Oleh: JEJEN MUSFAH
Dosen analisis kebijakan pendidikan FITK UIN Jakarta dan Penulis buku peningkatan kompetisi guru

Dalam rangka mem­peringati Hari Guru Nasional dan HUT Ke-70 PGRI, 25 No­vember 2015, saya ringkaskan masalah-masalah guru tersebut, bukan untuk men­ghujat siapa, tetapi untuk saling mengingatkan kita semua ten­tang nasib guru yang jauh dari kompeten, apalagi sejahtera. Pa­dahal, para pemimpin republik dulu dan sekarang adalah hasil didikan guru-guru di masa lalu. Setelah melahirkan banyak pe­mimpin di Kemendikbud dan Ke­menag, bahkan presiden RI, para guru masih tertatih-tatih mem­perjuangkan hak-haknya demi kesejahteraan mereka.

Pertama, kualifikasi pendidi­kan guru. Hanya 40% guru yang berpendidikan S-1, sisanya, 60%, berpendidikan di bawah S-1. Pen­ingkatan kualifikasi guru yang lulusan SMA sederajat atau D-2 dan D-3 dilakukan melalui kuliah dengan sistem dual mode, Sabtu dan Minggu, yang dibiayai oleh pemerintah.

Akan tetapi, program terse­but tidak menyentuh semua guru sehingga sebagian berinisiatif kuliah dengan biaya mandiri. Pemerintah beralasan dananya tidak mencukupi, sementara ma­sih banyak guru yang tidak mam­pu kuliah karena faktor ekonomi, kesibukan, dan jarak rumah jauh ke LPTK. Guru yang belum lulus S-1 pada 2015 ini terancam dimu­tasikan menjadi staf administratif atau dipensiunkan dini.

Kedua, sertifikasi guru. Guru yang tersertifikasi baru 50%, se­mentara Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) berakhir tahun 2015 ini. Guru yang be­lum terpanggil sertifikasi melalui PLPG atau pendidikan profesi guru (PPG) harus mengikuti PPG mulai tahun 2016 dengan biaya sendiri atau biaya pemerintah (?).

“Penundaan” sebagian guru untuk mengikuti sertifikasi yang selama ini dibiayai pemerintah menimbulkan ketidakadilan bagi guru tersebut, karena guru tidak segera mendapatkan tunjangan profesi guru (TPG). Diketahui bahwa dalam pemanggilan peser­ta sertifikasi guru sering terjadi kekeliruan, seperti guru yang be­lum lama mengajar mendapatkan panggilan, sementara guru yang sudah lama mengajar tak kun­jung mendapatkan panggilan.

Derita guru yang belum tersertifikasi akan semakin ber­tambah ketika mereka dituntut membayar sendiri biaya PPG yang akan berlangsung selama satu ta­hun. Belum lagi pada saat mengi­kuti PPG mereka diwajibkan “cuti mengajar”, karena menjadi maha­siswa penuh, sehingga pendapa­tan mereka pun terhenti. Pada­hal, guru lainnya yang mengikuti PLPG hanya sembilan hari.

BACA JUGA :  JELANG LAGA MALAM INI, TIMNAS VS AUSTRALIA

Ketiga, realisasi tunjangan profesi guru. TPG sering dibayar­kan tidak tepat jumlah dan tidak tepat waktu. Ketika ditanyakan mengenai hal ini, pihak yang berwenang sering saling lempar tanggung jawab. Guru tidak ber­daya untuk menuntut haknya, bahkan cenderung menerima saja praktik kotor pengelola dana sertifikasi guru. Jika menjadi guru yang vokal, mereka justru kha­watir tidak dilayani dengan baik dan seharusnya.

Kecuali itu, guru tersertifikasi bisa tidak diberikan TPG selama satu bulan, dua bulan, atau tiga bulan, hanya karena sakit satu hari, melahirkan, melaksanakan umrah, atau haji. Kebijakan seper­ti ini jelas tidak nyaman bagi guru, tidak berpihak pada guru, dan cenderung berpikir negatif terha­dap kinerja dan perilaku guru.

