Oleh: IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI
Fungsi-fungsi yang diÂemban DPR dalam ketÂatanegaraan kita pun bukan main pentingÂnya: pertama, fungsi legislasi atau pembuatan undang-undang; kedua, fungsi pengaÂwasan dengan hak yang cukup banyak, yaitu hak bertanya, hak angket, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat; dan keÂtiga, hak budget (ikut serta meÂnyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).
Sejak DPR pertama era ReforÂmasi terbentuk pada 1999, DPR dapat dikatakan menggantikan eksekutif dalam hal kekuasaan membuat undang-undang, terÂmasuk-tetapi tidak terbatas pada-kekuasaan menjalankan fungsi penÂgawasan dan budgeting. Tak heran apabila era Reformasi ini sering disebut dengan eranya kekuasaan DPR atau disebut juga beralihnya kekuasaan dari yang dulu berat ke eksekutif (executive heavy) ke berat ke legislatif (legislative heavy).
Sejak reformasi atau deÂmokratisasi bergulir pada Mei 1998, kita telah mengalami tiga periode DPR, yakni DPR periode 1999-2004, 2004-2009, dan 2009-2014. Kini kita sedang mengalami DPR periode 2014-2019 yang suÂdah berjalan selama setahun. Dalam setahun ini berbagai keÂjadian politik telah terjadi di DPR.
Artikel yang judulnya meminÂjam gaya judul sinetron “Tetangga Masa Gitu?†yang ditayangkan seÂbuah stasiun televisi swasta ini inÂgin memberikan catatan kritis atas setahun kinerja DPR 2014-2019.
Kaya Intrik, Miskin Karya
Setahun DPR hasil Pemilu LegÂislatif 2014 banyak diwarnai intrik-intrik politik internal ketimbang menghasilkan suatu karya yang monumental membangun masa depan politik yang lebih baik bagi bangsa dan negara Indonesia. Hiruk-pikuk politik bahkan sudah dimulai setelah pemilu legislatif dan sebelum Pemilu Presiden-Wakil Presiden 2014. Fungsi legisÂlatif yang dimiliki DPR bukan diguÂnakan untuk memperbaiki sistem politik Indonesia ke depan ke arah yang lebih baik, malah digunakan oleh kelompok mayoritas di parÂlemen untuk membuat undang-undang demi kepentingan politik mereka.
Contoh paling kasatmata ialah saat DPR periode 2009-2014 mengÂhasilkan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang penuh rekayasa politik untuk keuntungan koalisi partai pendukung Prabowo-Hatta RadÂjasa. Contoh kedua, ketika DPR 2009-2014 juga menghasilkan UU Pilkada yang mengubah tata cara pemilihan kepala daerah dari langsung oleh rakyat menjadi tak langsung melalui DPRD provinsi untuk memilih gubernur dan DPRD kabupaten/kota untuk meÂmilih bupati/wali kota.
Konflik internal di DPR terus berlanjut pada DPR hasil Pemilu Legislatif 2014. Empat bulan perÂtama diwarnai oleh intrik-intrik politik di kubu masing-masing unÂtuk memilih ketua dan para wakil ketua DPR, para ketua dan wakil ketua komisi dan alat-alat kelengÂkapan Dewan lainnya periode 2014-2019. Agar kelompok wakil rakyat pendukung Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla mendapatkan porsi yang sangat kecil di komisi-komisi, mau tidak mau DPR harus mengubah UU MD3 yang hanya diselesaikan tidak lebih dari seÂhari masa sidang. Demi mengubah Peraturan Presiden Pengganti UnÂdang-Undang mengenai Pilkada menjadi UU, DPR pun bersidang tidak lebih dari lima jam!
Pemerintah dan DPR pada 6 Februari 2015 sudah menyetujui bahwa ada 160 RUU yang harus disusun DPR periode 2014-2019. Pada masa sidang selama 2015, ada 37 RUU yang menjadi prioriÂtas dalam Program Legislasi NasiÂonal (Prolegnas). Dari jumlah itu, ada 22 RUU yang sedang disusun dan 3 RUU telah selesai disusun. Kini, sudah bulan Oktober 2015, hampir-hampir mustahil 37 RUU itu akan selesai diproses menjadi UU pada 2015.
Memutar Jarum Jam
Jika kita mengkaji kinerja DPR periode 2014-2019 selama setahun ini, ada beberapa kata kunci yang bisa digunakan untuk menggamÂbarkan DPR, yakni penuh dengan kegaduhan politik internal, lebih memfokuskan pada kepentingan politik kelompoknya, miskin rasa kebangsaan, ingin mengembaÂlikan Indonesia ke era politik yang penuh dengan dominasi kekuatan politik mayoritas atas minoritas, dan ingin mengembalikan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) membahana kembali di negeri ini.
