Oleh: J KRISTIADI
Peneliti Senior CSIS
Berbagai cara telah merÂeka lakukan, antara lain dengan mencoba menghilangkan sifat lex specialis dalam meÂnyusun RUU KUHP dan merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Alasan pokoknya, UU itu menjadikan KPK lembaga super yang nyaris tidak dapat dikontrol karena itu perlu direvisi agar tidak ditunggangi ambisi dan kepentingan politik.
Upaya mutakhir adalah munÂculnya draf revisi UU KPK yang oleh beberapa pihak isinya dinilai mengejutkan. Anggota Fraksi ParÂtai Kebangkitan Bangsa mengaku belum membaca naskahnya, tetaÂpi terpaksa menandatangani usuÂlan revisi UU KPK karena terdesak waktu. Dalam proses semacam itu, tidak terlalu salah jika publik merasa penyusunan naskah RUU itu dilakukan secara sembaranÂgan, mendadak, dan grusa-grusu. Akibatnya, tidak heran jika munÂcul dugaan revisi itu sarat kepentÂingan politik.
Ketentuan di draf reÂvisi UU KPK yang dikhawatirkan mengakibatkan komisi anti rasuah itu gugur, antara lain, adalah batas eksistensi KPK 12 tahun, penghaÂpusan kewenangan penuntutan, pembatasan penanganan perkara kerugian negara harus di atas Rp 50 miliar, kewenangan penyadaÂpan, penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), serta tiadanya kewenangan merÂekrut penyelidik dan penyidik inÂdependen.
Upaya merevisi UU No 30/2002 sendiri bukanlah perbuatan haÂram. Namun, di tengah ganasnya tirani korupsi yang mengancam eksistensi bangsa dan negara, sentimen publik sangat peka terÂhadap gagasan regulasi yang diÂanggap dapat melumpuhkan KPK. Oleh sebab itu, sekiranya revisi UU KPK diperlukan, misalnya agar kontrol terhadap komisi itu diperÂketat, niat politiknya harus untuk penguatan KPK. Sebab, publik masih sangat percaya kepada KPK karena lembaga itu dinilai berhaÂsil memenjarakan elite politik dan parpol yang menyalahgunakan kekuasaan. Kepercayaan publik terhadap KPK jauh lebih besar dibandingkan kepada lembaga penegak hukum lain, seperti keÂjaksaan dan kepolisian.
Pada awal reformasi, sentimen publik sejalan dengan niat politik para pengambil keputusan. Maka, sasaran utama kebijakan pemÂberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah aparat penegak hukum. Hal itu secara terang benÂderang ditegaskan dalam Tap MPR VIII/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam Tap MPR itu antara lain dinyatakan â€arah kebijakan pemberantasan korupÂsi, kolusi, dan nepotisme adalah mempercepat proses hukum terÂhadap aparatur pemerintah teruÂtama aparat penegak hukum dan penyelenggara negara yang diÂduga melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dapat dilakukan tindakan administratif untuk memperlancar proses huÂkumâ€.
Kisah lakon gugurnya KPK apabila tidak dilakukan pencegaÂhan dikhawatirkan akan berlanjut ke kematian lembaga anti rasuah tersebut. Jika nalar sudah memÂbal, akal budi sudah dicengkeram nafsu angkara murka, maksiat baÂtin telah menggantikan suara hati, kearifan lokal menawarkan ritual ruwatan untuk mencegah terÂjadinya aib yang menyengsarakan banyak orang. Inti spirit upacara itu adalah membersihkan batin dari segala dosa untuk menangkal musibah.
Metafora itu dalam konteks kekinian adalah membangkitkan kekuatan dan partisipasi penuh rakyat dalam proses pengambilan keputusan. Nalar publik harus lebÂih perkasa dari rasionalitas elite yang sudah aus karena digerogoti nafsu serakah. Kekuatan publik harus bangkit agar demokrasi tiÂdak terjebak, yang dalam ungkaÂpan sinikal Lippman, dikutip oleh Noam Chomsky (2015), dalam buku How The World Works, rakyat yang semestinya berdaulat, praktiknya hanya sebagai kerumuÂnan manusia yang kebingungan (bewildered herd). Rakyat hanya penonton. Fungsinya, meratifikasi keputusan politik dan menyeleksi wakil rakyat melalui pemilu.
Kemungkinan lain, demokrasi terjebak dalam aliran ekstrem positivisme Thomas Hobbes (1558-1679) yang dikutip Otto Gusti Madung (2009) yang menyebutÂkan otoritas kekuasaan jadi satu-satunya sumber legitimasi hukum. Auctoritas, non veritas facit legem (otoritas, dan bukan kebenaran yang menciptakan hukum). ArtiÂnya, praktik demokrasi Indonesia mirip demokrasi kuno di Athena ribuan tahun lalu. Rakyat hanya dianggap sebagai kumpulan maÂnusia yang punya fungsi amat primer, yaitu berburu makanan dan memproduksi keturunan. Karena itu, yang paling cocok, pemerintah harus dipimpin oleh kombinasi antara filosof dan keÂsatria.
Momentum revisi UU No 30/2002 belum tepat. Mungkin agenda yang lebih mendesak adalah menjabarkan gagasan RUU Dana Parpol yang antara lain telah lama menjadi wacana kaÂlangan internal parpol. Bahkan, PDI-P telah membuka diri kepada masyarakat sipil untuk memberi masukan tentang isu tersebut. Agenda itu amat penting karena dapat menjadi titik awal mengonÂtrol dana parpol yang selama ini tidak pernah jelas asal-usulnya. Harapan lain, semoga Presiden tetap kukuh menolak rencana revisi tersebut sehingga lakon guÂgurnya KPK tidak terjadi. (*)