VERONICA Tan lahir di Medan. Ia putri sulung dari tiga bersaudara. Kedua orangtuanya keÂturunan Tionghoa. Tradisi leluhur yang feodal tidak dijalankan lagi dalam keluarganya yang modern. Namun, neneknya dari pihak ayah sempat mengalami tradisi mengikat kaki yang dipÂraktikkan terhadap anak-anak perempuan suku Han di Tiongkok masa lalu. Kecantikan dan poÂsisi perempuan waktu itu dinilai dari kaki-kaki mereka yang kecil. Ia beruntung tidak mengalami nasib seperti itu.
Oleh : Apriyadi Hidayat
[email protected]
Ayahnya sosok yang penyabar, sementara ibunya biasa memberi hukuman kepada anak-anak di saat nilai pelajaran sekolah kurang memuaskan. “Mama ingin anak-anaknya sekolah tinggi. Anak perempuan minimal harus punya karier,“ tuturnya.

Setelah menamatkan SD dan SMP di Medan, Veronica Tan pergi ke Jakarta untuk melanjutkan belajar di SMA. Ia tinggal di rumah tantenya. Sikap ibunya yang mementingÂkan pendidikan ternyata berbeda dengan pendirian tanÂtenya yang menganggap perempuan tidak perlu bersekoÂlah tinggi. Sikap itu memengaruhi dirinya. Tanpa minat khusus, ia mengikuti ujian masuk di sejumlah perguruan tinggi. Ia diterima di jurusan arsiÂtektur Universitas Parahyangan, Bandung, tapi ibunya tidak setuju ia kuliah di situ. Ibunya khawatir Veronica terpengaruh pergaulan di Bandung.
Veronica lantas kuliah di juruÂsan arsitektur Universitas Pelita Harapan, Jakarta. Baru sebentar menjalani kuliah, ia sudah diÂlamar lelaki yang dikenalnya di gereja. Tanpa proses pacaran, ia menikahi pria yang saat ini menÂjabat Gubernur DKI Jakarta, BaÂsuki Tjahaja Purnama atau biasa disapa Ahok pada 6 September 1997, di usia 19 tahun.
“Dia (Ahok) lebih tua semÂbilan tahun dari saya, sehingga serius ingin berumah tangga,†ujar ibu, yang dikaruniai tiga buah hati dari pernikahan ini. Alhasil ia menamatkan kuliah saat anak kedua mereka sudah lahir.
Ia dan Ahok berasal dari latar keluarga yang berbeda. Ia menyebut dirinya “orang kotaâ€, sementara Ahok “orang kamÂpungâ€. Masing-masing kondisi sosial tersebut mengandÂung konsekuensi. Veronica menjalani masa kecilnya yang “terasing†dari penduduk setempat. “Tapi mereka juga asing terhadap kami. Ada gap. Mereka dan kami tidak bisa menyatu,†katanya.
Urusan-urusan administrasi, seperti pembuatan kartu tanda penduduk, tidak mudah bagi orang-orang TiongÂhoa. Proses lebih rumit. Penyelesaian lebih panjang. Ia menyimpulkan, “Diskriminasi terasa sekali di kota.†SeÂmentara keluarga Ahok yang tinggal di kampung dapat bergaul dengan siapa saja, termasuk dengan orang-orang dari etnis berbeda. “Sedangkan saya tinggal di kota dan hidup dalam sekat-sekat.†Ia membandingkan.
Ahok mempunyai pabrik kuarsa di kampungnya di PuÂlau Belitung, tapi berkantor di Jakarta. Veronica Tan pergi ke kampung Ahok tak lama sesuÂdah mereka menikah, “Dari bandara ke kampung itu berÂjarak 1,5 jam, tanpa macet.†Di sana ia kaget menyaksikan kemiskinan penduduk. Lampu listrik hanya menyala di rumah orang-orang berada. Jaringan telepon tidak ada. Meskipun Pulau Belitung kaya dengan tiÂmah, tapi pusat ekonomi serta bisnis berada di Pulau Bangka yang lebih luas dan saat itu merupakan pulau penghasil tiÂmah terbesar di dunia. PerekoÂnomian masyarakat bertambah buruk ketika perusahaan timah mengalami kerugian total pada 1990-an, seiring anjloknya harga timah di pasar internasional.
Ia tidak menduga suaminya bakal terjun ke politik, dari menÂjadi anggota dewan perwakilan rakyat daerah hingga gubernur Jakarta sekarang ini. Tapi bila mengenang masa lalu Ahok, ia mengerti bagaimana ambisi itu terbentuk. Ahok telah mengalami tindak keÂcurangan pejabat atau penyelewengan hukum sejak ia maÂsih pengusaha, terutama terkait prosedur perizinan. VeÂronica teringat kata-kata suaminya dulu, “Orang miskin jangan lawan orang kaya. Orang kaya jangan lawan peÂjabat. Kalau mau lawan pejabat ya harus jadi pejabat.†Peluang itu terbuka, karena politik Indonesia telah berubah. Reformasi memberi kesemÂpatan kepada orang-orang Tionghoa untuk berkiprah dalam politik, yang tidak terjadi di masa presiden Suharto.
Ketika Ahok menjabat bupati Belitung Timur, Veronica cemas tentang apa yang haÂr Âus dilakukannya untuk mendukung sang suaÂmi. Ia tidak mengerti seluk-beluk politik, tapi Ahok juga tidak menjelaskan apa pun, “Karena dia tahu ini sebetulnya bukan dunia saya.†Kecemasan tersebut tidak berlangÂsung lama. Pengalaman aktif di gereja memÂbuatnya mengerti cara berhadapan dan berkomunikasi dengan bermacam orang.
Ia juga mendukung tindakan tegas GuÂbernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja PurnaÂma atau Ahok untuk mengakhiri korupsi dalam pemerintahan, termasuk memperkarakan AngÂgaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang membuatnya harus bersitegang dengan pihak tertentu. Namun, Veronica Tan tidak selalu sepakat dengan suaminya.
“Kalau berbicara, dia memang agak kasar. Dari dulu gayanya memang blak-blakan. Saya bilang sama dia, di saat tertentu kita harus wise. Kita tulus seperti merpati, tapi cerdik seperti ular. Dia ketawa. Saya juga mengutip amsal, ‘Jawaban yang lemah-lembut mereÂdam kegeraman, tetapi perkataan yang teÂgas membangkitkan marah.’ Dia mengiyakan. Tapi kemudian begitu lagi. Sudah karakter dia seperti itu.†Tawanya berderai.
(DEW)