Foto : Antara
Foto : Antara

JAKARTA, TODAY — Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, peningkatan ekspor sangat bergantung terhadap China. Tercatat untuk ekspor non migas, China men­gambil bagian 9,88% atau senilai USD 11,01 miliar. “Itu masih tergantung pada China bagaimana,” tegas Darmin di kantornya, Ja­karta, Senin (16/11/2015). Dia menanggapi data statistik yang paparkan BPS. Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan total ekspor anjlok sampai 14,04%, dari USD 147,9 miliar pada Januari-Oktober 2014 menjadi USD 127,2 miliar pada periode Januari-Okto­ber 2015. Dengan komponen non migas sebesar USD 111,46 miliar atau turun 8,77% (yoy).

Darmin mengharapkan ekonomi China akan segera membaik, agar bisa mendorong peningkatan konsumsi dan permintaan dari negara lain, khusus­nya Indonesia. Itu Indonesia juga tetap berbenah untuk memproduksi barang-barang yang dibutuhkan. “Kalau dia (China) mulai membaik, berikutnya kita nggak akan jelek lagi,” ujarnya.

Hal ini karena ekspor negara-negara berkembang ke China yang cukup besar, terutama dalam kurun waktu 5-6 tahun terakhir. Termasuk juga beberapa nega­ra lain seperti Malaysia dan Filipina yang juga mengandalkan ekspor ke China. “Karena 5-6 tahun terakhir, ekspor kita cukup besar ke China. Filipina dan Ma­laysia juga besar ketergantungannya ke sana,” tukas Darmin.

BACA JUGA :  Kolaborasi Antisipasi Krisis Iklim Melalui Penanaman Pohon di Wilayah Kabupaten Bogor

Kebiasaan Indonesia yang selama ini hanya mengandalkan ekspor Sumber Daya Alam (SDA) mentah mulai terasa dampak buruknya. Total ekspor Januari-Oktober 2015 anjlok 14,04% dari USD 147,9 miliar pada Januari-Oktober 2014 menjadi USD 127,2 miliar.

Paling signifikan terlihat pada kom­ponen ekspor ke China, yakni sebesar USD 11 miliar atau turun 20,1% dari USD 13,7 miliar pada periode sebelumnya. Sementara itu, ekspor China ke Indone­sia justru sebaliknya meningkat tajam hingga 64%.

Darmin menuturkan, dengan kondisi pelemahan rupiah yang berlangsung be­berapa waktu lalu seharusnya ekspor bisa didorong lebih tinggi. Padahal den­gan rupiah melemah terhadap USD, produk Indonesia bisa berdaya saing (murah) dengan barang negara lain, namun karena harga beberapa komo­ditas dari SDA seperti sawit (CPO) an­jlok, ekspor pun ikut turun. “Rupiah melemah mestinya diiringi kenaikan ekspor, tapi justru kita ekspornya ter­gantung pada sumber daya alam. Itu yang bikin jatuh,” ungkap Darmin.

BACA JUGA :  RSUD Leuwiliang Hadirkan Dokter Spesialis di Laboratorium Patologi Anatomik

Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) tersebut menekankan permasala­han dari sisi pengembangan industri. Bila pengolahan dimulai dari beberapa tahun lalu, apa yang terjadi hari ini bisa dihindari, paling tidak diminimalkan. “Industri memang dari dulu kita belum terlalu baik. Akibatnya pelemahan rupi­ah tidak mampu memanfaatkan ekspor meningkat,” terangnya.

Lalu apa yang dilakukan pemerintah sekarang? “Makanya kita benar-benar menata industri yang ada supaya mulai untuk meningkatkan ekspor. Dapat dili­hat ekspor kita apa sih yang nggak me­ningkat ekspor industrinya? transportasi ada peningkatan, alas kaki. Tapi ekspor yang besar-besar, perhiasan permata juga,” jawab Darmin.

(Alfian M|detik)

============================================================
============================================================
============================================================