakili seluÂruh masyarakat di Kota Bogor. “Kami sebagai warga negara mempunyai hak konstitusi dan melihat pembebasan lahan ini disinyalir telah melakukan perbuatan melawan hukum, yakni penganggaran lahan Jambu Dua ini di DPRD dan evaluasi Gubernur hanya mengesahkan Rp 17,5 miliar, lalu kenapa angka ini bisa berubah menjadi Rp 49,2 miliar,†terangnya, usai melayÂangkan gugatan di PN Bogor, kemarin.
Dwi yang juga Dosen Hukum Universitas Ibnu Khaldun (Uika) Bogor itu menjelaskan, sebagai masyarakat yang mencari keadilan hanya ingin mengungkap ada apa sebenarnya dalam kasus ini, agar seluruh masyarakat Kota Bogor terbuka. “Saya perhatikan sebagian beÂsar masyarakat Kota Bogor hanya mengiyakan saja apa yang diputuskan oleh Pemkot Bogor,†terangnya.
Ia juga menambahkan, TABB telah memÂberikan bukti-bukti yang disertakan di dalam surat gugatan yang diberikan kepada PengaÂdilan Negeri Kota Bogor. “Bukti-buktinya yakni Keputusan Pimpinan DPRD Kota Bogor Nomor 903-13 Tahun 2014 tentang Persetujuan PeÂnyempurnaan Terhadap Rancangan Peraturan Daerah Kota Bogor dan Hasil Evaluasi Gubernur Jawa Barat tertanggal 5 November 2014 yang berisi penganggaran yang baru dialokasikan unÂtuk Pengadaan Tanah dalam Perubahan APBD pada SKPD Kantor Dinas Koperasi dan UMKM Nomor 1.15.1.15.01.17.98 Pelaksanaan PenÂgadaan Tanah untuk relokasi Pedagang Kaki Lima adalah sebesar Rp. 17,5 miliar,†jelasnya.
Dalam hal ini, ternyata muncul penganggaÂran yang berbeda oleh tergugat, yakni Walikota Bogor dan DPRD Kota Bogor yang berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perubahan APBD Tahun 2014 tanggal 6 November 2014, dimana alokasi unÂtuk pengadaan tanah dalam Perubahan APBD pada SKPD Kantor Koperasi dan UMKM diatas untuk pelaksanaan pengadaan tanah untuk reÂlokasi PKL nya menjadi Rp 49,2 miliar.
“Tindakan para tergugat yang telah menetapkan penganggaran yang berbeda itu merupakan perbuatan melawan hukum dan melanggar Pasal 28 H UUD 1945, dimana hak para penggugat, yakni warga Kota Bogor untuk hidup sejahtera lahir dan batin mengharuskan kekayaan dan keungan negara in casu Kota BoÂgor dengan benar sehingga para tergugat wajib memberikan hak para penggugat tersebut,†terang kuasa hukum penggugat, Munathsir Mustaman.
Selain itu perbuatan melawan hukum para tergugat juga digugat dengan dasar UU Nomor 31 Tahun 1999 junto UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Didalam surat gugatan kami meminta uang Rp 31,7 miliar dikembalikan untuk kepentingan warga miskin di Kota Bogor dan dibayarkan meÂlalui rekening Pemerintah Daerah Kota Bogor,†tegasnya.
Dikonfirmasi mengenai gugatan ini, WaÂlikota Bogor, Bima Arya Sugiarto, enggan berkomentar. Telefon dan SMS yang dilayangÂkan BOGOR TODAY, sama sekali tak berbalas.
Kabag Humas Pemkot Bogor, Encep MoÂhammad Al-Hamidi, mempersilahkan semua elemen ikut mengupas perkara ini. “Namun, semua sudah ada prosedurnya. Kan sudah ditangani sama yang berwenang. Kalau ada gugatan ya silahkan saja. Semua mekanisme penganggaran sudah dilakukan sesuai proseÂdur,†katanya.
Proses hukum yang sedang berjalan mengenai skandal lahan panas Jambu Dua ini masih jalan. Kasuspenkum Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bandung, Jawa Barat, Raymond Ali mengatakan, pihaknya masih mendalami fakta terkait kematian Hendricus Angkawidjaja (AnÂgkahong). “Kita akan terus selidiki kasus ini hingga tuntas sampai ke akarnya, bukti-bukti kematian Angkahong terus kita perdalam. Kita juga masih mengkaji keterangan para saksi keÂmarin,†singkatnya, kepada BOGOR TODAY.
Ditempat terpisah, Kepala Seksi Intelijen Kejari Kota Bogor, Andhie Fajar Arianto, menÂgaku masih mengkaji surat permohonan pengaÂlihan status tahanan yang dilayangkan oleh WaÂlikota Bogor terkait dengan penahanan Camat Bogor Barat; Irwan Gumelar dan Kepala Dinas Koperasi dan UMKM; Hidayat Yudha Priatna beberapa pekan lalu. “Belum ada. Nanti saja ya nanyanya,†kata dia, kemarin.
Kasus korupsi lahan Pasar Jambu Dua ini mencuat setelah adanya kejanggalan dalam pembelian lahan seluas 7.302 meter persegi milik Hendricus Angkawidjaja alias Angkahong oleh Pemkot Bogor pada akhir 2014 silam. Ternyata di dalamnya telah terjadi transaksi jual beli tanah eks garapan seluas 1.450 meter perÂsegi. Dari 26 dokumen tanah yang diserahkan Angkahong kepada Pemkot Bogor ternyata staÂtus kepemilikannya beragam, mulai dari SertifiÂkat Hak Milik (SHM), Akta Jual Beli (AJB) hingga tanah bekas garapan.
Dengan dokumen yang berbeda itu, harga untuk pembebasan lahan Angkahong seluas 7.302 meter persegi disepakati dengan harga Rp 43,1 miliar. Empat orang tersangka dari kaÂlangan bawah, yakni Hidayat Yudha Priatna (Kepala Dinas Koperasi dan UMKM), Irwan Gumelar (Camat Bogor Barat), Hendricus AngÂkawidjaja alias Angkahong (Pemilik tanah yang dikabarkan meninggal dunia) dan Roni Nasrun Adnan (dari tim apraissal tanah). Ketiga terÂsangka tersebut saat ini berada di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Paledang Kota Bogor menunggu Kejari Kota Bogor meÂlimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Tipikor Bandung, Jawa Barat.
Sebelumnya berkas perkara ini juga telah masuk ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Provinsi Jawa Barat dan Kejaksaan Agung (Kejagung) serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketiga lembaga yudikatif tertinggi itu kini tengah meÂmantau dugaan adanya aktor intelektual dalam perkara ini.
(Abdul Kadir Basalamah | Yuska Apitya)