JAKARTA, Today – PT Bank CIMB Niaga Tbk mengaku laba bersih sampai semester pertaÂma 2015 ini diperkirakan menuÂrun salah satunya disebabkan karena adanya biaya provisi. BiÂaya provisi tersebut berasal dari biaya yang sengaja dicadangkan untuk kredit bermasalah teruÂtama untuk sektor batubara dan sektor yang terkait dengan batubara.
Seperti diketahui, sejak 2014, beberapa harga komoditas dunÂia mengalami penurunan, salah satu yang paling tajam adalah komoditas pertambangan baÂtubara.
Direktur Strategy & Finance CIMB Niaga, Wan Razly AbdulÂlah memperkirakan kondisi ini tidak akan terjadi sampai akhir tahun. Hal ini disebabÂkan karena pada semester dua, perseroan optimis bahwa akan dalam fondasi yang lebih kuat untuk tumbuh sampai akhir taÂhun. “Sampai akhir tahun, tarÂget laba bersih CIMB Niaga akan berkisar pada level seperti pada tahun sebelumnya,†ujar Wan Razly dalam keterangan tertuÂlisnya, Minggu, (12/7/2018).
Selain itu, untuk pertumÂbuhan kredit, sampai akhir tahun perseroan menargetkan akan menjaga berada di bawah kisaran level industri. SedangÂkan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga atau DPK, Wan mengÂharapkan berada di atas perÂtumbuhan kredit. Sampai akhir semester kedua, perseroan mengaku akan fokus ke perÂtumbuhan porsi dana murah atau CASA untuk meringankan beban bunga.
Berdasarkan laporan keuanÂgan bulan perseroan terakhir, per Mei 2015, terlihat bahwa laba bersih CIMB Niaga menÂgalami penurunan 91,68% menjadi Rp 139 miliar. Padahal tercatat pendapatan bunga berÂsih perseroan masih mengalami kenaikan tipis 5,77% menjadi Rp 4,45 triliun. Penyebab laba berÂsih mengalami penurunan per Mei 2015 adalah karena pendaÂpatan operasional selain bunga yang mengalami penurunan 22,96% menjadi Rp 1,3 triliun.
Menurut Wan Razly, penÂdataan operasional selain bunga yang tidak maksimal diakibatkan karena turunÂnya fee based income sebaÂgai imbas dari melambatnya aktivitas pasar treasury dan pemberlakuan peraturan baru mengenai bancassurÂance pada Maret 2014.
Laba bersih sampai Mei 2015 menurun juga disebabkan kaÂrena pendapatan beban opeÂrasional selain bunga perseroan mengalami kenaikan 14,36% menjadi Rp 4,2 triliun. MenuÂrut Wan, kenaikan beban opeÂrasional selain bunga tersebut adalah mayoritas disebabkan karena biaya provisi. Namun, Wan tidak mau merinci berapa persen kontribusi biaya provisi terhadap kenaikan beban opeÂrasional.
Jika dilihat dari jumlah kredit yang disalurkan samÂpai Mei 2015, terlihat masih mengalami kenaikan sebeÂsar 9,43% menjadi Rp 162,5 triliun. Sedangkan DPK menÂgalami kenaikan 14,04% menÂjadi Rp 179,3 triliun. Porsi DPK masih didominasi deposito yaitu sebesar 55,48% setelah itu CASA menempati posisi kedua yaitu 44,52%.
Menurut Wan, di Mei 2015, posisi LDR perseroan menÂgalami posisi overlikuid. Wan menjelaskan walaupun jumlah kredit yang disalurkan mengalaÂmi kenaikan secara yoy, namun masih di bawah pertumbuhan DPK. Hal ini menurut Wan disÂebabkan karena perlambatan ekonomi yang terjadi pada lima bulan pertama 2015 ini.
Ke depannya, Wan berÂharap, bahwa beberapa kebijaÂkan pemerintah seperti aturan Loan to Value LTV dan Loan to Funding Ratio LFR, akan membantu memberikan kataÂlis pertumbuhan perseroan ke depan. Apalagi menurut Wan, kebijakan LFR yang baru diterÂbitkan awal bulan ini, diperkiraÂkan akan memberikan ruang yang lebih besar kepada bank untuk menyalurkan pinjaman. “Namun hal ini juga bergantung pada kondisi pasar yang harus mendukung,†ujar Wan.
(Adilla Prasetyo Wibowo)