KAPOLRI Jenderal Polisi Badrodin Haiti, bermanuver. Jenderal bintang empat itu menyebar Surat Edaran Kapolri terkait ujaran kebencian. Surat ini merepresi tindakan dari masyarakat, terutama di dunia maya (jejaring sosial dan media sosial). Apa saja larangannya?
YUSKA APITYA AJI ISWANTO
[email protected]
Jenderal Badrodin menegaskan, penerbitan SE Kapolri tersebut untuk mengajak masyarakat menyampaiÂkan pendapat dengan santun. “Siapa bilang (masyarakat jadi khawatir), justru saya balik bertanya apakah berekspresi dan menyampaikan pendapat itu harus denÂgan kata-kata kotor? Harusnya kan tidak, pakai kata-kata yang baik,†kata Kadiv HuÂmas Polri Irjen Anton Charliyan, Minggu (1/11/2015).
Anton menjelaskan, aturan soal ujaran kebencian itu justru untuk mengingatkan masyarakat agar menggunakan bahasa yang baik dan santun dalam berkomuÂnikasi. “Kita kan sedang revolusi mental dan membangun budaya, ya memulainÂya dengan bahasa yang baik, simbol buÂdaya yang baik, gunakan bahasa yang baik,†ujarnya. Saat ini, di dunia maya banyak terÂdapat meme-meme yang berisi bermaÂcam kalimat. Lalu, apakah pembuat meme itu juga bisa terkena aturan yang tertera di Surat Edaran Kapolri?
“Meme itu tergantung apakah akan menyulut kebencian atau ada merasa direndahkan martabatnya apakah itu terkait ras, suku, disabilitas, gender dan lainnnya,†paparnya “Tergantung orang itu mau mengadukan atau tidak, itu kan delik aduan. Tapi kalau provoÂkasi bisa timbulkan kebencian, tanpa aduan bisa kita kenakan,†imbuhnya.
Penebar kebencian melalui berbÂagai media, termasuk media sosial, bisa diancam pidana jika tidak mengindahÂkan teguran dari kepolisian. Surat edaÂran itu sudah dikirim ke Kepala Satuan Wilayah (Kasatwil) seluruh Indonesia.
Dalam surat edaran Kapolri, diseÂbutkan bahwa persoalan ujaran kebenÂcian semakin mendapatkan perhatian masyarakat baik nasional atau internaÂsional seiring meningkatnya kepeduÂlian terhadap perlindungan hak asasi manusia (HAM).
Terkait edaran ini, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meÂnolak sikap kepolisian. Terkait Surat Edaran Kepala Polri Tentang PenangaÂnan Ujaran Kebencian (Hate Speech), Komnas HAM protes. Alasannya, aturan ini bertentangan dengan prinsip berekspresi, kebebasan berpendapat, beropini, baik pikiran, maupun yang sudah diatur di dalam berbagai instruÂmen HAM. “Pemerintah tidak usah terÂlalu mengekang, ini adalah bagian dari pengekangan kebebasan berekspresi,†kata komisioner Komnas HAM, NataÂlius Pigai, Minggu (1/11/2015).
Natalius mengatakan, kalau pun ada hate speech di dunia sosial, sudah ada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). “Jadi khuÂsus dari Komnas, jangankan aturan Kapolri yang baru ini yang tentu kami tolak, UU ITE saja kami tolak karena itu mengekang kebebasan berekspresi,†ujar Natalius.
Natalius menegaskan, opini atau pendapat tidak bisa diadili. Ia juga menganggap pemerintah sangat naif. “Kita sudah berjuang berdarah-darah, 15-16 tahun yang lalu, mengantarkan Indonesia ke alam demokrasi seperti yang sekarang. Tetapi 16 tahun kemuÂdian (sekarang), pengekangan ini tiba-tiba muncul,†ucapnya.
Persoalan kebebasan ini, kata NataÂlius, Indonesia juga sudah meratifikasi aturan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Konvensi InÂternasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. “Maka soal ekspresi dan kebeÂbasan semacam ini harus dikembangÂkan, diberi tempat oleh negara,†kata dia. “Karena itu adalah konsekuensi dari negara modern,†sambung Natalius.
Menurut Natalius, di negara modÂern, siapa saja bisa berkomunikasi meÂlalui teknologi informasi (IT) termasuk media sosial. “Sepanjang tidak menyÂerang hal yang bersifat pribadi, itu norÂmal saja, untuk mendewasakan diri,†kata Natalius.