Kegaduhan politik bukan saja dilakukan anggota parlemen di DPR semata, melainkan juga merasuk ke kabinet pemerintahan Jokowi-Kalla. Lihat saja komentar-komentar anggota DPR dari fraksi terbesar, PDI-P, dalam mengkriÂtisi pemerintahan Jokowi-Kalla, baik dalam kasus gagalnya Budi Gunawan dilantik sebagai Kepala Polri yang berbuntut pada hiruk-pikuk politik antara DPR dan PresÂiden soal KPK serta hiruk-pikuk kriminalisasi beberapa komisioner KPK. Soal perombakan kabinet juga diramaikan oleh para anggota Dewan yang berasal dari PDI-P. Orang jadi bertanya, PDI-P itu parÂtai pemerintah atau partai oposisi?
“Pembunuhan†KPK
Kini, 45 anggota DPR dari enam fraksi, yaitu PDI-P, Partai Golkar, PKB, Partai Nasdem, PPP, dan Hanura mengajukan revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Satu hal yang menarik, UU KPK lahir pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, tetapi kini mengaÂpa justru PDI-P yang menjadi moÂtor pelemahan atau bahkan pemÂbunuhan KPK? Apakah ini terkait dengan isu ketakutan PDI-P bahwa Megawati akan terkena kasus BanÂtuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada eranya dulu?
Lebih menarik lagi, dua partai yang pada lima tahun lalu angÂgotanya banyak tersangkut kasus korupsi, yaitu PKS dan Partai DeÂmokrat, justru menentang revisi UU KPK. Padahal, di masa lalu ada anggota DPR dari PKS yang getol banget ingin membubarkan KPK. Gerindra, yang kini berposisi berbeda dengan PDI-P, tentunya memilih untuk menolak revisi UU KPK. Apalagi salah satu wakil ketua Gerindra, Fadli Zon, baru saja terÂpilih menjadi Ketua Gerakan AnÂtikorupsi Parlemen Antarnegara.
Satu sisi yang amat absurd, Masinton Pasaribu-anggota DPR dari Fraksi PDI-P-secara menggeÂbu-gebu mengatakan bahwa pemÂbentukan KPK yang lahir atas dasar Tap MPR RI/VIII/2001 itu adalah produk situasi politik tranÂsisi dan kini MPR bukan lagi lemÂbaga tertinggi negara! Atas dasar itu pula Masinton dan para penduÂkung pembunuhan KPK membataÂsi usia KPK hanya pada 25 tahun. Karena KPK saat ini sudah 13 taÂhun, sisa usia KPK adalah 12 tahun seperti yang dicanangkan RUU Revisi KPK itu. Sebelum dibunuh, KPK mulai dipreteli otoritasnya yang hanya menangani korupsi di atas Rp 50 miliar, tidak boleh melakukan penuntutan, dan jika telah melakukan penyelidikan dan penyidikan atas kasus korupsi di bawah Rp 50 miliar, kasusnya haÂrus diserahkan kepada Polri dan kejaksaan. KPK juga tidak boleh melakukan penyadapan tanpa ada bukti awal yang cukup dan harus melalui persetujuan hakim pengaÂdilan negeri.
Sampai detik ini antara DPR dan pemerintah (Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly) masih saling mengelak bahwa bukan lembaga mereka yang memperÂsiapkan revisi RUU KPK. Jika benar Kementerian Hukum dan HAM yang mempersiapkan draf revisi tersebut, memang benar ada kepentingan politik PDI-P untuk melemahkan dan bahkan membunuh KPK. Ini yang justru menambah misteri soal revisi UU KPK ini, mengapa pemerintah yang didukung PDI-P dulu melahirÂkan UU KPK, dan kini ketika PDI-P berkuasa kembali justru ingin meÂmatikan KPK.
Kita berharap Presiden Jokowi masih mendahulukan akal sehat dan menolak untuk membuat surat presiden yang memberikan jalan bagi DPR dan pemerintah membahas revisi UU KPK. Posisi presiden ini penting bukan saja demi masa depan politiknya dan citranya di mata rakyat, melainÂkan juga demi masa depan penÂegakan hukum atas kasus-kasus korupsi di Indonesia. Hanya negaÂrawan yang memiliki rasa kebangÂsaan yang tinggi yang tetap ingin mempertahankan KPK.
Sudah sedemikian rendahkah rasa kebangsaan para anggota DPR kita? DPR seharusnya memÂperjuangkan kepentingan bangsa dan negara yang jauh lebih luas, bukan memperjuangkan kepentÂingan kelompoknya yang sempit! DPR, masa gitu? Jika tetap begitu, lebih baik kita tidak memilih lagi para anggota DPR dan partai-parÂtai yang ingin membunuh KPK, pada pemilu serentak 2019! (*)