Guru besar Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Hikmahanto Juwana menegaskan, Indonesia dapat mengajukan permohonan penundaan jika merasa belum siap menerapkan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhirDesember 2015.
Guru besar hukum internasiÂonal UI itu berbicara dalam semÂinar di FH Universitas Sriwijaya Palembang, akhir pekan lalu, bahwa penundaan MEA tidak akan membuat Indonesia terkeÂna sanksi internasional meski suÂdah sepakat bersama sembilan negara lainnya sejak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-2 tahun 1997.
“Terjadi perubahan mendasar dalam negeri setelah penetapan tahun 1997. Negara menghadapi beberapa krisis. Meski berhasil melewatinya tapi terjadi perubaÂhan yang signifikan, sehingga suatu yang diperbolehkan jika Indonesia meminta menunda,†tutur Hikmahanto.
Dia mengemukakan, IndoneÂsia memiliki alasan yang kuat jika ingin menunda karena pada saat diputuskan dalam kondisi sangat percaya diri dengan kondisi perÂekonomian dalam dua dekade.
“Bahkan, ketika dimajukan dari 2020 menjadi 2015, sama sekali tidak mengoyahkan keperÂcayaan diri Indonesia. Padahal setelah berlalu, situasinya sangat berbeda,†kata dia.
Hikmahanto menjelaskan, terdapat beberapa indikator dan parameter yang bisa dijadikan landasan untuk menilai kesiapan menghadapi MEA, di antaranya, kedalaman informasi terkait MEA di masyarakat, kesiapan pelaku usaha bersaing dengan pengusaÂha luar negeri, penetrasi produk di pasar ASEAN, implementasi kebijakan di tingkat pusat hingga ke daerah, dan adanya jaminan tidak ada uji materi di Mahkamah Konstitusi.
“Berdasarkan indikator ini, sebenarnya Indonesia belum siap. Saya sebagai akademisi harus mengatakan yang seÂbenarnya, dan menganjurkan ke pemerintah untuk menunda saja, dengan catatan selama masa lima tahun ini fokus untuk menyiapkan diri,†ujarnya.
Dia pun menilai kondisi ini sudah disadari pemerintahan Jokowi-JK sehingga saat ini beÂrada di antara dua pilihan sulit yakni memilih berkomitmen dengan terseok-seok menghaÂdapi MEA atau menunda hingga 2020.
“Ini bukan lagi masalah soliÂdaritas sebagai anggota ASEAN, tapi urusan kepentingan nasionÂal. Jika, merasa dirugikan, lantas mengapa Indonesia harus meÂmaksakan diri,†ujar dia.
Menurut dia, pemerintah harus mempertimbangkan bahwa saat MEA diberlakukan maka pasar ASEAN menjadi pasar tunggal, sementara dari 660 juta penduduk di kawasan tersebut diketahui bahwa sepaÂruhnya adalah penduduk IndoÂnesia.
“Jadi negara lain seperti Amerika Serikat, India, dan China, melihat MEA ini bukan pasar ASEAN tapi pasarnya Indonesia. Lantas pertanyaanÂnya, sudah siapkan pemerinÂtah mengendalikan pasar ini ?†kata dia.
Seperti diberitakan, MEA akan resmi diberlakukan mulai 1 Januari 2016 dengan ditandai pembebasan bea masuk baÂrang dan jasa ke setiap negara ASEAN atau hanya maksimal 5 persen. (OKZ)