Terpujilah wahai engÂkau, ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup, dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuÂukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku
‘Tuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita, dalam kegelapan
Engkau laksana embun peÂnyejuk, dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa……
(Yuska Apitya Aji)
TENTU masih kuat ingatan kita pada potongan lagu berjudul Hymne Guru yang selalu dinÂyanyikan pada Hari Guru yang jatuh setiap 25 November. PencipÂta lagu tersebut, Sartono (79), tuÂtup usia, Minggu (1/11/2015) siang. Almarhum meninggalkan warisan yang tak pernah terlupakan.
Bait-bait ini setidaknya menÂjadi bukti bahwa Sartono, layak menyandang tokoh nasional di Indonesia. Bait yang ia susun acap menjadi nyanyian wajib setiap taÂhun, tepatnya saat Hari Guru Nasional tiba.
Sartono mengembusÂkan nafas terakhir di RuÂmah Sakit Umum Daerah
 Kota Madiun, Jawa Timur, sekitar pukul 12.40 WIB, MinÂggu kemarin siang. Almarhum meninggal karena mengalami komplikasi, di antaranya gejala stroke, jantung, kencing maÂnis, dan penyumbatan pembuÂluh darah di otak.
Budi Suroso, salah satu perÂawat RSUD Kota Madiun menÂjelaskan, kondisi Sartono memÂburuk setelah jatuh dari tempat tidur. Sayangnya, Sartono baru dibawa ke rumah sakit semÂinggu kemudian. “Pak Sartono masuk RSUD tanggal 20 OktoÂber pukul 19.45 WIB, langsung dirawat di UGD. Dia jatuh dari tempat tidur. Tapi baru dibawa ke rumah sakit seminggu kemuÂdian,†imbuh Budi.
“Saya menyampaikan duka cita yang mendalam, semoga jasa dan amal Almarhum diÂcatat sebagai amal kebaikan oleh Tuhan,†kata MendikÂbud Anies Baswedan, Minggu (01/11/2015). “Pak Sartono denÂgan lagu gubahannya, Hymne Guru, membuat banyak orang terinspirasi untuk tidak saja menghormati guru-guru kita, tetapi juga memuliakan para guru. Kita semua kehilangan beliau,†tutur Anies.
Saat Sartono dirawat di RSUD Madiun, Anies mengutus Inspektur Jenderal KemendikÂbud Daryanto untuk memÂbesuk dan membantu keluargÂanya. Saat itu Anies di tengah kunjungan kerja mendampingi Presiden Jokowi untuk meninÂjau daerah-daerah terdampak kebakaran hutan.
Ignatia Damijati (65), menÂuturkan Sartono mulai menunÂjukkan tanda-tanda sakit pada Sabtu (17/10/2015). Saat itu suaÂminya tidak mau makan dan merasakan sakit pada lengan kirinya. Dua hari sebelumnya, Sartono terjatuh dari ranjang tempat tidur. “Tensi darah BaÂpak terus menurun dan nafasnÂya juga tersengal-sengal. Kini jenazah sudah dibawa ke ruÂmah duka di Jalan Halmahera, Oro-Oro Ombo Kota Madiun,†kata dia.
Sartono dan istrinya, IgnaÂtia Damijati tinggal di Jalan HalÂmahera, Kelurahan/Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun, Jawa Timur. Sartono koma sejak JuÂmat (30/10/2015) dan langsung dibawa ke RSUD Madiun.
Saat koma tersebut, SarÂtono sampai tidak bisa meraÂsakan nyeri serta mengedipkan mata. Sartono juga tidak bisa makan dan minum sehingga dokter memberikan selang unÂtuk asupan nutrisi.
Sartono merupakan manÂtan guru di sebuah yayasan swasta di Kota Madiun. Ia menÂgajar di SMP Katolik Santo BerÂnardus Madiun. Sebagai guru seni dan kecintaannya pada seni musik, Sartono lalu menÂciptakan lagu hymne guru: “Pahlawan Tanpa Tanda Jasaâ€.
Dalam lagu itulah Sartono mengungkapkan kekaguman dan pujiannya kepada para pendidik yang tanpa pamÂrih, bagaikan pahlawan tanpa tanda jasa. Selain hymne guru yang monumental itu, Sartono juga menghasilkan delapan lagu bertema pendidikan.
Perhatiannya yang deÂmikian serius dalam dunia pendidikan dan pengabdianÂnya sebagai guru membuahkan penghargaan dari Mendikbud Yahya A. Muhaimin dan pengÂhargaan Dirjen Pendidikan, SoÂedardji Darmodihardjo. Kini, Sartono berpulang, bait warÂisannya tetap hidup kekal dan selalu dikenang. Selamat Jalan, Pak Guru.