Untitled-6Oleh : Alfian Mujani
[email protected]

Menurut peraturan baru yang akan berlau efektif Januari 2016 itu, importir wajib membeli kedelai petani sejumlah yang yang diimpor dari luar negeri. Proporsi yang ditetapkan yaitu 1:1 an­tara kedelai impor dengan kedelai yang dibeli. Pemerintah ingin kede­lai petani lebihterserap pasar.

“Keputusannya produksi kedelai itu diperkirakan sedikit naik dari ta­hun ini. Tapi kita ingin supaya hasil produksi petani itu dibeli oleh im­portir. Sehingga atas dasar serapan itu mereka kemudian bisa mengim­por. Jadi impornya harus dibarengi dengan membeli produksi petani,” kata Menko Perekonomian Darmin Nasution, usai rapat di kantornya, Senin (28/12/2015).

Syarat para importir untuk bisa mengimpor kedelai ,lanjut Darmin, harus ada bukti serapan kedelai petani. “Dia beli berapa, boleh impor berapa. Satu banding satu aja kira—kira. Sebab impor dan produksi praktis 50% dan 50%,” jelasnya.

Kemudian selain kedelai, pemer­intah juga akan mengatur impor gula. Pemerintah hanya berfokus pada impor gula putih oleh Bulog untuk konsumsi masyarakat, bu­kan raw sugar untuk keperluan in­dustri. Kuota yang ditetapkan tidak lebih dari 200.000 ton.

“Kalau gula itu kita tidak bicara gula industri. Kita bicarakan gula putih. Gula putih kita impor untuk jaga-jaga. Impor akan dilakukan Bulog saja, nggak sampai 200.000 ton setahun. Nggak terlalu banyak. Itu akan dilakukan oleh Bulog,” jelas Darmin.

BACA JUGA :  Buka Puasa dengan Pindang Iga Sapi Berkuah Bening yang Segar dan Gurih Bikin Nagih

Swasembada Kedelai

Berdasarkan catatan Indonesia pernah menikmati swasembada ke­delai, tepatnya pada 1992 di masa Orde Baru. Namun, saat ini seba­gian besar kebutuhan kedelai harus diimpor dari Amerika Serikat (AS). Rata-rata Indonesia mengimpor sebesar 2 juta ton setahun dari ke­butuhan nasional sebanyak 2,5 juta ton.

Ketua Umum Gabungan Kopera­si Produsen Tempe dan Tahu Indo­nesia (Gakoptindo), Aip Syarifudin mengatakan, produksi kedelai pada 1990-1992 yakni mencapai 1,6-1,8 juta ton per tahun. Sementara saat ini produksi kedelai lokal sudah menyusut hanya sebesar 600.000 ton.

Selain menyusut akibat berkurangnya lahan tanam serta harga kedelai lokal yang tak eko­nomis, kebijakan pemerintah yang melepaskan kendali dalam sub­sidi pada kedelai, secara perlahan membuat kebutuhan kedelai ber­gantung pada kedelai.

“Dulu produksi kedelai sem­pat mencapai 1,8 juta, sementara kebutuhan juga tak sebesar saat ini. Sekarang hanya 500.000- 600.000 ton. Lahan tanam ke­delai semakin menyempit, bay­angkan tanam kedelai biaya produksinya Rp 5.500/kg, kalau di Amerika hanya separuhnya, kualitas lokal juga tak bagus. Akhirnya kita produsen lebih tergantung impor,” jelas Aip.

BACA JUGA :  Resep Membuat Botok Ayam untuk Menu Sahur dan Berbuka, Dijamin Lezat Bikin Nagih

“Sudah produksi (kedelai) se­makin turun, pemerintah malah ikuti sarannya IMF (International Monetary Fund). Kasih subsidi pupuk dan bibit dilarang, kasih subsidi harga dilarang, akhirnya kasihan petani kedelai, daripada rugi mending tanam padi saja. Padahal di AS malah disubsidi,” tambahnya.

Berkaca pada pengalaman se­belumnya, lanjut Aip, seharusnya pemerintah tak lagi menggubris rekomendasi pihak luar jika me­mang itu merugikan petani lokal.

“Aturan sekarang tidak fair un­tuk negara-negara berkembang, makanya sekarang mau dihapus lewat WTO. Sudah sekian puluh ta­hun negara maju back up pertanian mereka, makanya petani kedelai kita tak berdaya. Kalau itu meru­gikan petani kita lebih baik nggak usah digubris, buktinya Malay­sia malah maju nggak ukuti saran IMF,” ujarnya.

Sebagai informasi, pada 1998, sesuai kesepakatan yang tertu­ang dalam Letter of Intent (LoI) dengan IMF, peran Bulog sebagai pengelola persediaan dan harga beras, gula, gandum, terigu, ke­delai, pakan dan bahan pangan lainnya harus dilepaskan. Hanya beras yang masih bisa dikontrol oleh Bulog. (dtc)

============================================================
============================================================
============================================================