BOGOR, Today – Sebagai simbol dan kebanggaan suatu daerah(baca: kota), keberadaan patung dan monumen di Kota Bogor seringkali dipandang sebelah mata, bahkan dilupakan. Patung NarÂÂkoba yang berdiri di simpang empat Kedung Halang jadi bukti nyata, betapa patung itu kini sudah tak memiliki nilai. Bahkan, patung atau monumen yang seharusnya menjadi alat komunikasi ini tak bernilai seni (estetika). Bukan maksud menghakimi sang pembuat patung. Tapi, spirit yang coba ditampilkan melalui simbol seorang anak laki-laki dengan pelbagai asesoris yang menunjukkan perlawanan terhaÂÂdap segala macam bentuk narkoba tak ada. Sebagai simbol komuÂÂnikatif, Patung Narkoba sedikit berhasil. Akan tetapi keberadaannya terlupakan. Patung dan monumen yang berdiri di sebuah daerah merupakan simbol-simbol visual dengan fungsi sebagai sarana eduÂÂkasi, peringatan sejarah perjuangan, estetika, bahkan kerap menjadi ikon kota.
Karena patung itu berada di ruang publik, maka alangkah biÂÂjaknya pemerintah setempat menganggarkan dana untuk perawatan atau renovasi. Tapi sayang, hal ini tidak dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor bahkan Kabupaten Bogor, yang konon katanya pengerÂÂjaan Patung Narkoba tersebut dilakukan oleh Pemkab Bogor melalui Syafrudin Zaenal yang saat ini menjabat Camat Babakan Madang. Tak adanya anggaran perawatan atau perbaikan menyiratkan ketidaÂÂkpedulian dari Pemkot dan Pemkab Bogor akan karya seni. Patung atau monumen saja tak diperhatikan, lantas bagaimana nasib para seniman patung (baca: perupa) di Kota Hujan ini? Sementara, jumlah perupa di Bogor terbilang cukup untuk menyulap Patung Narkoba menjadi satu ikon kota yang bisa dibanggakan. Tidak seperti sekaÂÂrang.
Sebenarnya, masyarakat juga bisa memiliki dimensi apresiasi andaisejumlah karya seni di ruang publik dipelihara dengan baik. Pada akhirnya, kesempatan untuk berapresiasi tersebut akan memengaruhi perkembangan sebuah masyarakat. Ironisnya, perÂÂhatian pemerintah terhadap keberadaan benda seni di ruang publikKota Bogor sangat minim. Padahal, banyak keuntungan yang seÂÂbenarnya dapat diperoleh pemerintah dengan keberadaannya. Bendaseni juga bisa menjadi aset kultural sebuah wilayah. Aset tersebut memiliki potensi yang dapat memberi nilai tambah bagi asÂÂpek pariwisata andai Pemkot Bogor memberi perhatian. Lagi-lagi, hal ini kurang diperhatikan. Pemkot Bogor lebih memilih membangun mall dan mengalihfungsikan bangunan-bangunan tua untuk disulap menjadi Factory Outlet (FO). Tak seperti di kota-kota besar lain, maÂÂcam Solo, Bandung, Yogya, dan Semarang. Di kota-kota ini, patung dan monumen pantas dijadikan ikon atau kebanggaan kota tersebut. Selain sebagai simbol kota, patung-patung tersebut juga bisa dijadiÂÂkan sebagai obyek wisata yang tak kalah pentingnya dengan obyek wisata lain.

Di zaman sekarang di mana seni kontemporer mulai berkembang pesat, patung bisa menjadi semacam ‘seni pertunjukan’. Misalnya di beÂÂberapa tempat seperti di Kota Solo dan Yogya sering menggelar event-event kesenian di area patung itu sendiri. Sementara itu, di sejumlah negara sering juga mengadakan pameran patung kinetik, istilah patung kinetik dipakai untuk patung yang dirancang untuk bisa bergerak. BeÂÂberapa seniman yang membuat karya patung kinetik adalah Marcel Duchamp, Alexander Calder, George Rickey dan Andy Warhol. PerÂÂtanyaannya, mungkinkah Patung Narkoba diubah atau direnovasi menjadi patung yang lebih layak dijadikan ikon Kota Bogor? Kalau mungkin, lantas siapkah Pemkot Bogor memberikan anggaran danÂÂanya untuk perbaikan patung tersebut, barangkali tak hanya Patung Narkoba, tapi patung dan monumen yang ada di Bogor? Jika benar ada anggaran dananya, lantas siapakah yang pantas diberi tugas membuat patung yang nantinya akan menjadi kebanggaan warga BoÂÂgor? Seniman patung atau orang-orang yang mengambil keuntungan dari proyek tersebut.
(Dony P. Herwanto/Ruang8)