Keempat, guru honorer. Guru honorer bergaji kecil, tetapi ke­beradaannya sangat dibutuhkan di sekolah. Guru honorer ada karena sekolah kekurangan guru, terutama di sekolah dasar. Guru honorer kategori 1 dan 2 sempat punya harapan karena dijanjikan diangkat CPNS pada 2016 men­datang berdasarkan kesepakatan DPR RI dan pemerintah. Tetapi, harapan itu pupus karena angga­ran untuk itu tiba-tiba hilang atau dihilangkan.

Sampai kapan pun sulit meng­harapkan kinerja guru honorer akan baik jika pemerintah tidak memperhatikan kesejahteraan mereka. Di tengah harga-harga kebutuhan pokok yang terus naik, bagaimana membayangkan gaji guru honorer hanya sebesar Rp200.000 hingga Rp500.000 per bulan, jauh dari upah mini­mum regional. Yang sedikit itu pun kadang terlambat dibayarkan karena sangat tergantung pada pencairan dana bantuan opera­sional sekolah (BOS) yang sering terlambat dibayarkan ke sekolah.

Kelima, dua payung. Pen­gangkatan guru PNS dilakukan oleh dua kementerian, yaitu Ke­mendikbud dan Kemenag. Ada juga pengangkatan guru PNS oleh pemerintah daerah, guru tetap dan tidak tetap oleh yayasan, dan guru honorer oleh sekolah/ma­drasah. Demikian beragam status guru dan sering memunculkan masalah, sehingga sering mun­cul wacana pengangkatan dan pengelolaan guru secara terpusat atau sentralistik.

BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN

Misalnya menjadi guru di dua kementerian tersebut tentu memi­liki kelebihan dan kekurangan ma­sing-masing. Tetapi, peluang pen­ingkatan kompetensi guru di bawah Kemendikbud dinilai lebih luas dan terarah dibandingkan dengan guru di bawah Kemenag. Demikian juga dalam aspek kesejahteraan, guru Kemenag berada di bawah Kemen­dikbud. Bukan malah positif, pen­gelolaan guru dalam dua payung kementerian sering menimbulkan kecemberuan di tingkat guru.

Kompetensi dan Kesejahteraan

Demikianlah lima masalah guru yang intinya adalah kes­enjangan kompetensi dan kes­ejahteraan di antara guru yang statusnya sangat beragam. Pengembangan kompetensi guru adalah tanggung jawab bersama. Guru selaiknya menjadi pembe­lajar yang senantiasa haus akan ilmu pengetahuan, meskipun be­lum sejahtera.

Pemerintah berkewajiban meningkatkan kompetensi guru secara berkelanjutan melalui pelatihan, termasuk membiayai kuliah guru yang belum S-1. Ke­pala sekolah mendorong guru untuk pelatihan dan mendukung penuh guru yang mengikuti PPG dan kuliah S-1, S-2, atau S-3. Tan­pa dukungan pemerintah dan kepala sekolah, kompetensi guru kita akan terus dan selamanya rendah.

Kesejahteraan guru meru­pakan tanggung jawab pemer­intah, karena tugas guru adalah mencerdaskan generasi bangsa dan melahirkan calon-calon pe­mimpin bangsa di masa depan. Kualitas bangsa ini akan ter­gantung pada kualitas dan kes­ejahteraan gurunya. Bayangkan, bagaimana gaji guru di republik ini lebih rendah daripada gaji bu­ruh pabrik dan tukang ojek!

Ke mana para pemimpin negara ini, ketika para guru hon­orer berteriak menuntut haknya? Bagaimana penglihatan mata dan pendengaran telinga dan nurani para pemimpin dan pejabat neg­eri ini pada saat 100.000 guru dan tenaga kependidikan di Sta­dion Utama Gelora Bung Karno (GBK) memekikkan harapan dan doa-doa mereka? Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai guru. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memahami pen­deritaan guru.

sumber: sindonews.com

============================================================
============================================================
============================================================