JAKARTA, TODAY — Mata uang di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur yang jatuh palÂing parah akibat ketidakpastian moneter yang diciptakan Amerika Serikat, ternyata Ringgit Malaysia. Pelemahan Ringgit terhadap dolar AS USD), turun -16,79 %, kembali ke titik terenÂdahnya sejak 17 tahun lalu saat krisis keuangan Asia 1998.
Ringgit Malaysia masih terancam di tengah kekhawatiran yang berkelanjutan mengenai kondisi politik terkait Perdana Menteri Najib Razak dalam kasus di 1Malaysia Development Berhad (1MDB).
Rupiah menempati posisi kedua pelemahan nilai mata uang terhadap USD sebesar 11,76 %. Mata uang Baht Thailand turun ke posisi terendah dari 6,5 tahun lalu melemah 8,23 %. Pemelahan terendah yaitu Dolar Taiwan melemah hanya 1,8%.
“Kekhawatiran tentang ekonomi China memegang pengaruh berat ke sentimen emerging market (EM). Ini menunjukkan rebound apaÂpun akan sulit bertahan bahÂkan jangka pendek,†kata analis Barclays dikutip dari ReÂuters (30/8/2015).
Pasar saham China jatuh 20% sepekan terakhir. PerlamÂbatan yang dialami negara denÂgan ekonomi terbesar kedua dunia ini memicu ‘goyang’nya pasar keuangan global.
Kekalahan pasar dan pesiÂmisme akan kondisi ekonomi China membuat para pebaÂjat Federal Reserve termasuk Presiden Kansas City Fed Bank, Esther George menyatakan haÂti-hati untuk The Fed menaikÂkan suku bunga. Investor terus mengawasi mengenai rencana kebijakan normalisasi The Fed.
“Mata uang Asia harus menemukan beberapa stabiliÂtas, terutama dengan China yang terus mencengkeram Yuan,†sambung analis BarÂclays dalam catatannya.
Bank Sentral Thailand merespon kondisi pelemahan nilai mata uang Baht dengan rencana menambah alokasi dana mencapai USD 100 juta, naik USD 5 juta per tahun unÂtuk langsung berinvestasi di bursa efek luar negeri.
Bank Indonesia merespoÂna dengan langkah langsung menjual dolar pada Kamis (27/8/2015). Peso Filipina meÂlemah 4,36 %. Dolar SingapuÂra, mata uang negara dengan ekonomi negara paling maju di Asia Tenggara pun melemah 5,40%.
(Alfian Mujani|net)