PENDAPATAN pajak negara benar-benar jeblok. Hingga akhir November 2015, baru terkumpul Rp 806 triliun atau 64 persen dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 sebesar Rp 1.294,26 triliun. Negara terancam alami defisit (kekurangan) anggaran belanja besar-besaran.
YUSKA APITYA AJI ISWANTO
[email protected]
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan SuaÂhasil Nazara mengatakan, dengan jumlah penerimaan tersebut maka terjadi defisit anggaran sebanyak Rp 430 triliun atau 2,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit tersebut melebar jauh dari yang ditetapkan dalam APBNP 2015 sebesar 1,9 persen dari PDB.
Namun Guru Besar Universitas IndoÂnesia (UI) itu mengatakan pelebaran deÂfisit anggaran memang wajar terjadi terÂlebih untuk Indonesia yang tengah giat membangun proyek infrastruktur. “Kita adalah negara berkembang dengan keÂbutuhan pengeluaran luar biasa besar.
Bahkan penyerapan anggaran, baru terserap di akhir-akhir tahun,†ujar SuaÂhasil di Gedung Kementerian Keuangan, Rabu (2/12/2015).
Namun menurutnya, pemerintah tetap berpegang pada acuan (benchÂmark) Undang-Undang APBNP 2015 yang menetapkan defisit tidak boleh lebih dari 3 persen. “Dalam proses perÂencanaan biasanya kami pastikan seaÂman mungkin, jangan sampai ada probÂabilitas lebih dari 3 persen,†jelasnya.
Andalkan Surat Utang
Meski Mantan Dirjen Pajak Sigit PriÂadi Pramudito memperkirakan peneriÂmaan pajak hanya akan mencapai 80-82 persen, Suahasil menyebut proyeksi yang dibuatnya lebih tinggi. Suahasil memproyeksikan penerimaan pajak taÂhun ini bisa 85 persen.
Pembiayaan anggaran melalui penerÂbitan surat berharga kini dijadikan andaÂlan pemerintah untuk menutup defisit anggaran. Hal ini untuk meyakinkan agar program proyek yang telah dirancang sejak awal tahun anggaran dapat terealÂisasi. “Dalam konteks itu kami balance kaÂlau bisa pengeluaran semaksimal mungÂkin, tapi pembiayaan akan dari financing (surat utang). Iya agar semua yang kami janjikan terealisasi. Ini membuat balance agar defisit tidak melebar,†ujarnya.
Minimnya realisasi penerimaan negÂara dari sektor pajak berisiko memperÂbesar defisit dalam APBNP 2015. Untuk menyiasati kondisi tersebut, Menkeu Bambang Brodjonegoro berharap keÂmenterian/ lembaga (K/L) untuk mengÂhemat belanja yang tidak produktif.
Bambang memproyeksikan peneriÂmaan pajak tahun ini hanya akan menÂcapai 85-87 persen dari target APBNP 2015 yang ditetapkan sebesar Rp 1294,3 triliun. “Isunya sangat berat sampai akhir tahun. Kami akan menjaga defisit dalam level yang diperbolehkan. Level aman berarti di bawah 3 persen. Kami terus berupaya kuat untuk menggenjot penerimaan pajak,†ujar Bambang.
Kemenkeu pun mengimbau K/L pemerintah untuk berhemat dalam menjalankan operasionalnya. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Suahasil Nazara mengatakan perlu keÂsadaran dari masing-masing pengeÂlola anggaran di K/L untuk mengurangi pengeluaran yang tidak mendesak. “Yang pasti adalah penghematan di opÂerasional. Itu artinya yang tidak perlu ya tidak usah. Dan itu sudah diberitahukan ke K/L lainnya, efisiensi harus dilakuÂkan,†ujar Suahasil.
Untuk belanja proyek, Suahasil meyakini penyerapan anggaran belanja tidak akan mencapai 100 persen. SehingÂga menurutnya tidak akan ada pemoÂtongan anggaran belanja proyek guna menghemat anggaran. “Semua masuk kedalam proses penyerapan setiap tahun kita mengalami yang namanya belanja tidak akan terserap 100 persen, kita balÂance semuanya,†ujar Suahasil.
Pemerintah sendiri memproyeksikan defisit anggaran tahun ini akan berada di level 2,23 persen, kendati demikian SuaÂhasil mengatakan pemerintah akan tetap menjaga defisit anggaran agar tidak meÂlebihi 3 persen dari PDB.
