Timpangnya selisih harga obat paten dan obat geÂnerik di dalam negeri, mendapat perhatian serius. Hal ini seharusnya tak boleh terjadi. Menurut Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) Indonesia dapat memÂproduksi obat paten lalu menjualÂnya dengan harga generik.
Hal tersebut berguna untuk menyiasati mahalnya obat paten untuk penyakit tertentu, seperti penyakit Kanker, Jantung, HiperÂtensi dan Diabetes, yang hanya diproduksi oleh 5-7 perusahaan farmasi di tanah air.
“Harga obat paten sangat maÂhal di Indonesia, jangan-jangan ada koordinasi dalam penetapan harganya, karena tidak aturan penetapan Harga Eceran TertingÂgi seperti obat generik, solusinya Indonesia harus mengikuti India, China, dan Thailand, pemerinÂtah kita menggunakan instrumen WTO, melakukan ‘copy-paste’ obat paten yang ada lalu dijual dengan harga generik, demi keÂpentingan nasional,†ujar Ketua KPPU Syarkawi Rauf dalam semiÂnar Tata Kelola BUMN dan KeÂpentingan Nasional yang digelar Jurusan Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin, di HoÂtel Novotel, Makassar, Minggu (29/11/2015).
Syarkawi mencontohkan yang telah dilakukan pemerintah InÂdia dengan memproduksi obat-obatan untuk penderita Hepatitis C, yang perbutirnya di India hanÂya USD 10, sementara jika obat tersebut dibeli di Amerika Serikat seharga USD 1 000 per butirnya.
Hal tersebut, lanjut Syarkawi, diperkenankan WTO, sesuai denÂgan prinsip fleksibilitas terkait hak kekayaan intelektual atau ‘Trade Related Intelectual PropÂerty Rights Flexibility’.
Syarkawi menambahkan, pihaknya mensinyalir ada persekongkolan perusahaan farmasi untuk obat-obat paten atau kartel perusahaan farmasi dalam menentukan harga obat paten di dalam negeri.
Pihaknya berencana menyiapÂkan aturan main tentang penentuan harga obat paten yang harganya tidak boleh dua kali lebih mahal dari harga obat generik. Jika obat generiknya belum ada di Indonesia, maka akan mengacu pada harga obat generik InterÂnasional atau harga obat generik di negara lain. Â
“Mahalnya obat patÂen ini berbahaya, selain pasien membayar mahal atas obat yang dibelinya, negara juga bisa dirugikan karena 50% obat yang diÂtanggung oleh Layanan Kesehatan kita adalah obat paten, bisa bangkÂrut BPJS, makanya nanti kita akan panggil perusaÂhaan obatnya,†pungkas Syarkawi yang juga EkoÂnom Unhas ini.
(Alfian m|detik)