Untitled-15JAKARTA, TODAY — Direktorat Jenderal Bea Cukai berhasil me­nindak impor TPT ilegal senilai USD 1,28 juta atau se­tara Rp 14 miliar. Dengan kerugian negara yang ditim­bulkan adalah Rp 2,3 miliar.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro me­nyatakan, barang tersebut berasal dari China dengan tu­juan awal kawasan berikat di Purwa­karta. Saat barang sampai di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, ternyata tujuan barang berubah menjadi ke Gudang Marunda (Jakarta) dan Cikampek.

“Ini pelanggaran fasilitas. Karena barang ini diimpor dari China tujuannya kawasan berikat di Purwakarta, kenapa kawasan berikat? Karena dapat penang­guhan bea masuk. Tidak harus bayar, tapi sampai di Tanjung Priok , ternyata tidak diantarkan ke Purwakarta, ada ke Gudang Marunda, satu lagi ke Cikam­pek Palimanan, di situ ditangkap karena tidak sesuai tujuan awalnya,” ujar Bam­bang di Kantor Bea Cukai, Jakarta, Jumat (16/10/2015).

Menurut Bambang, importir secara sengaja akan langsung menjual barang ke ritel. Karena tidak dikenakan bea ma­suk dan pajak, tentu barang bisa dijual dengan harga lebih murah. Disebutkan selisih harga bisa mencapai 30%. “Jadi ada indikasi mereka langsung jual ke ritel di Indonesia ,” imbuhnya.

Bambang telah meminta pihak Ditjen Bea Cukai untuk terus mengejar barang-barang impor ilegal yang masuk ke dalam negeri. Agar dapat menghindari kerugian negara dari bea masuk dan pajak.

BACA JUGA :  Mahkota Binokasih dan Artefak Perjalanan Islam Dipamerkan di Perpustakaan Kota Bogor

“Kalau sekarang jadi merugikan neg­ara. Kedua merusak industri dalam neg­eri, karena barang seperti ini gampang dibuat di Indonesia. Ini akan merusak industri dalam negeri. Ini harus dicegah. Sudah ada tersangka,” tukasnya.

Masuknya barang impor ilegal, khu­sus tekstil dan produk tekstil, membuat industri dalam negeri harus merugi. ‘’Wajar saja, karena harga jual yang terpaut 30% membuat barang impor menguasai pasar dalam negeri,’’ kata Presiden Joko Widodo (Jokowi), saat menyaksikan penangkapan dan pen­gungkapan modus impor tekstil ilegal di lapangan parkir, Kantor Pusat Ditjen Bea Cukai, Jalan Ahmad Yani, Jakarta, Jumat (16/10/2015)

“Data yang saya terima dari API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia) karena barang ilegal ini turun sampai 30%. Ada yang sampaikan harga sampai terpaut 30%. Jelas orang nggak bayar pajak dan bea masuk, bagaimana?” tegas Jokowi.

Maka dari itu, Jokowi menginginkan impor ilegal dihentikan, karena industri akan terus sulit untuk bersaing. Apalagi dengan kondisi perekonomian negara yang di tengah perlambatan. “Ini yang sebabkan industri kita tidak bisa bersa­ing di pasar. Makanya saya minta henti­kan impor,” ujarnya.

BACA JUGA :  Ketua PWI Kabupaten Bogor Menyeru Siswa SMPN 1 Bojonggede: Bijak dalam Bermedsos

Jokowi optimistis, bila impor barang ilegal ini berhasil dihentikan, maka indus­tri dapat berkembang. Banyak dampak ekonomi yang akan dihasilkan, baik se­cara langsung maupung tidak langsung.

“ Industri berkembang karena yang dulu diisi barang ilegal diisi barang le­gal. Iya pasti. Contoh sprei, keluhannya betul-betul, karena harganya bedanya 30-40% ,” kata Jokowi.

Manipulasi Kawasan Berikat

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemen­keu) menyatakan, banyak modus yang dilakukan oknum pengusaha nakal meny­elundupkan tekstil ilegal ke dalam negeri.

Selain masuk lewat pelabuhan tikus yang tidak diawasi aparat DJBC, tekstil ilegal juga marak diselundupkan pen­gusaha nakal lewat pelabuhan-pelabu­han besar resmi. Modus yang banyak dipakai, adalah menyalahgunakan izin operasi kawasan gudang berikat.

Kawasan berikat merupakan fasili­tas yang diberikan pemerintah pada perusahaan-perusahaan tertentu, un­tuk mendapatkan penangguhan pem­bayaran pajak dan bea masuk pada ba­rang impor untuk keperluan produksi.

“Contohnya satu perusahaan ini. Mereka memasukkan tekstil dalam ship­ment 4 kontainer, dari pelabuhan Priok mereka arahkan truk ke kawasan berikat mereka di Purwakarta,” kata Dirjen Bea dan Cukai, Heru Pambudi, ditemui di kantor DJBC, Jalan Ahmad Yani, Jakarta, Jumat (16/10/2015).

(Alfian Mujani)

============================================================
============================================================
============================================================