Yuan berpeluang mengalami devaluasi lanjutan seiring naiknya suku bunga The Federal Reserve (The Fed). Tren pelemahan rupiah masih berlanjut, dolar AS sudah mencapai Rp 14.300 per dolar Amerika Serikat (AS).
Oleh : Adilla Prasetyo
[email protected]
Faktor eksternal yang bakal semakin meleÂmahkan rupiah ialah devaluasi lanjutan yuan dan kenaikan suku bunÂga The Federal Reserve (The Fed). Namun, faktor yang lebih dominan ialah devaluÂasi yuan yang masih mungÂkin akan dilakukan lagi oleh China.
Direktur Eksekutif Mandiri Institute, Destry Damayanti mengungkapkan bahwa tren ekonomi di China masih terus memburuk. China sudah beÂberapa kali menurunkan suku bunga dan tidak berdampak signifikan mendorong perekoÂnomian.
“Kalau The Fed sih sebeÂnarnya tidak perlu dikhaÂwatirkan lagi. Saya melihat masih ada peluang devaluasi yuan. Mau nggak mau mereka mendorong lagi ekspornya dia dengan cara mendevaluÂasi yuan lagi,†katanya usai Financial Deeping Seminar di Ritz Carlton Pacific Place, JaÂkarta, Senin (7/9/2015).
Destry menjelaskan, devalÂuasi yuan bakal berlanjut kaÂrena ekonomi China semakin melambat. Negeri tirai bambu itu tak punya pilihan lain lagi selain menurunkan nilai tukar yuan karena cara-cara lain yang telah ditempuh, seperti penurunan suku bunga, suÂdah tidak ampuh lagi untuk menggenjot ekonomi mereka.
“Sebelumnya ekonomi ChiÂna tumbuh pesat, sehingga nggak ada alasan untuk melÂakukan devaluasi. Mulai 2012, pertumbuhan ekonomi mulai melambat. Akhirnya China berupaya menggenjot ekspor dengan mendevaluasi mata uangnya,†paparnya.
Devaluasi lanjutan yuan akan sangat memukul pereÂkonomian Indonesia dan neÂgara-negara ASEAN lainnya, bahkan dampaknya bisa lebih besar ketimbang kenaikan suku bunga The Fed. “Ini lebÂih berdampak bagi Indonesia dan ASEAN, China itu jangkar ekonomi di Asia, kita face to face dengan mereka. Kalau ada pergerakan di sana, mau nggak mau kita kena,†ungkaÂpnya.
Langkah devaluasi mata uang China ini pun akan diiÂkuti oleh Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Namun, IndoÂnesia tidak dapat mengikuti langkah semacam itu karena kontribusi ekspor Indonesia terhadap PDB tidak terlalu dominan.
Devaluasi yuan akan memÂbuat dolar AS makin perkasa, perekonomian Indonesia pun bakal terpukul karena keterÂgantungan pada impor bahan baku masih amat tinggi. “KaÂlau Indonesia kan ekonomÂinya lebih berorientasi ke domestik, dan kita impor baÂhan baku tinggi sekali. Kalau rupiah melemah, itu akan lebih memukul ekonomi doÂmestik kita, 76 persen impor kita adalah bahan baku untuk produksi dan konsumsi doÂmestik,†tukasnya.
Di samping devaluasi lanÂjutan yuan, Destry melanjutÂkan, Indonesia juga perlu meÂwaspadai pelemahan harga komoditas. Anjloknya harga minyak akan diikuti oleh koÂmoditas-komoditas lainnya. “Korea Selatan ternyata puÂnya cadangan minyak baru. Ini akan mempengaruhi kita karena 70 persen lebih ekspor kita dari komoditas. Tapi fakÂtor dari China saja sudah meÂnampar kita,†ucapnya.
Untuk menahan pelemaÂhan rupiah, ia mengusulkan pemerintah fokus mendorong industri-industri yang komÂponen lokalnya tinggi. MisÂalnya industri pengolahan berbasis sumber daya alam, garmen, industri kayu, indusÂtri yang berhubungan dengan CPO, dan sebagainya. “Fokus bukan hanya berikan tax inÂsentive, tapi juga berikan perÂmodalan, teknologi, permuÂdah izin,†lanjutnya.
Dengan begitu, impor baÂhan baku bisa ditekan dan nilai tukar rupiah dapat diperkuat. “Kalau high exÂport, dia bagus buat currency kita. Ini industri-industri yang harus dapat fokus dari pemerÂintah,†pungkasnya.