JAKARTA, Today – Kisruh PSSI dan Menpora mulai berimbas terhadap mimpi anak-anak yang memiliki keinginan tinggi untuk menjadi peÂmaian sepak bola professional.
Ketua Umum Asosiasi Kota (Askot) PSSI Kota Bandung, Yana Mulyana menilai kisruh antara PSSI pusat dengan Menpora dikhawatirkan menghapus mimpi anak-anak yang bercita-cita ingin menjadi pemain profesional.
Menurut Yana, anak-anak kini suÂdah semakin paham bahwa perkemÂbangan sepak bola profesional kian menanjak ke arah industri.
Sehingga, sambung dia, menjadi pesepak bola cukup menggiurkan sebagai salah satu masa depan yang menjanjikan bagi para pemain muda.
“Sekarang banyak yang masuk sekolah bola, karena bayangan dia ada sesuatu yang menjanjikan dan udah jadi profesi dan bisa jadi indusÂtri, dan kita punya kerugian anak-anak kita gak ada peluang untuk hidup,†kata Yana.
Kekhawatiran Yana pun ikut merÂambah pada tingkat kepercayaan orang tua dalam menitipkan anaknya ke Sekolah Sepak Bola (SSB).
Karena menurutnya isu yang berkembang di masyarakat perihal pembekuan PSSI pusat dianggap mengakar hingga ke tingkat daerah.
Meskipun pembekuan hanya di tingkat pusat, namun Yana mengungÂkapkan dampaknya tetap saja terasa hinga ke Askot PSSI Kota Bandung, dia mengibaratkan kini organisasinÂya seperti ‘anak ayam kehilangan inÂduknya’.
“Masyarakat persepsinya PSSI dibekukan semua karena kita strukÂtural. Kalau di sana (pusat) mati sebetulnya kita kehilangan induk, karena kita ga nginduk ke dinas, karena SK dari tingkat atas (pusat),” ungkapnya.
Perselisihan PSSI dengan MenÂpora hingga memancing jatuhnya sanksi FIFA dan membuat kompetisi vakum, juga dirasakan Yana menjadi semacam ‘musibah’ bagi organisasi sepak bola di tingkat daerah, yang memiliki visi untuk terus mencetak pemain berkualitas.
Yana memaparkan, setiap tahunÂnya Askot PSSI Kota Bandung terus menggulirkan pembinaan dan mereÂgenerasi pemain.
Apabila ternyata kompetisi di tingkat profesional masih saja vaÂkum, dia kebingungan menyalurkan pemain binaannya, sehingga para pemain terancam ‘menganggur’ setelah beranjak dari kelompok usia remaja.
“Di tingkat Askot tetep pembiÂnaan berjalan, dan terus melakuÂkan regenerasi selama pembinaan. Kalau sudah lewat usia remaja mau dikemanakan, karena di tingkat proÂfesional sudah ga ada, sementara pemain usia dini lainnya juga sudah bermunculan, dalam jangka panjang pemain terutama dirugikan,” beberÂnya.
Diluar kekhawatiran sepinya SSB dan menurutnya semangat anak-anak, lebih jauh lagi Yana melihat dampak kerugian dari vakumnya sepak bola Indonesia sudah menjalar jauh ke sektor ekonomi, yang meliÂbatkan banyak sekali masyarakat di dalamnya.
Selain itu, lanjut Yana, ditinjau dari sudut pandang hiburan pun kini masyarakat harus rela kehilanÂgan salah satu hiburan paling popÂuler di Indonesia. Karena menurutÂnya sertiap pelosok daerah tentu memiliki klub idolanya masing-maÂsing.
“Kita lihat ada kerugian masyaraÂkat tidak dapat hiburan sepak bola yg dijalankan, karena di Indonesia suka dan tidak suka ini jadi olahraga popÂuler, relatif murah meriah,” pungkasÂnya.
(Imam/net)