Cukur Tunjangan Pegawai
Suahasil membenarkan adanya sankÂsi bila target pajak tidak sesuai dengan target. Ia menyatakan sanksi tersebut berupa pemotongan tunjangan. Sanksi tersebut tertuang dalam Peraturan PresÂiden Nomor 37 tahun 2015 tentang TunÂjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. “Pemotongan sudah diatur jelas,†ucap Suahasil.
Dalam Perpres itu salah satunya disebutkan tunjangan kinerja diberikan 100 persen bila realisasi penerimaan pajak mencapai 95 persen atau melebih target. Tunjangan akan semakin sedikit diberikan jika realisasi penerimaan paÂjak makin meleset dari target.
Lebih lanjut, tunjangan kinerja tidak berlaku bagi pegawai yang tiÂdak mempunyai jabatan tertentu dan diberhentikan untuk sementara atau dinonaktifkan. Tercatat pegawai yang mendapatkan tunjangan kinerja adalah mereka yang berada di level tertinggi ialah peringkat 27 atau eselon I yang memegang jabatan struktural, yaitu sebesar Rp 117.375.000. Sedangkan pegawai dengan tunjangan terendah ialah yang berada di peringkat jabatan empat dengan jabatan sebagai pelakÂsana, yaitu sebesar Rp 5.361.800.
Sebelumnya, Direktur Jenderal PaÂjak Sigit Priadi Pramudito resmi menÂgundurkan diri. Sebagai gantinya MenÂteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menunjuk Ken Dwijugiasteadi sebagai pelaksana tugas Direktur Jenderal Pajak. Menurut Bambang, pengunduran diri Sigit tidak lepas dari target penerimaan pajak yang tidak tercapai.
Suahasil menambahkan, belum maksimalnya penerimaan pajak tidak lepas dari pertumbuhan ekonomi yang melambat. Ia menilai pertumbuhan ekonomi merupakan fungsi dari transÂaksi. Bila transaksi berkurang secara tiÂdak langsung, dampak yang terjadi ialah mengecilnya pajak pertambahan nilai. Ditambah lagi dengan masih menurunÂnya harga komoditas dunia dimana maÂsih menjadi andalan Indonesia.
Selain itu, upaya reformasi dan pembenahan administrasi masih berÂjalan dan belum maksimal dilakukan. “Pekerjaan rumahnya lanjut terus,†kata Suahasil.
Beberapa rencana kebijakan Sigit yang tertunda, seperti pajak pertamÂbahan nilai (PPN) atas penyerahan jasa jalan tol misalnya, akan membawa dampak yang tidak mudah bagi maÂsyarakat. Namun Suahasil lebih memilih berkomentar mengenai reformasi pajak yang diminta terus dijalankan. “SekaÂrang ada hasilnya tapi tidak maksimal. Jadi diteruskan lagi,†kata dia.
Ken Dwijugiasteadi sebagai PelakÂsana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) memiliki banyak beban kerja. Salah satu tugas berat Ken yang jelas di depan mata adalah mengejar tarÂget pajak sesuai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2015 sebesar Rp 1.295 triliun. Di mana sampai dengan akhir November baru teÂrealisasi 66% atau sekitar Rp 865 triliun.
Artinya ada setoran Rp 430 triliun yang harus dikejar dari Wajib Pajak. Meskipun Sigit sebelumnya sudah meÂnyampaikan proyeksi terburuk realisasi di kisaran 80-82% dari target atau sekitar Rp 1.061,9 triliun. Artinya ada kekurangan penerimaan Rp 233,1 triliun.
Pengamat Pajak, Yustinus Prastowo menilai, tidak banyak yang diharapkan untuk realisasi penerimaan tahun ini. Walau ada peningkatan penerimaan paÂjak ketika memasuki periode Desember, namun nilainya tidak akan terlalu banÂyak. “Sebulan ini mungkin berat ya, mesÂki akan ada peningkatan,†kata Prastowo.
Ditjen Pajak bisa saja mendorong berbagai WP, khususnya WP badan (peÂrusahaan) untuk memenuhi kewajibanÂnya. Akan tetapi, kembali pada kondisi perekonomian yang melambat, memÂbuat perusahaan kesulitan.
Prastowo memproyeksikan realÂisasi penerimaan bisa lebih buruk, yakni 77% dari target atau sekitar Rp 997,15 triliun. Kekurangan penerimaan dari target yang harus ditanggung adalah Rp 297,85 triliun. “Kemungkinan hanya akan finish di 77%,†tutupnya. (*)