Ia juga mengatakan pemerintah haÂrus memberi ruang kebebasan bagi maÂsyarakat. “Freedom of speech, ruang kebebasan orang untuk menyampaiÂkan. Juga right to know, untuk mengeÂtahui suatu info terkait yang disampaiÂkan orang lain. Semua kebebasan ini yang melekat pada setiap individu.â€
Natalius melanjutkan, negara tidak bisa membatasi kebebasan, sebab itu adalah pelanggaran HAM. “Jadi ketika negara membatasi atau mengekang hak-hak warga negara, maka bisa dikatakan negara melanggar HAM,†ujar Natalius.
Kapolri Badrodin Haiti menanÂdatangani Surat Edaran Nomor SE/6/X/2015 Tentang Penanganan UjaÂran Kebencian (Hate Speech) pada KaÂmis, 8 Oktober 2015. Beberapa latar belakang dari aturan ini, ialah persoaÂlan mengenai ujaran kebencian makin mendapat perhatian masyarakat nasiÂonal dan internasional seiring meningÂkatnya kepedulian terhadap perlindunÂgan atas hak asasi manusia. Perbuatan ini juga dinilai berdampak merendahÂkan harkat martabat dan kemanusiaan.
Ujaran kebencian yang dimaksud pada surat edaran ini adalah sama denÂgan tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan lainnya. Yaitu, penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyÂenangkan, memprovokasi, menghasut, dan penyebaran berita bohong. Juga semua tindakan yang bertujuan atau berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial.
Ujaran kebencian yang diatur dalam surat ini termasuk melalui media orasi saat berkampanye, spanduk atau banÂner, media sosial, demonstrasi, ceramah keagamaan, media massa, dan pamflet.
Agustus lalu, Menkum HAM dan DPR mengusulkan Pasal Penghinaan Presiden masuk dalam progres ProlegÂnas 2015. Usulan ini sebenarnya sudah dihapus Mahkamah Konstitusi (MK), namun Pemerintah Jokowi bersikukuh agar pasal tetap masuk UU. “Putusan MK kan 2006. Kemudian pemerintah SBY usulkan 2012, tapi tidak tuntas pembahasannya sehingga dikembaÂlikan lagi pada pemerintah,†ujar Tim Komunikasi Presiden Teten Masduki di Istana Negara, beberapa waktu lalu.
Teten menjelaskan, pada pemerinÂtahan saat ini melalui Menkum HAM dan DPR diputuskan untuk masuk dalam Prolgenas 2015. Menurut Teten, secara substansi sebenarnya hampir sama dengan yang diusulkan pemerinÂtahan lalu. “Bedanya pasal-pasal yang diusulkan itu berbeda dengan yang diputus MK,†kata Teten tanpa merinci pasal yang dimaksud.
Teten mengatakan, pasal yang ada saat ini di KUHP merupakan pasal karet. Sebab siapapun bisa dikenakan pidana karena tergantung interpretasi penegak hukum. “Nah kalau di RUU yang baru itu pasalnya lebih jelas supaya tadi misÂalnya mereka yang lakukan kontrol terÂhadap pemerintah demi kepentingan umum tidak dikenakan pidana. Tapi kalau penghinaan misalnya, fitnah, itu bisa dikenakan,†paparnya.
Pasal Penghinaan Presiden dihaÂpuskan Mahkamah Konstitusi (MK) karena sangat membahayakan bagi demokrasi. Namun, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mengusulÂkan pasal itu ke DPR untuk dihidupÂkan lagi dalam RUU KUHP. “Kalau saya pribadi, sejak walikota, gubernur, presiden, itu yang namanya diejek, dicemooh, dicaci, dihina, sudah makanan sehari hari. Dan sebetulnya yang seperti itu bisa di… kalau saya mau bisa saja itu dipidanakan. Bisa ribuan kalau begitu, kalau saya mau,†kata Jokowi, kala itu.
Pasal 263 ayat 1 RUU KUHP yang disodorkan Presiden Jokowi ke DPR berbunyi: Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penÂjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV
Ruang lingkup Penghinaan PresÂiden diperluas lewat RUU KUHP Pasal 264: Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelÂkan tulisan atau gambar sehingga terÂlihat oleh umum, atau memperdenÂgarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. “Tapi hingga detik ini hal tersebut tidak saya lakukan. Tapi apapun negara kita ini bangsa yang penuh kesantunan,†ucap Jokowi. (*)