PADA bulan Ramadhan, menjelang hari raya Idul Fitri, zakat menjadi tema yang aktual (dan urgen) untuk dibicarakan. Sebab umat Islam yang secara finansial punya kelebihan harta kekayaan dituntut untuk mengeluarkan zakat.
Oleh: N MURSIDI
Peneliti pada Al-Mu`id Institute, Lasem, Rembang, Jawa Tengah
Sebagai salah satu dari pilar Islam, zakat waÂjib ditunaikan. Bahkan kesadaran untuk menÂgalokasikan sebagian harta merupakan bentuk pengeÂjawantahan dari upaya memberÂsihkan diri dari harta yang dapat dikatakan subhat lantaran dalam harta itu ada hak bagi kaum fakir miskin (yang harus dibayarkan).
Tetapi, zakat secara makro memiliki dimensi yang jauh lebih luas. Dengan kata lain, zakat tidak sekadar sebagai upaya pemberÂsihan diri, tetapi berkorelasi luas karena memiliki urgensitas yang berpotensi dapat membangun pilar ekonomi kerakyatan sebuah bangsa, terlebih bagi bangsa IndoÂnesia ini. Apalagi, potensi zakat di Indonesia -sebagaimana pernah dikemukan oleh Dr Didin HafidÂhudin- sungguh tinggi, Rp 217 triliun per tahun. Sayang, potensi zakat di Indonesia baru terserap, serta dikelola oleh lembaga amil zakat sekitar satu persen. Pada 2011 jumlah penerimaan sebesar Rp 1,7 triliun kemudian pada 2012 menjadi Rp 2,73 triliun. Jumlah yang fantastis, potensi zakat Rp 217 triliun per tahun itu, tidak dapat dimungkiri bisa dicatat seÂbagai modal penting dalam upaya membangun ekonomi kerakyÂatan. Apalagi, sejak 14 abad yang lalu, zakat merupakan salah satu instrumen yang dianggap mampu mengatasi kesenjangan dan bahÂkan krisis ekonomi di tengah maÂsyarakat.
Berbeda dengan ritual lain seperti shalat, puasa, dan haji, zaÂkat memiliki dimensi sosial yang lebih kental. Hal itu sebagaimana ditegaskan Allah dalam QS Al-MaiÂdah [5]: 55. Dari teks kitab suci itu, jelas digambarkan bahwa “shalat†merupakan ibadah yang sifatnya vertikal sementara zakat adalah ibadah yang memiliki dimensi horÂizontal. Shalat memiliki dimensi langsung kepada Allah sedangkan zakat adalah wujud dari kasih sayÂang Allah kepada manusia karena manfaat dari zakat itu bisa diraÂsakan langsung oleh kaum fakir miskin dalam menjalani kehiduÂpan nyata di dunia ini.
Dalam teks tersebut, secara gamblang bisa dibaca bahwa seÂcara eksplisit Islam bukan sekedar agama personal yang tidak memiÂliki kepekaan pada aspek sosial. Bahkan, Islam menegaskan kepada umatnya untuk “memperhatikan†kepentingan sesama. Sebab agama Islam mengajarkan setiap mukmin untuk menghormati orang lain, seperti tamu, tetangga dan bahkan Rasul pun menuntut umat Islam untuk berdiri sebagai bentuk pengÂhormatan saat menjumpai jenazah diusung ke pemakaman -sekalipun jenazah itu bisa jadi orang Yahudi atau Nasrani.
Kepedulian Islam dalam memÂberikan perhatian kepada sesama, terlebih kepada fakir miskin itulah yang diamanatkan oleh zakat. SeÂbab, zakat -secara umum- dapat dimaknai sebagai upaya untuk menjaga kesenjangan sosial, menÂgentaskan kemiskinan, dan bisa dijadikan sebagai “solusi†untuk mengurangi pengangguran. Tak berlebihan, jika zakat kerapkali dihubungkan sebagai upaya memÂbangun kesejahteraan bagi kaum dhuafa atau fakir miskin.
Tujuan zakat adalah sebuah amanah agung untuk mengangÂkat kesejehteraan kaum fakir miskin. Itu pesan yang diamanatÂkan dalam Al-Qur’an sebagaimaÂna dijelaskan secara gamblang, “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang fakir, orang miskin, pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, unÂtuk memerdekakan budak, orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetaÂpan yang diwajibkan Allah, dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana†(QS At-Taubah: 9: 60).
Itulah pesan penting (amaÂnah) zakat sehingga zakat kerapÂkali disebut-sebut memiliki aspek sosial yang kental. Sebab, dalam implementasinya zakat tak seÂbatas pelaksanaan rukun Islam tetapi satu ibadah yang mempuÂnyai efek domino dalam kehiduÂpan masyarakat, terutama dalam mengangkat harkat dan martabat kaum miskin dari garis kemiskinan dan bisa jadi “solusi†kehidupan mereka agar menjadi lebih baik.
Membangun Ekonomi Kerakyatan
Dalam teks kitab suci Al- Qur`an, zakat secara tekstual meÂmang dianjurkan untuk dibagikan kepada delapan golongan yang berhak untuk menerimanya. Tetapi, dalam kajian kontempoÂrer, zakat telah mengalami reforÂmasi konseptual dalam area opÂerasional (pembagian zakat). Tak pelak, dana zakat kemudian tidak hanya dibagikan secara terbatas kepada delapan golongan-penerÂimaan zakat (mustahiq) yang diÂartikan secara sempit. Reformasi konseptual itulah yang kemudian memperluas cakupan “pembaÂgian zakat†lebih luas, meliputi segala hal yang bersifat produktif yang tidak hanya diperuntukkan bagi kaum dhuafa saja, tapi juga telah dikembangkan sebagai upaÂya pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi ummat.
Dengan konsep itu, dana zaÂkat yang terkumpul akan menÂjadi efektif sebab zakat tak hanya digunakan untuk hal-hal yang sifatnya charity atau dibagikan secara konsumtif. Tapi dana zaÂkat itu diupayakan semisal, menÂjadi modal usaha bagi kaum fakir miskin yang bersifat produktif. Juga, dana zakat dialokasikan unÂtuk memiliki daya manfaat yang lebih panjang bagi mustahiknya. Karena itu, dana zakat dikelola dalam bentuk yang kreatif dan inovatif yang kemudian diberikan dalam kerangka “pemberdayaan†(ekonomi) umat.
Melihat aspek manfaat jangka panjang dari dana zakat yang dikelola dalam bentuk-bentuk usaha produktif, tidak dapat diÂmungkiri aplikasi zakat itu akan mampu meningkatkan pertumbuÂhan ekonomi dan sosial masyaraÂkat. Secara luas, dana zakat itu mengangkat harkat dan martabat kaum miskin (masyarakat kecil) sebab memiliki misi untuk meninÂgkatkan pendapatan dan pemaÂsukan mereka. Pada akhirnya, upaya itu tidak hanya berdampak pada peningkatan produksi dan investasi, melainkan juga pada pengurangan pengangguran kareÂna ada permintaan tenaga kerja. Ini, mengurangi pengangguran dan kemiskinan. (*)